Pemblokiran IMEI Tak Menyurutkan Penyelundupan Ponsel di Batam
Pemblokiran telepon seluler ilegal tidak menyurutkan penyelundupan ponsel di Batam, Kepulauan Riau. Bahkan, di tengah pandemi, masih saja ada pelaku yang berupaya memanfaatkan situasi.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Pemblokiran identitas perangkat telekomunikasi internasional (IMEI) ilegal tidak menyurutkan penyelundupan ponsel di Batam, Kepulauan Riau. Pada Selasa (19/5/2020), petugas Bea dan Cukai menangkap satu kapal cepat bermesin ganda tujuan Riau yang membawa puluhan ponsel merek Iphone dan sejumlah komponen lain.
Kepala Bidang Bimbingan Kepatuhan dan Layanan Informasi Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe B Batam Sumarna, Rabu (20/5/2020), mengatakan, kapal cepat itu ditangkap di perairan Tanjung Pinggir, Batam, saat akan menuju Indragiri Hilir, Riau. Hasil pemeriksaan menunjukkan, kapal itu mengangkut 79 Iphone dan enam kardus komponen ponsel yang tidak dilengkapi dokumen kepabeanan.
”Ponsel itu kondisinya sebagian merupakan barang bekas. Nilainya diperkirakan sekitar Rp 131 juta, sedangkan potensi kerugian negara sebesar Rp 58,5 juta,” kata Sumarna.
Saat ditangkap, hanya ada satu pelaku di kapal itu. Dari keterangan pelaku, diketahui ponsel itu merupakan barang titipan. Menurut Sumarna, petugas Bea dan Cukai saat ini sedang menelusuri kemungkinan keterlibatan pelaku lain dalam upaya penyelundupan ponsel ke Riau tersebut.
Ponsel itu kondisinya sebagian merupakan barang bekas. Nilainya diperkirakan sekitar Rp 131 juta, sedangkan potensi kerugian negara sebesar Rp 58,5 juta (Sumarna)
Sebelumnya, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Khusus Kepri Agus Yulianto memprediksi penyelundupan ponsel akan surut dengan sendirinya setelah pemerintah memblokir IMEI ponsel ilegal mulai 18 April lalu. Seharusnya ponsel ilegal tidak akan laku karena tidak bisa digunakan lagi.
”Sekarang tidak ada lagi kesempatan menyelundupkan ponsel. Percuma juga warga beli ponsel ilegal karena tidak akan bisa digunakan,” ujar Agus, Kamis (14/5/2020).
Kementerian Perindustrian, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Kementerian Perdagangan mulai 18 April telah memblokir ponsel ilegal lewat Sistem Informasi Basis Data IMEI Nasional (Sibina). Sibina memadankan 15 digit angka IMEI di ponsel konsumen dengan IMEI pada basis data pemerintah.
Kumpulan data berasal dari Kemenperin, Kemenkominfo, dan Kemendag. Apabila tidak tercatat dalam basis data, ponsel tidak bisa digunakan untuk menelepon atau berkirim pesan (Kompas, 20/2/2020).
Walaupun terlihat efektif, menurut mantan pebisnis telekomunikasi Sutikno Teguh, masih terdapat sejumlah celah dalam peraturan pemblokiran IMEI. Salah satunya adalah sistem whitelist yang memungkinkan ponsel dengan IMEI tidak terdaftar tetap bisa digunakan asal pembelian dilakukan sebelum 18 April.
”Ada yang disebut IMEI zombi. Penjual mengganti IMEI ponsel ilegal dengan IMEI ponsel lawas yang sudah terdaftar. Ini mudah, hanya butuh perangkat lunak dan bisa dilakukan dalam hitungan menit,” kata Sutikno.
Kompas pada September 2019 membuktikan bahwa modus IMEI zombi ini biasa dilakukan para pedagang di salah satu pusat perbelanjaan gawai di Bandung, Jawa Barat. Mereka mengenakan tarif sekitar Rp 150.000 untuk mengganti IMEI ponsel black market dengan IMEI zombi.
Peredaran ponsel
Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia (APSI) mencatat, sekitar 150 juta dari 264 juta penduduk Indonesia telah menggunakan ponsel. Setiap tahun ada 45 juta ponsel baru beredar dan 20-30 persen di antaranya diduga berasal dari pasar gelap. Dengan demikian, jumlah ponsel ilegal bisa mencapai 9 juta unit ponsel.
Apabila harga satu unit ponsel berkisar Rp 2,2 juta, nilai ponsel ilegal yang beredar setiap tahun diperkirakan Rp 19,8 triliun sehingga potensi kerugian negara dari hilangnya pendapatan pajak sebesar Rp 2,475 triliun dalam satu tahun (Kompas, 3/8/2019).
Sampai saat ini, satu bulan setelah peraturan pemblokiran IMEI berlaku, ponsel dengan ”garansi distributor” atau ”garansi internasional” masih sangat mudah ditemukan di situs-situs e-commerce besar ataupun di pusat-pusat perbelanjaan gawai. Sutikno menyarankan, pemerintah segera mengevaluasi kebijakan itu mengingat penjualan ponsel ilegal belum menunjukkan tanda-tanda penurunan.