UMKM Harus Jadikan Pasar Digital sebagai ”Lapak” Baru
Pandemi Covid-19 yang memaksa orang-orang berdiam diri di rumah membuat pola berbelanja beralih ke arah daring. Keadaan ini menjadi tantangan sekaligus peluang usaha bagi UMKM untuk memasarkan produknya.
Oleh
sharon patricia
·4 menit baca
Penjualan secara dalam jaringan bak primadona di tengah pandemi Covid-19. Untuk mempertahankan usaha, para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah harus segera mengalihkan lapaknya ke pasar digital.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM), pada 2018, jumlah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) 64,19 juta unit (99,99 persen) dengan menyerap 116,98 juta (97 persen) tenaga kerja. Namun, sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia, baru 13 persen atau 8,3 juta pelaku UMKM yang berdagang di pasar digital.
Padahal, berdasarkan hasil survei Nielsen yang dilakukan pada 6-17 Maret 2020, sekitar 30 persen responden yang ada di Indonesia meningkatkan aktivitas belanja daring. Sebanyak 40 persen di antaranya mengatakan akan terus berbelanja secara daring bahkan setelah pandemi Covid-19 berakhir.
Laporan ”The Nielsen Covid-19: Where Consumers are Heading?” menyebutkan, ada lonjakan 28 persen di antara konsumen berusia muda yang menggunakan layanan pengiriman makanan. Kejadian ini terjadi setelah adanya penurunan 40 persen pada konsumen yang makan di restoran dan perusahaan makanan.
Kesempatan ini disadari oleh Salmi Sufraini (43), pelaku usaha Cangcomak (Kacang Coklat Emak) di Jakarta Barat yang baru saja merintis usahanya. Perizinan usaha yang baru didapatkan pada 2019 membuat dirinya harus memutar otak untuk memasarkan produk di tengah pandemi Covid-19.
Awalnya, pada 2020, Salmi akan mengikuti berbagai bazar yang diadakan oleh Kemenkop UKM untuk mengenalkan produknya ke berbagai konsumen, namun semua dibatalkan. Kini, ia mencoba memasarkan produk melalui pasar digital dan media sosial.
”Produk saya ini, kan, baru dan belum banyak yang kenal. Jadi, sebenarnya agak sulit memasarkan lewat online karena orang jadi enggak bisa nyicip, tapi mau enggak mau sekarang berjualan harus lewat online,” kata Salmi saat dihubungi Kompas, Kamis (21/5/2020).
Tak hanya kendala pemasaran, kata Salmi, ongkos produksi juga meningkat 20 persen. Misalnya, untuk membeli gula dari harga Rp 12.000 per kilogram (kg) menjadi Rp 17.000 per kg, kacang tanah dari Rp 28.000 per kg menjadi Rp 35.000, dan kacang mede dari Rp 120.000 per kg menjadi Rp 150.000 per kg.
Meski begitu, Salmi mengaku tidak menaikkan harga jual untuk menjaga daya beli masyarakat. Selain itu, berbagai promo juga diberikan untuk menarik minat pembeli.
”Misalnya, gratis ongkir (ongkos kirim), menjual dengan harga paket. Saya juga ikut berbagai pelatihan, yang penting produknya dikenal dulu. Alhamdulillah, walau belum banyak, sekarang bisa jual 20 bungkus per bulan,” ucapnya.
Menurut Salmi, kendala yang dihadapi UMKM adalah sulitnya mendapatkan pasar terlebih bagi produk baru. Ia berharap, pemerintah dapat membantu pelaku UMKM untuk memasarkan produk.
”Sebagai pelaku UMKM, saya butuhnya instansi terkait, yaitu Kemenkop UKM, benar-benar merangkul produk-produk pilihan untuk dibuatkan satu platform yang dapat membantu penjualan. Selama ini yang saya rasakan baru seminar-seminar yang bersifat teori,” tutur Salmi.
Keunikan produk
Konsultan digital marketing, Junior Eka Putro, menyampaikan, seiring dengan peningkatan jumlah pengguna internet, maka kebiasaan berbelanja daring pun bertumbuh. Artinya, ini menjadi peluang dan kesempatan bagi para pelaku usaha untuk memasarkan produk melalui pasar digital.
Untuk memulainya, pelaku usaha harus mengetahui apa yang menjadi keunikan dari produk mereka. Keunikan produk perlu dijelaskan melalui content marketing untuk mengenalkan produk dan menggaet audiens.
”Melalui content marketing yang baik, audiens itu kemudian akan berubah menjadi konsumen. Inilah yang menjadi peluang bagi pelaku UMKM,” kata Eka dalam seminar virtual ”Optimalkan Usaha Anda dengan Digital Marketing Dalam Menghadapi New Normal”.
Alya Mirza, pelaku UMKM yang menjual beras dengan nama ”Beras Delanggu Uenaak” menceritakan, pada awal masa pandemi, omzet berkurang hingga 50 persen. Namun, dengan berjualan secara daring, kini ia bisa mempertahankan usahanya dengan menjual 80 ton beras per bulan.
Bahkan, kata Alya, omzet penjualan beras secara daring kini meningkat hingga lima kali lipat. Meski begitu, memang dalam berjualan daring tidak bisa langsung mendapatkan hasilnya.
”Pemasaran digital itu bukan hal yang instan, enggak semuanya hasil bisa langsung didapatkan saat itu juga, bisa 1 bulan atau bahkan 1 tahun. Jadi memang harus sabar dan konsisten,” ujar Alya.
Belum tepat sasaran
Untuk memulihkan ekonomi, pemerintah kini menganggarkan dana pemulihan ekonomi nasional senilai Rp 641,17 triliun. Dari jumlah tersebut, dialokasikan untuk UMKM, di antaranya anggaran Rp 34,15 triliun berupa subsidi bunga dan penjaminan kredit modal kerja sebesar Rp 5 triliun.
Dukungan fiskal atau pajak sebesar Rp 123 triliun juga telah diperluas hingga sektor UMKM. Pemerintah juga menempatkan Rp 87,59 triliun untuk perbankan yang melakukan restrukturisasi kredit.
Ketua Asosiasi UMKM Ikhsan Ingratubun menilai, bantuan ini tidak sepenuhnya dirasakan oleh seluruh pelaku usaha.
Selain itu, pelatihan penjualan secara daring juga perlu terus dilakukan agar pelaku usaha dapat meningkatkan keterampilan dan kemampuan menjual. Sebab, para pelaku UMKM konvensional tidak hanya bersaing dengan mereka yang sudah ada, tetapi juga para pendatang baru dengan usia relatif muda.
”Semua ini akan berjalan kalau didukung oleh iklim usaha yang baik. Maka, harus ada struktur permodalan yang lunak dan kredit yang lancar bagi pelaku usaha. Langkah-langkah ini perlu dilakukan untuk membantu pelaku UMKM bertahan,” kata Ikhsan.