Bank Indonesia membeli Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 200,25 triliun sejak awal tahun ini. Sementara Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan kebijakan untuk menstimulus kondisi perekonomian.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia memborong Surat Berharga Negara yang diterbitkan pemerintah senilai Rp 200,25 triliun sejak awal 2020. Langkah ini untuk mengakomodasi kebutuhan fiskal yang besar di tengah kondisi transmisi lembaga keuangan yang macet akibat pandemi Covid-19.
Dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Kamis (28/5/2020), Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, BI telah mengantongi Surat Berharga Negara (SBN) yang totalnya mencapai Rp 443,48 triliun. SBN itu diperoleh BI dari pembelian di pasar perdana dan pasar sekunder.
”BI menyediakan likuiditas di pasar uang karena bank sentral tidak bisa langsung menjangkau sektor riil. Fungsi di sektor riil adalah stimulus kebijakan fiskal,” ujarnya.
Perry merinci, jumlah SBN milik perbankan yang dapat direpokan ke BI sebenarnya sangat besar. Per 14 Mei 2020, ujarnya, jumlah SBN perbankan sebesar Rp 886 triliun atau sekitar 16,4 persen dari total dana pihak ketiga (DPK) perbankan.
Repo adalah perjanjian jual-beli efek dengan kesepakatan dapat dibeli kembali pada jangka waktu tertentu.
Dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Dalam undang-undang tersebut, disebutkan bahwa bank sentral bisa membeli Surat Utang Negara (SUN) atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) di pasar perdana.
Fungsi di sektor riil adalah stimulus kebijakan fiskal.
Sebelum penerapan undang-undang ini, BI hanya diperbolehkan membeli SBSN jangka pendek di bawah satu tahun dari pasar perdana untuk instrumen moneter keuangan syariah.
Sepanjang tahun ini, BI telah membeli SBN mencapai Rp 200,25 triliun yang terdiri dari pembelian SBN di pasar sekunder sebanyak Rp 166,2 triliun, pembelian SBN di pasar perdana sebelum penerapan UU No 2/2020 senilai Rp 10,07 triliun, dan pembelian SBN di pasar perdana setelah penerapan UU No 20/2020 sebesar Rp 23,98 triliun.
Adapun SBN yang dibeli BI di pasar perdana sebagai tindak lanjut UU No 2/2020, yakni pada lelang 21-22 April 2020 senilai Rp 4,65 triliun. Sementara pada 28-29 April, BI menyerap Rp 9,07 triliun. Selanjutnya pada 5-8 Mei, bank sentral menyerap Rp 7,31 triliun SBSN.
Pada 12 Mei, BI kembali menyerap SBN senilai Rp 1,77 triliun. Kemudian, pada 18 Mei, bank sentral menyerap Rp 1,17 triliun dari lelang utama 5 seri SBN pemerintah.
Perry menambahkan, BI menjalankan mekanisme repo dalam menyalurkan likuiditas melalui bank peserta kepada bank pelaksana yang menjalani restrukturisasi kredit. Hal ini dilakukan sesuai skema progam Pemulihan Ekonomi Nasional pemerintah.
”Mekanisme repo SBN ini adalah tahap pertama yang harus dilakukan perbankan. Sesuai undang-undang, setiap hari BI melakukan operasi moneter untuk pendanaan likuiditas kepada bank melalui repo dengan SBN yang dimiliki bank,” ujarnya.
Relaksasi
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali mengeluarkan kebijakan relaksasi agar perbankan mampu memberikan ruang likuiditas dan permodalan di tengah pandemi Covid-19.
Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK Anto Prabowo menjelaskan, kebijakan stimulus lanjutan dikeluarkan akibat kecenderungan penurunan aktivitas perekonomian.
”Jika tidak dikeluarkan stimulus lanjutan, maka dapat berefek kepada sektor keuangan melalui transmisi pelemahan sektor riil,” ujarnya.
OJK menyesuaikan beberapa ketentuan perbankan selama periode relaksasi, antara lain meniadakan kewajiban pemenuhan capital conservation buffer dalam komponen modal sebesar 2,5 persen dari aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR).
”Relaksasi ini diterapkan bagi bank yang masuk klasifikasi bank umum kelompok usaha (BUKU) III dan IV, berlaku hingga 31 Maret 2021,” kata Anto.
Selain itu, kewajiban pemenuhan liquidity coverage ratio (LCR) dan net stable funding ratio (NSFR) bagi bank BUKU III dan BUKU IV serta bank asing harus dipelihara minimal 85 persen hingga 31 Maret 2021. Bank wajib menyusun rencana tindak untuk mengembalikan pemenuhan LCR dan NSFR menjadi 100 persen paling lambat 30 April 2021.
”Perbankan dapat melakukan persetujuan restrukturisasi kredit dengan beberapa alternatif tata kelola, tetapi tetap memperhatikan prinsip obyektivitas, independensi, menghindari benturan kepentingan, dan kewajaran,” ujar Anto.