Berkalang Rindu Berbalut Cemas
Pekerja kapal pesiar harus bergulat dengan dilema selama masa pandemi Covid-19. Mereka yang tetap bekerja di kapal menahan rindu dan cemas, sementara yang pulang bersiap dengan persoalan ekonomi.
Di balkon kamar kapal pesiar berkapasitas 6.000 penumpang, Aco (33) memandangi Samudra Hindia yang diterkam malam. Ayam kecap dan burasa’ buatan ibu membayang di kepala. Jarak, terlebih pandemi Covid-19, membuat pikirannya berkalang rindu serta berbalut cemas.
Tengah malam bagian Timur Tengah, Sabtu (23/5/2020) pekan lalu. Berselang sehari sebelum hari Lebaran. Berbatang rokok ludes diisap pemuda asal Sulawesi Selatan ini. Sekuat tenaga mengalihkan pikiran, namun lamunannya tetap kembali ke kampung jua.
Angannya melayang melewati Laut Arab, belok ke Sri Lanka, masuk ke Laut Andaman, terombang-ambing di Samudra Hindia, tiba di Semenanjung Malaka, melalui Jawa, hingga terpendam di Makassar. Sekitar 9.000 kilometer jauhnya.
Bayangan masakan ibu yang dihidangkan jelang Lebaran tersajikan lengkap. Opor ayam, coto, dan kue barongko adalah bermacam hidangan yang rutin disajikan. Namun, ayam kecap tetap pilihan utama yang terus membekas.
”Tiap Lebaran, Ibu pasti bikin. Tetapi tidak dikasih ke tamu, karena itu khusus untuk saya, he-he-he,” ucapnya melalui pesan pendek. Aco bukan nama asli pemuda ini. Ia meminta agar identitas asli dan nama perusahaan tidak disebutkan.
Ayam kecap buatan sang ibu, tutur Aco, sebenarnya tidak rumit-rumit amat. Bahannya sederhana, hanya perlu bawang putih, cabai, garam, dan kecap. Digoreng dan siap disajikan. Dipadu dengan burasa’ (buras) menjadi kombinasi yang membuat lupa daratan dan lautan, katanya.
Tukang masak di kapal pesiar ini telah khatam memasak berbagai makanan. Eropa, Asia, khas Indonesia, atau berbagai masakan nyeleneh dengan berupa-rupa bumbu. Hanya saja, ayam kecap buatan ibu selalu bikin rindu, utamanya saat Lebaran tiba.
”Kapan (bisa) pulang?” ucapnya.
Aco bercerita, ia adalah salah satu kru kapal pesiar yang dipilih oleh perusahaan untuk tetap bekerja di tengah pandemi. Sebab, kapal tidak boleh kosong dan akan berlayar. Kapal harus bergeser dari Timur Tengah yang terlalu terik menuju pelabuhan yang masih buka. Kapal lalu menuju Asia Tenggara.
Perusahaan akhirnya menjalankan kapal meski tanpa tamu sama sekali. Sebagian besar awak kapal telah dipulangkan. Ia adalah satu dari 140 awak yang dipertahankan perusahaan.
Beberapa hari terakhir, Aco bekerja normal serupa hari biasa. Ia masuk sejak pukul 06.00 untuk membuat sarapan hingga pukul 13.30 untuk makan siang. Setelahnya, ia mendapat waktu istirahat hingga pukul 17.30 dan kembali bekerja hingga pukul 22.00. Selama kerja, ia membuat masakan untuk total 140 orang yang ada di atas kapal.
”Kami di dapur hanya belasan orang. Kalau normal sampai 160 orang. Lorong di kapal itu kalau normal kayak pasar kaget, sekarang kosong melompong,” ujar Aco.
Meski kerja berlebih, di atas delapan jam, ia tetap mendapatkan bayaran normal, lengkap dengan uang lembur. Perusahaan profesional terhadap karyawan meski tamu tidak ada lagi. Di tahun ketiganya di kapal ini, ia harus bertugas selama lebih kurang sembilan bulan.
Antara bersyukur dan juga cemas, ia tetap menjalani rutinitas. Ia cukup bersyukur bekerja setiap hari karena pikirannya fokus dan tidak ke mana-mana. ”Di sini saya memang kerja, masih ada penghasilan. Tetapi, keluarga di kampung bagaimana. Mau sekali pulang, berkumpul dengan keluarga di tengah pandemi begini,” tutur Aco.
