Bank Dunia: Ekonomi RI Tahun Ini Tumbuh 0 Persen, Jangan Abaikan Kesehatan
Bank Dunia kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi nol persen pada 2020. Saat ini, upaya menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi tidak bisa mengesampingkan aspek kesehatan.
Oleh
karina isna irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Dunia kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi nol persen pada 2020, bahkan minus 3,5 persen dalam skenario buruk. Selain pandemi Covid-19, risiko tekanan ekonomi saat ini juga diperparah oleh anjloknya harga komoditas global dan harga minyak mentah dunia.
Ekonom Senior Bank Dunia untuk Indonesia Ralph van Doorn, Selasa (2/6/2020), menuturkan, perekonomian Indonesia diproyeksikan tumbuh nol persen. Proyeksi ini lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar 2,1 persen. Kondisi ekonomi saat ini diperburuk oleh anjloknya harga beberapa komoditas global, terutama minyak mentah.
Dalam skenario buruk, Bank Dunia memproyeksikan perekonomian Indonesia tumbuh minus 3,5 persen pada 2020. Kedalaman kontraksi ekonomi sangat dipengaruhi kondisi global. Jika pertumbuhan ekonomi global mengalami perbaikan—terutama di China dan negara-negara Eropa—perlambatan pertumbuhan ekonomi domestik akan berkurang.
”Perekonomian semua negara maju dan berkembang melambat dari perkiraan. Pemulihan ekonomi hanya bisa dilakukan secara gradual tanpa mengesampingkan respons terhadap krisis kesehatan,” ujar Doorn dalam telekonferensi pers di Jakarta.
Dalam skenario buruk, Bank Dunia memproyeksikan perekonomian Indonesia tumbuh minus 3,5 persen pada 2020.
Bank Dunia juga menyebutkan, perlambatan pertumbuhan ekonomi yang semakin dalam akan meningkatkan angka kemiskinan dan pengangguran. Berdasarkan riset Bank Dunia, kemiskinan di Indonesia akan meningkat berkisar 2,1-3,6 persen atau sebanyak 5,6 juta-9,6 juta pada 2020. Angka itu tidak memperhitungkan dampak pandemi Covid-19.
Menurut Doorn, saat ini upaya menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi tidak bisa mengesampingkan aspek kesehatan. Jika penanganan Covid-19 berlarut-larut dan tidak efektif, kontraksi pertumbuhan ekonomi bisa semakin dalam. Kebijakan perlu disesuaikan dengan fase pandemi yang berbeda.
Fase pertama adalah meyiapkan ”kunci penahan” perlambatan ekonomi. Hal itu mencakup respons kebijakan di bidang kesehatan berupa pelaksanaan tes massal, peningkatan kapasitas sistem pelayanan, dan aturan pembatasan mobilitas.
Jika penanganan Covid-19 berlarut-larut dan tidak efektif, kontraksi pertumbuhan ekonomi bisa semakin dalam. Kebijakan perlu disesuaikan dengan fase pandemi yang berbeda.
Kebijakan bidang kesehatan, lanjut Doorn, harus dibarengi kebijakan perlindungan sosial yang kuat berupa pemberian bantuan langsung dan jaminan keamanan pangan. Selain itu, pemerintah juga perlu meminimalkan biaya dunia usaha melalui subsidi atau insentif pajak.
”Jika ’kunci penahan’ perlambatan ekonomi sudah disiapkan, fase pemulihan bisa dimulai. Pemerintah dapat membuka kegiatan ekonomi secara bertahap,” lanjutnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, APBN 2020 sudah didesain untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan bantalan kesehatan, jaring pengaman sosial, dan bantuan dunia usaha sampai akhir tahun. Oleh karena itu, kebutuhan pembiayaan defisit APBN 2020 diperkirakan meningkat menjadi Rp 1.028 triliun atau 6,27 persen produk domestik bruto (PDB).
Adapun skenario pemulihan ekonomi diperkirakan masih berbentuk V. Kontraksi ekonomi akan terjadi pada triwulan II-2020 dan diproyeksikan berlanjut hingga triwulan III-2020.
”Ekonomi akan berangsur pulih mulai triwulan IV-2020 seiring dengan penurunan kasus baru dan penerapan protokol normal baru di beberapa daerah,” ujarnya.
Peningkatan utang
Dalam laporan terbaru bertajuk ”Prospek Ekonomi Global” edisi Juni 2020, Bank Dunia mengingatkan tentang risiko peningkatan utang di negara-negara berkembang untuk pembiayaan pemulihan ekonomi dampak pandemi Covid-19, termasuk Indonesia. Utang meningkat karena pendapatan dalam negeri berkurang sejalan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Doorn mengatakan, rasio utang terhadap PDB Indonesia diproyeksikan meningkat sampai 37 persen. Peningkatan rasio utang dipengaruhi defisit APBN yang melebar, pertumbuhan ekonomi melambat, dan nilai tukar rupiah melemah.
Indonesia membutuhkan biaya besar untuk pemulihan ekonomi dan sosial serta penanganan kesehatan. ”Pemerintah harus menjaga kepercayaan pasar mengingat kebutuhan pembiayaan cukup besar,” kata Doorn.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, proyeksi terbaru kebutuhan pembiayaan utang tahun 2020 mencapai Rp 1.633,6 triliun. Sumber pembiayaan akan dipenuhi dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) bruto mencapai Rp 1.521,1 triliun atau sekitar 93 persen dari total kebutuhan. Adapun penarikan pinjaman sekitar Rp 148 triliun.
Terbaru, Bank Dunia memberikan pinjaman sebesar 250 juta dollar AS kepada Indonesia untuk program respons darurat penanganan Covid-19 di Indonesia. Pinjaman itu setara dengan Rp 3,62 miliar berdasarkan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada Selasa.
Pinjaman akan digunakan untuk memperkuat aspek-aspek utama tanggap darurat Indonesia terhadap pandemi, antara lain melengkapi fasilitas rujukan Covid-19, mengingatkan persediaan alat pelindung diri, memperkuat jaringan laboratorium dan sisten pengawasan, serta mendukung pengembangan protokol kesehatan untuk layanan berkualitas.
Secara terpisah, ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual, berpendapat, rendahnya daya serap pasar obligasi global menjadi momentum bagi Indonesia untuk menyeimbangkan porsi pembiayaan. Selama ini, dana yang bersumber dari pinjaman bilateral ataupun multilateral relatif kecil. Padahal, sejumlah lembaga multilateral membuka akses pinjaman cukup besar.
Pemerintah perlu mengakses sumber dana dari pinjaman multilateral dan bilateral selain dari penerbitan obligasi global. ”Kenaikan pinjaman akan mengurangi kepemilikan asing di pasar obligasi pemerintah yang mencapai 40 persen. Porsi asing yang relatif besar menyebabkan perekonomian domestik rentan guncangan,” katanya.