Hasil revisi UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terus meninggalkan kontroversi. Penghapusan pasal pemidanaan pemberian izin dikhawatirkan memberi ruang penyalahgunaan wewenang.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberian izin pertambangan dikhawatirkan disalahgunakan menyusul penghapusan pasal pemidanaan pejabat pemberi izin dalam hasil revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal jaminan perpanjangan operasi perusahaan juga disorot lantaran perusahaan memiliki tanggung jawab reklamasi puluhan ribu hektar lahan bekas tambang.
Hal itu mengemuka dalam telekonferensi pers bertajuk ”Sidang Rakyat Melawan UU Minerba”, Senin (1/6/2020), yang diselenggarakan koalisi masyarakat sipil. Telekonferensi ini sebagai bentuk respons atas pengesahan revisi UU No 4/2009 pada 12 Mei 2020 di Gedung DPR. Koalisi menilai banyak pasal kontroversial dari hasil revisi tersebut.
Dalam Pasal 165 UU No 4/2009 disebutkan, setiap orang yang mengeluarkan izin usaha pertambangan (IUP), izin pertambangan rakyat (IPR), atau IUP khusus (IUPK) yang bertentangan dengan UU tersebut dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 200 juta. Dalam UU hasil revisi, Pasal 165 tersebut dihapuskan.
”Jadi, silakan pejabat bebas menerbitkan izin pertambangan karena tidak akan dipidana. Aturan pemidanaan sudah dihapuskan dalam revisi UU minerba,” ujar Timer Manurung dari Yayasan Auriga Nusantara dalam telekonferensi pers itu.
Kami akan mendorong agar UU hasil revisi ini dibatalkan. Tentu cara yang akan kami tempuh sesuai konstitusi, yaitu dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. (Timer Manurung)
Timer juga menyoroti Pasal 169 hasil revisi tentang perpanjangan kontrak pertambangan. Menurut pasal tersebut, perusahaan pemegang kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) diberi jaminan perpanjangan oleh pemerintah selama dua kali, masing-masing 10 tahun. Dasar perpanjangan kontrak adalah mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.
”Kami akan mendorong agar UU hasil revisi ini dibatalkan. Tentu cara yang akan kami tempuh sesuai konstitusi, yaitu dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi,” ujar Timer.
Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia Maryati Abdullah menambahkan, UU hasil revisi berpotensi menimbulkan kerusakan terhadap daya dukung lingkungan yang lebih masif. Pasalnya, batas wilayah hukum pertambangan seperti dalam UU tersebut adalah seluruh wilayah ruang darat, ruang laut, dan ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah di Indonesia.
”Dalam hal perizinan ditemukan banyak sekali pasal yang berkaitan dengan penyesuaian tata ruang dihapuskan. Bisa dibayangkan UU ini akan mengabaikan peraturan yang berkaitan dengan tata ruang,” kata Maryati.
RUU Cipta Kerja yang terus berlanjut juga menandakan kurang pekanya mereka terhadap suara rakyat.
Sementara itu, dari segi proses pengesahan revisi UU No 40/2009, menurut mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqoddas, pemerintah dan DPR mengabaikan aspirasi masyarakat. Rancangan UU Cipta Kerja melalui mekanisme omnibus law yang terus berlanjut di tengah pandemi Covid-19 dinilai kurang tepat. Apalagi, pada saat yang sama, revisi UU No 40/2009 telah disahkan.
”Proses terbentuknya revisi UU Nomor 40/2009 mencederai rakyat. (Pembahasan) RUU Cipta Kerja yang terus berlanjut juga menandakan kurang pekanya mereka terhadap suara rakyat,” kata Busyro.
Sebelumnya, dalam sidang paripurna DPR untuk mengesahkan revisi UU No 40/2009 menjadi UU, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menyatakan, pengesahan diharapkan menjadi solusi atas sejumlah masalah di sektor pertambangan. Salah satunya mengenai peningkatan nilai tambah mineral dan batubara. Arifin berharap UU tersebut dapat memperbaiki tata kelola sektor pertambangan di Indonesia.
Anggota Komisi VII DPR dari Partai Golkar, Maman Abdurrahman, juga menepis anggapan bahwa proses revisi dilakukan terburu-buru dan tertutup. Menurut dia, revisi UU No 4/2009 sudah dimulai sejak 2015. Bahkan, ia menyebut prosesnya terlalu lama karena hasil revisi baru selesai pada 12 Mei 2020. Ia juga menyebut rapat pembahasan revisi dilakukan secara terbuka dan transparan.
Mengenai jaminan perpanjangan kontrak, menurut Maman, di tengah situasi yang penuh ketidakpastian seperti sekarang ini, jaminan perpanjangan kontrak memberikan kepastian berinvestasi. Selain itu, akan ada kepastian penyerapan tenaga kerja di tengah pandemi Covid-19 yang banyak terjadi pemutusan hubungan tenaga kerja. Menurut dia, DPR tetap akan menjalankan fungsi pengawasan terhadap perusahaan pemegang konsensi tambang batubara.