Hari Lebaran tiba. Ia tetap harus bekerja seperti biasa. Di waktu istirahat, ia mengabari orang rumah, berkirim foto. Bukan kali pertama ia berlebaran di tanah rantau, berpisah dengan keluarga. Hanya saja, baru kali ini ia merasa cemas sepanjang hari. Cemas akan kesehatan sendiri, cemas akan keluarga, suasana Ramadhan, dan berbagai hal berkecamuk jadi satu.
Cemas
Kecemasan saat pandemi memang terjadi di mana-mana. Semua orang mengalami kecemasan yang tinggi. Bagi pekerja kapal yang berlayar hingga ke negeri jauh di tengah pandemi ini, kecemasan itu semakin tinggi.
Alvin (28), kru kapal pesiar lainnya, juga merasakan kecemasan yang sama. Meski telah berada di Indonesia, ia cemas akan teman-temannya hingga nasib pekerjaan ke depan.
”April lalu seharusnya berangkat ikut kapal di Eropa, tetapi keluarga tidak kasih izin. Khawatir katanya di tengah pandemi ini. Jadi, saya lepas,” kata Alvin, yang menetap di Solo, Jawa Tengah.
Keputusan untuk tidak berangkat dianggapnya keputusan dengan dua sisi yang dampaknya sama. Jika berangkat, ia khawatir akan kesehatan sendiri dan menambah beban pikiran keluarga. Akan tetapi, jika tidak berangkat, ia menjadi penganggur dan khawatir akan masa depan.
Selama berdiam di rumah, ia tidak memiliki kegiatan apa-apa. Ia terus menyibukkan diri agar pikirannya positif dan tetap terjaga.
”Jaga kesehatan penting. Banyak kasus kru kapal pesiar di Amerika yang depresi, bahkan sampai bunuh diri,” kata Alvin.
Dilansir CNN, kasus kematian kru kapal pesiar tercatat di sejumlah negara. Pada 9 Mei lalu, seorang awak kapal pesiar Regal Princess meninggal di Rotterdam, Belanda. Princess Cruises mengonfirmasi kematian perempuan Ukraina berusia 39 tahun itu dan mengatakan telah memfasilitasi penyelidikan yang dipimpin oleh polisi di Rotterdam.
”Polisi Rotterdam mengonfirmasi kepada CNN bahwa kematian itu adalah tindakan bunuh diri,” tulis CNN.
Kasus kematian juga terjadi di sejumlah kapal pesiar lain. Kasus terbaru kematian kru kapal pesiar dilaporkan terjadi pada Jumat pekan lalu di Miami, Amerika Serikat, seperti dilaporkan portal Miami Herald. Seorang kru berkebangsaan Filipina berumur 32 tahun ditemukan meninggal dengan penyebab dari ”tindakan yang merugikan diri sendiri”.
Selama masa pandemi Covid-19, bisnis kapal pesiar menjadi sektor yang juga paling terdampak. Kapal hanya sandar di pelabuhan selama tiga bulan terakhir. Sebagian dari jutaan orang yang menjadi kru di seluruh dunia telah dipulangkan, sementara sebagian lagi tetap di kapal.
Data Kementerian Luar Negeri, ada 12.748 WNI yang bekerja di kapal pesiar di seluruh dunia. Sebagian dari pekerja tersebut telah dipulangkan. Hal ini juga terjadi di sektor perkapalan lain.
Wakil Sekretaris Jenderal Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI) Sofyan menyebutkan, industri kapal pesiar memang paling terpukul selama pandemi. Tidak heran, ribuan pekerja kapal pesiar harus dirumahkan dan dipulangkan sementara.
”Berdasarkan laporan, memang pelaut kita cemas karena kondisi extraordinary seperti sekarang. Di kapal, mereka dikarantina entah sampai kapan dan di kampung halaman, mereka tidak tahu harus berbuat apa. Sementara penghasilan terhenti,” ucap Sofyan.
Satu hal yang menjadi sorotan, ujarnya, adalah kurangnya perhatian pemerintah bagi para pelaut ini. Para pelaut seakan menjadi anak tiri di negeri sendiri.
”Yang di luar negeri itu harus terus diperhatikan kesehatan mentalnya. Bagi pelaut yang sudah pulang, atau tidak jadi berangkat, pemerintah seharusnya mengikutkan mereka ke program Kartu Prakerja. Bagaimanapun, mereka sekarang penganggur, tetapi dengan skill. Ingat, mereka ini pahlawan devisa,” ucapnya.
Bagi Aco, Alvin, dan ribuan pelaut lain, bekerja di kapal merupakan karier yang dibangun bertahun-tahun. Namun, di tengah pandemi dan kompleksitas masalah, mereka menjadi serba salah. ”Saya rencana akan berhenti total. Mau bangun usaha kecil-kecilan saja. Doakan, ya, Mas,” ujar Alvin.