JAKARTA, KOMPAS — Suntikan dana tambahan bagi badan usaha milik negara dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional jadi prioritas audit Badan Pemeriksa Keuangan. Audit meliputi ketepatan pemilihan BUMN penerima suntikan dana, penggunaan anggaran sesuai syarat, dan rencana bisnis BUMN.
Dana tambahan bagi BUMN tersebut berupa dana talangan modal kerja, penyertaan modal negara (PMN), dan dana kompensasi.
”Jangan sampai BUMN yang sebelum Covid-19 sudah bermasalah justru menerima dana talangan modal kerja dari pemerintah. Hal ini harus menjadi perhatian bersama. BPK akan fokus ke situ,” kata anggota III BPK, Achsanul Qosasi, yang dihubungi pada hari Senin (8/6/2020).
Tahun ini, pemerintah menyuntikkan dana tambahan Rp 118,15 triliun melalui program pemulihan ekonomi nasional Rp 42,07 triliun dan dana kompensasi Rp 76,08 triliun. Ada 10 BUMN terkena dampak Covid-19 yang memperoleh dana tambahan melalui program pemulihan ekonomi nasional.
Achsanul mengatakan, audit penggunaan anggaran berdasarkan kesesuaian dengan persyaratan pemerintah dan rencana bisnis perusahaan. Anggaran PMN, misalnya, tidak boleh digunakan untuk membayar gaji pegawai dan utang perusahaan. Audit BPK kerap menemukan penggunaan dana dari pemerintah untuk membayar utang jangka pendek BUMN.
Dana pemulihan ekonomi nasional untuk BUMN seharusnya digunakan untuk memutar roda perekonomian, antara lain membayar vendor atau operasional sesuai rencana bisnis perusahaan. Jika digunakan untuk membayar gaji atau utang, suntikan dana tidak berdampak signifikan bagi perekonomian nasional.
”Dana pemulihan ekonomi dapat digunakan sepanjang untuk operasional dan program prioritas BUMN,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan berpendapat, mestinya ada kriteria dan sanksi khusus bagi BUMN yang mendapat suntikan dana pemulihan ekonomi nasional atau PEN. Kriteria khusus itu berkaitan dengan laporan kesehatan keuangan BUMN sebelum Covid-19.
Suntikan dana pemulihan ekonomi nasional sebaiknya memprioritaskan BUMN terkait pangan, transportasi, dan pariwisata. Sementara suntikan dana bagi BUMN di sektor manufaktur atau sumber daya alam perlu dipertimbangkan lagi karena dana pemerintah terbatas.
”Bagi BUMN yang sudah tidak sehat sebelum covid-19 tidak perlu disuntik pendanaan baru, kecuali ada perombakan manajemen,” ujar Misbah.
Baca juga : Dana Bukan untuk Utang
Pemerintah juga mesti membuat indikator sanksi bagi BUMN yang kinerjanya tidak membaik kendati sudah disuntik dana. Jangan sampai Covid-19 dijadikan alasan atas kinerja BUMN yang buruk setelah dana diberikan.
Misbah menambahkan, BUMN mesti memublikasikan penggunaan dana pemulihan ekonomi secara berkala melalui laman resmi perusahaan agar lebih akuntabel. Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi dan BPK mesti mengawasi penggunaan dana serta berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan secara intensif.
Bagi BUMN yang sudah tidak sehat sebelum covid-19 tidak perlu disuntik pendanaan baru.
Jangan terlalu besar
Langkah pemerintah menyuntikkan dana bagi BUMN dalam rangka pemulihan ekonomi nasional tak lepas dari kritik. Sepuluh BUMN telah ditetapkan Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN sebagai penerima dana pemulihan ekonomi nasional.
Penetapan tersebut berdasarkan sejumlah kriteria, yakni pengaruhnya terhadap hajat hidup masyarakat besar, peran penugasan (sovereign) yang dijalankan, total aset perusahaan, eksposur terhadap sistem keuangan, dan kepemilikan pemerintah.
Direktur Induk Koperasi Usaha Rakyat (Inkur) dan Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) Suroto yang dihubungi pada hari Senin menyebutkan, jika dana yang diberikan kepada BUMN terlalu banyak, proses akselerasi perbaikan daya beli masyarakat menjadi lamban. Apalagi jika BUMN penerima suntikan dana itu sudah dalam kondisi tidak baik sejak sebelum Covid-19.
”Saya berharap hal ini menjadi titik balik bagi kita untuk beralih ke sistem ekonomi berbasis kerakyatan dan demokrasi ekonomi,” kata Suroto.
Menurut dia, Covid-19 memukul usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan koperasi, sektor yang selama ini berkontribusi 57 persen terhadap produk domestik bruto Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM per 2018, ada 64.194.057 unit UMKM di Indonesia yang menyerap 116.978.631 tenaga kerja.
Suroto menyarankan agar UMKM dan koperasi mendapat alokasi dana lebih besar dalam program pemulihan ekonomi nasional. Caranya, melalui penangguhan pokok utang, subsidi bunga, hibah, modal kerja, dan relaksasi pajak.
Berdasarkan data Kemenkeu, program pemulihan ekonomi nasional untuk UMKM antara lain berupa penempatan dana untuk restrukturisasi UMKM dan padat karya UMKM sebesar Rp 78,78 triliun. Adapun pembiayaan investasi kepada koperasi sebesar Rp 1 triliun. (KRN/CAS)