Sejak diwacanakan awal Mei 2020, bantuan untuk petani belum terealisasi. Padahal, bantuan dibutuhkan sebagai stimulus produksi untuk menopang ketahanan pangan dalam negeri di tengah pandemi.
Oleh
M Paschalia Judith J
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak diwacanakan awal Mei 2020, bantuan pemerintah untuk petani sebagai produsen pangan belum terealisasi. Padahal, bantuan dibutuhkan sebagai stimulus produksi sekaligus ketahanan pangan dalam negeri.
Pada saat yang sama, negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tengah membahas relaksasi arus ekspor-impor komoditas pangan. Negosiasi ditempuh agar perdagangan terbuka dan adil bagi setiap negara yang saling bergantung satu sama lain.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyebutkan, ada 2,76 juta petani di Indonesia yang tergolong miskin. ”Petani berada di garda terdepan dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Oleh sebab itu, petani mesti mendapatkan perhatian,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas, Jumat (29/5/2020).
Setiap petani diwacanakan mendapat bantuan Rp 300.000 per orang selama tiga bulan untuk membeli sarana, seperti benih, pupuk, dan pestisida. Petani juga akan mendapatkan biaya operasionalisasi Rp 300.000.
Akan tetapi, soal kapan realisasinya belum ada waktu yang ditetapkan pemerintah. Menurut Syahrul, realisasi bantuan berada di ranah Kementerian Sosial serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Secara umum, Presiden Joko Widodo menyatakan pemerintah telah merumuskan skema program yang bertujuan meringankan beban biaya konsumsi rumah tangga keluarga tidak mampu. Petani dan nelayan miskin masuk dalam sasaran skema program ini.
Bantuan berupa stimulus modal kerja, subsidi bunga kredit, dan jaring pengaman sosial. Alokasi anggaran mencapai Rp 34 triliun.
Sinyal relaksasi
Saat ini, negara-negara anggota WTO tengah membahas mekanisme ekspor-impor pangan. John Deep Ford, pimpinan pembahasan di tingkat WTO, menyatakan, keamanan pangan (food security) antarnegara saling bergantung satu sama lain. Agar sistem perdagangan pangan dapat terbuka dan adil bagi tiap negara anggota, perlu adanya negosiasi.
Dalam pembahasan itu, sejumlah perwakilan negara anggota WTO menekankan pentingnya negosiasi pertanian dalam menjaga keamanan pangan selama pandemi Covid-19. Pandemi telah mendisrupsi rantai pasok pangan, utamanya di tataran negara berkembang dan negara tak berkembang.
Anggota WTO yang tergolong negara berkembang menilai disrupsi itu dapat merugikan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani. Menurut anggota-anggota WTO, krisis kesehatan tak semestinya menjadi krisis pangan.
Mengenai pembahasan WTO itu, peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Felippa Ann Amanta, menyatakan, Indonesia berpeluang memenuhi kebutuhan pangannya dengan impor dari negara lain. Apabila hal itu menjadi salah satu pilihan, impor pangan semestinya berorientasi komoditas-komoditas yang tak bisa diproduksi sendiri.
Menurut Felippa, pembatasan ekspor-impor pangan dapat berdampak negatif terhadap ketahanan pangan dunia, apalagi negara-negara berkembang. Berdasarkan studi yang dihimpun, dia menyebutkan harga beras dunia meningkat dua kali lipat pada 2007 dan 2008 bersamaan dengan pembatasan ekspor beras Vietnam.