Ketimbang buru-buru memulai normal baru, pandemi mesti diatasi terlebih dulu, baru memulihkan ekonomi. Segenap program pemulihan ekonomi bakal sia-sia jika kasus dan korban baru akibat Covid-19 bertambah setiap hari.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Pencabutan pembatasan sosial berskala besar sejatinya baru wacana. Langkah pelonggaran pun mensyaratkan sejumlah kondisi. Namun, sinyal yang dibunyikan pemerintah segera menerbitkan euforia: jalan-jalan utama, pasar-pasar tradisional, dan sejumlah tempat pelayanan publik mulai padat dan ramai lagi.
Pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) semestinya ditempuh jika beberapa syarat dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terpenuhi, seperti angka reproduksi virus di bawah 1 selama sepekan, maksimum 60 persen tempat tidur di rumah sakit tersedia untuk perawatan kasus Covid-19, dan kapasitas tes laboratorium 3.500 per 1 juta penduduk (Kompas, 28/4/2020).
Sejumlah pihak juga mengingatkan pemerintah untuk tidak terburu-buru. Sebab, hingga kini, kasus dan tingkat penularan Covid-19 di sejumlah wilayah masih tinggi. Angka penularan kasus Covid-19 (RT) di DKI Jakarta, misalnya, masih relatif tinggi, yakni 1,09 yang berarti belum memenuhi syarat pelonggaran PSBB.
Akan tetapi, pemerintah beralasan tidak punya banyak pilihan, seolah dihadapkan pada pilihan memutus ekonomi atau rantai Covid-19. Pelonggaran PSBB diharapkan memperbaiki penurunan daya beli masyarakat sekaligus menahan lonjakan angka pengangguran.
Gelombang informasi pelonggaran pun makin kencang. Pernyataan yang berulang disampaikan oleh sejumlah pejabat publik memperkuat impuls tentang situasi normal baru. Seolah-olah puncak pandemi telah terlalui. Seolah Indonesia layak bersiap memasuki fase baru setelah pandemi. Apalagi ada embel-embel program Exit-Strategy Covid-19 dan peta jalan fase pembukaan ekonomi.
Kajian sejumlah peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dalam ”Normal Baru di Tengah Pandemi: Harapan Vs Realita”, intervensi pemerintah tak cukup efektif membatasi pergerakan masyarakat dua bulan terakhir. Pengumuman kasus pertama Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret dan penetapan status kedaruratan kesehatan masyarakat pada 31 Maret, misalnya, tak efektif membatasi pergerakan, sebagaimana tecermin dalam data Google Community Mobility Report yang menggambarkan pergerakan orang. Pelonggaran transportasi pada 7 Mei malah kontraproduktif terhadap upaya pembatasan.
Sinyal yang cukup efektif membatasi pergerakan adalah larangan mudik yang disampaikan 21 April dan berlaku 24 April. Intervensi paling ampuh membatasi pergerakan masyarakat berdasarkan kajian itu adalah ketika pemerintah menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional pada 31 Maret 2020. Hal itu terlihat dari susutnya pergerakan orang di tempat kerja, sarana transportasi, dan pertokoan ritel.
Studi itu menunjukkan pilihan kebijakan terkait pembatasan berpengaruh pada skala pergerakan masyarakat dan transmisi virus. Jika pergerakan masyarakat tetap dibatasi, berdasarkan simulasi, akan menekan angka kasus dan kematian akibat Covid-19. Sebaliknya, pelonggaran PSBB berpotensi memperpanjang masa pandemi dan menambah kasus kematian.
Lalu, bagaimana menekan angka kasus Covid-19? Selain memperpanjang PSBB di wilayah-wilayah dengan tingkat penyebaran yang masih tinggi, upaya lain yang penting ditempuh pemerintah adalah memperluas jangkauan pengetesan, memperkuat pelacakan, serta menambah sarana penunjang kesehatan. Rencana membuka tempat-tempat kerumunan, seperti pasar tradisional, sekolah, transportasi massal, tempat ibadah, dan pabrik-pabrik bercorak padat karya, perlu dihitung dengan baik risiko dan kesiapannya.
Seperti berulang disampaikan sejumlah ahli, pandemi mesti diatasi terlebih dahulu, baru memulihkan ekonomi. Semua program pemulihan tentu tidak akan berarti jika kasus baru dan korban meninggal akibat Covid-19 bertambah setiap hari.