Ketangguhan Indonesia Rapuh, Saatnya Perbaiki Struktur Industri
Data ekspor dan impor April 2020 menyiratkan ekspor Indonesia masih berorientasi pada pemenuhan pemesanan dari perjanjian sebelumnya. Hingga Maret, perdagangan belum terlihat drop. Namun, April sudah mulai terlihat drop.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
Di tengah pelemahan arus barang dunia, kinerja perdagangan dan perindustrian Indonesia seolah-olah memiliki ketangguhan. Padahal, ketangguhan itu berpotensi rapuh lantaran struktur industri yang masih bergantung pada impor.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Rabu (20/5/2020), merilis, barometer perdagangan global pada Maret 2020 berada di posisi 87,6 dan anjlok dari indeks pada Maret 2019 yang sebesar 96,3. Angka tersebut merupakan yang terendah sejak barometer perdagangan dunia diluncurkan pada Juli 2016.
Dari faktor penentu indeks perdagangan tersebut, aspek produk otomotif memiliki nilai terendah pada Maret 2020, yakni 79,7. WTO mencatat, kinerja perdagangan ini merosot tajam dibandingkan pada Maret 2019 yang berada di posisi 92,2.
Aspek perdagangan komponen elektronik turut menurun dari 96,7 pada Maret 2019 menjadi 94 pada Maret 2020. Parameter permintaan ekspor pun melorot menjadi 83,3 pada Maret 2020 dari posisi 96,6 pada periode sama tahun sebelumnya.
Barometer perdagangan global pada Maret 2020 berada di posisi 87,6 dan anjlok dari indeks pada Maret 2019 yang sebesar 96,3.
Meski trennya tak setajam barometer perdagangan dunia WTO, kinerja nilai ekspor Indonesia pada Maret 2020 juga turun 0,2 persen secara tahunan menjadi 14,09 miliar dollar Amerika Serikat (AS) berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Tren ini berlanjut pada April 2020 dengan nilai ekspor 12,10 miliar dollar AS atau turun 7,02 persen dibandingkan dengan April 2019.
Industri pengolahan memiliki andil terbesar dalam kinerja ekspor nasional. Pada Maret 2020, kinerja ekspor industri pengolahan meningkat 7,41 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun, pada April 2020, nilai ekspor industri pengolahan menurun 1,77 persen secara tahunan.
Secara kumulatif, BPS mencatat, nilai ekspor Januari-April 2020 sebesar 53,95 miliar dollar AS atau lebih tinggi 0,44 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya pada periode yang sama. Kinerja ekspor industri pengolahan meningkat 7,14 persen secara tahunan menjadi 42,75 miliar dollar AS sepanjang empat bulan pertama di tahun 2020.
Sejalan dengan sejalan dengan faktor-faktor penentu barometer perdagangan WTO, ekspor sejumlah kelompok barang turut terseret pelemahan pada Januari-April 2020. Misalnya, nilai ekspor golongan barang kendaraan dan bagiannya turun 18,06 persen secara tahunan.
Ekonom Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro, mengatakan, kinerja perdagangan Indonesia sepanjang Januari-April 2020 tersebut merupakan buah dari investasi pada industri manufaktur berorientasi ekspor selama beberapa tahun terakhir. Selain itu, produk hasil industri Indonesia dinilai berpotensi mengisi permintaan global selama pandemi Covid-19 yang biasanya dipenuhi oleh China, Jepang, Korea Selatan, dan Thailand.
Di sisi lain, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan Muhri mengatakan, data ekspor dan impor April 2020 menyiratkan ekspor Indonesia masih berorientasi pada pemenuhan pemesanan produk dari perjanjian sebelumnya. ”Hingga Maret, perdagangan kita belum terlihat drop. Namun, April sudah mulai terlihat (drop),” ujarnya saat dihubungi, Kamis (21/5/2020).
Data ekspor dan impor April 2020 menyiratkan ekspor Indonesia masih berorientasi pada pemenuhan pemesanan produk dari perjanjian sebelumnya. Hingga Maret, perdagangan kita belum terlihat drop. Namun, April sudah mulai terlihat drop.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani menilai, peningkatan kinerja ekspor Indonesia lebih disebabkan oleh adanya faktor kelangkaan produk di pasar global. Secara intrinsik, daya saing dan produktivitas industri nasional tidak berubah.
”Dengan kata lain, jika produktivitas China berjalan normal pada periode yang sama, ekspor Indonesia tidak akan menunjukkan tren peningkatan,” tuturnya.
Pekerjaan rumah
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal, berpendapat, kinerja ekspor Januari-April 2020 lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya lantaran pada dua bulan pertama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum menetapkan Covid-19 sebagai pandemi. Indonesia sempat menjadi sumber alternatif pemenuhan produk bagi negara-negara lain.
Namun, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah terkait struktur industrinya. Pandemi Covid-19 ini mestinya dimanfaatkan Indonesia untuk memperkuat industri yang menghasilkan bahan baku.
”Tujuannya adalah agar dapat memenuhi permintaan dalam negeri sehingga tak rentan dengan gangguan rantai pasok global yang terjadi saat ini,” kata Fithra.
BPS mendata, nilai impor bahan baku atau penolong Indonesia pada Januari-April 2020 sebesar 39,05 miliar dollar AS. Kelompok barang ini memiliki andil sebesar 75,51 persen terhadap kinerja impor keseluruhan.
Menurut Fithra, apabila perbaikan industri tidak dijalankan saat ini, Indonesia dapat kalah bersaing dengan negara-negara di Asia Tenggara, salah satunya Vietnam. ”Kurva kasus Covid-19 di Vietnam telah tergolong terkendali dan saat ini industri sudah mulai berproduksi, bahkan bersiap ekspor,” ujarnya.
Saat ini, lanjut Fithra, pemerintah dan pelaku industri Indonesia juga dapat memetakan negara-negara yang berpotensi sebagai sasaran ekspor di tengah pandemi Covid-19. Aspek kurva pengendalian pandemi menjadi krusial dalam pemetaan tersebut.
Shinta menuturkan, pandemi Covid-19 dapat menjadi momentum reformasi kebijakan ekonomi. Bentuknya berupa perbaikan iklim usaha yang membebani produktivitas dan daya saing ekspor nasional melalui efisiensi rantai pasok serta diversifikasi produk dan pasar tujuan ekspor.
”Sektor manufaktur perlu menjadi sorotan karena menjadi kontributor utama dalam kinerja ekspor nasional. Dengan langkah-langkah tersebut, kinerja Indonesia dapat pulih pascapandemi Covid-19,” ujarnya.