Keinginan tetap menggerakkan ekonomi dan membatasi pergerakan demi mencegah penularan virus jadi dilema. Namun, penting bagi kita untuk mengenali diri, musuh, dan teguh bersikap untuk menghadapi pandemi.
Oleh
C Anto Saptowalyono
·3 menit baca
Kenali musuhmu dan kenali dirimu. Hal itu akan mengamankan kemenanganmu. Esensi butir pemikiran Sun Tzu, penulis falsafah perang, ini patut dicamkan dalam ikhtiar kita melawan Covid-19.
Mari jujur memandang diri kita dan ”musuh” kita itu agar tidak salah dalam mengambil langkah. Apakah kita sudah mengenali musuh kita, yakni virus korona jenis baru yang menyebabkan Covid-19 tersebut?
Fakta bahwa hingga sekarang belum ditemukan vaksin Covid-19 menunjukkan bahwa musuh masih belum sepenuhnya dikenali. Jumlah kasus positif dan orang yang meninggal dunia akibat Covid-19 pun masih terus bertambah di negeri ini.
Alhasil, kesalahan mengambil kebijakan dan ketidakdisiplinan dalam menerapkan protokol kesehatan harus dihindari. Keduanya berpotensi menjadikan Covid-19 menyebar makin luas, bahkan makin tidak terkendali.
Ketepatan regulasi dapat diupayakan dengan mengakomodasi masukan pihak-pihak terkait yang berkompeten. Ketika inti masalah yang dihadapi saat ini berkaitan dengan epidemi, tentu pendapat kalangan ahli epidemiologi patut menjadi pertimbangan utama.
Dari sekian opsi tindakan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, pemerintah telah memilih kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menanggulangi penyebaran Covid-19. Bagaimana hasilnya? Kita dapat melihatnya dari berbagai sisi.
Akan tetapi, karena PSBB tersebut bertujuan mempercepat penanganan Covid-19, sudah seharusnya indikator utama yang harus dilihat adalah data perkembangan jumlah dan sebaran kasus positif Covid-19, berikut jumlah warga sembuh dan meninggal dunia akibat penyakit ini.
Merujuk laman www.covid19.go.id, pada 28 Mei 2020 terdata ada 24.538 kasus positif Covid-19 di Indonesia. Jumlah warga yang meninggal akibat Covid-19 sebanyak 1.496 orang. Sudah berganda, berkali lipat, jumlah kasus positif dan meninggal dunia akibat Covid-19 dibandingkan saat pertama diumumkan di Indonesia pada 2 Maret 2020. Penyebaran Covid-19 pun kini sudah merangsek ke semua provinsi dan sekian banyak kabupaten/kota di Indonesia.
Sebaliknya, ketika publik melihat penanganan Covid-19 mulai memperlihatkan titik terang, harapan akan mulai bersemi. Roda ekonomi pun dapat berputar kembali.
Dilema
Masyarakat Transportasi Indonesia pekan lalu kembali mengingatkan pemerintah agar menggunakan bukti ilmiah dalam mengambil kebijakan terkait Covid-19. Sebelum jumlah uji sampel melalui tes usap reaksi rantai polimerase (swab-PCR) sesuai standar tercapai, yakni 10.000 per 1 juta penduduk, pemerintah disarankan jangan mengambil kesimpulan sendiri tanpa dasar karena akan sangat berbahaya.
Saran agar kebijakan harus berbasis data ilmiah tersebut masuk akal. Sebab, setiap keputusan terkait penanganan Covid-19 ini akan menghadapi risiko yang tak kecil. Nyawa warga negara menjadi taruhannya. Oleh karena itu, jangan dulu membuat kelonggaran pada saat pembatasan sebenarnya masih dibutuhkan untuk mengerem laju penularan virus.
Khazanah Jawa mengenal ungkapan aja nggege mangsa. Terjemahan bebasnya, jangan terburu-buru atau memaksakan diri meraih sesuatu sebelum tiba waktunya yang tepat.
Adalah tantangan tersendiri menyandingkan keinginan tetap menggerakkan ekonomi dengan tuntutan menjaga jarak fisik demi mencegah penularan virus. Keduanya, terlebih saat pandemi, acap kali tak seiring.
Di tengah pandemi, aktivitas ekonomi yang dijalankan dari rumah, yang memungkinkan warga mencari nafkah tanpa harus ”bertaruh nyawa” berkegiatan dalam kerumunan banyak orang di luar rumah, dapat menjadi salah satu pilihan. Sebelum pandemi pun ada berbagai ikhtiar di tengah masyarakat yang merupakan bentuk penyiasatan di tengah tuntutan efisiensi. Sebut, misalnya, praktik di usaha konveksi, yakni ketika ada pekerjaan borongan yang digarap beberapa penjahit secara perseorangan.
Tanpa perlu berkerumun di suatu pabrik atau lokasi usaha, tiap penjahit bekerja secara individual di rumah masing-masing dan kemudian menyetorkan produk jadinya. Itu hanya salah satu contoh kecil.
Tentu banyak pendekatan atau penyesuaian, diselaraskan karakteristik tiap bidang, yang dapat diupayakan ”untuk sementara waktu” di tengah kondisi darurat sekarang. Intinya, di tengah pandemi ini, dibutuhkan keteguhan sikap untuk fokus memutus rantai penyebaran virus. Fokus jangan teralihkan. Covid-19 harus secepatnya dikendalikan untuk menghindarkan risiko dampak buruk berkepanjangan.