Garuda Indonesia menanti dana pinjaman dari pemerintah yang bisa mencapai Rp 8,5 triliun untuk lanjutkan bisnis maskapai di era normal baru. Dana talangan dijanjikan tidak akan dipakai untuk membayar utang sukuk.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri penerbangan menjadi salah satu sektor yang paling terdampak pandemi Covid-19. Adanya rencana kucuran dana talangan dari pemerintah menjadi angin segar bagi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk untuk tetap optimistis hadapi masa depan bisnis.
Garuda Indonesia direncanakan menerima stimulus dalam bentuk dana talangan sebesar Rp 8,5 triliun dari pemerintah. Stimulus ini merupakan rangkaian dari skema Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN) terhadap sektor-sektor yang paling terdampak pandemi Covid-19.
Talangan tersebut merupakan dana pinjaman alias bantuan berbentuk loan sehingga penggunaannya mesti dirundingkan bersama antara perusahaan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dalam konferensi pers virtual, Jumat (5/6/2020), Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra memastikan pihaknya akan memenuhi kesepakatan dengan pemerintah terkait dana talangan. Salah satunya adalah tidak menggunakan dana pinjaman untuk membayar utang perusahaan. ”Pemerintah sudah sampaikan bahwa dana talangan ini tidak boleh diperuntukan membayar utang sukuk,” ujarnya.
Dana talangan tidak diperuntukkan membayar utang sukuk.
Pada 3 Juni 2020, Garuda Indonesia memiliki utang jatuh tempo berupa sukuk global senilai 500 juta dollar AS. Irfan mengklaim lebih dari 90 persen pemegang sukuk telah sepakat untuk memperpanjang tenor surat utang hingga tiga tahun mendatang.
Sebelum dicairkan, kata Irfan, Garuda Indonesia dan pemerintah akan menyepakati jangka waktu, rincian penggunaan, dan skema pembayaran pengembalian dana talangan. Saat ini sejumlah rencana pemanfaatan dana talangan telah disetujui Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN, di antaranya untuk modal kerja serta efisiensi perusahaan.
”Dengan bantuan ini, kami berharap likuiditas perseroan akan lebih sehat sehingga seusai pandemi nanti maskapai penerbangan dapat lebih kompetitif,” ujarnya.
Kinerja tertahan
Irfan mengakui, pandemi Covid-19 membuat pendapatan Garuda Indonesia menurun. Pasalnya, utilitas perusahaan menjadi sangat rendah dengan 70 persen dari pesawat Garuda Indonesia sudah diistirahatkan, imbas dari pengurangan penumpang akibat pembatasan sosial berskala besar.
”Kami berharap setelah 7 Juni 2020, Kementerian Perhubungan dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melakukan kebijakan baru di normal baru yang memungkinkan industri penerbangan terelaksasi,” ujarnya.
Dia juga menyebutkan jumlah penumpang pesawat menurun drastis hampir 90 persen. Hal ini membuat perseroan memutar otak untuk lebih fokus pada bisnis kargo, sewa pesawat, serta usaha pemulangan warga negara asing dan warga negara Indonesia.
Irfan pun menegaskan bahwa Garuda Indonesia bukanlah perusahaan yang istimewa yang mampu keluar dari masalah-masalah yang membelit industri penerbangan global saat ini. Bentuk efisiensi pegawai juga saat ini sudah ditempuh perseroan dalam usaha memperkecil risiko dalam menghadapi pandemi.
”Saat ini, 135 pilot dari 1.400 pilot sudah dipercepat penyelesaian kontraknya. Seluruhnya tetap mendapatkan hak-hak sebagaimana mestinya,” ujarnya.
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan, pihak kementerian menyerahkan keputusan pada manajemen Garuda Indonesia. Menurut dia, tekanan pandemi Covid-19 berdampak pada kinerja bisnis. Hal itu menyebabkan efisiensi dilakukan agar bisnis maskapai tetap bisa bertahan dan beroperasi.