Pemerintah Izinkan Kembali Alat Tangkap Ikan yang Dilarang
Setelah membuka keran ekspor benih lobster, Kementerian Kelautan dan Perikanan berencana membuka izin penggunaan alat tangkap cantrang. Sejumlah aturan juga sedang direvisi untuk mengejar investasi.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah segera menerbitkan revisi peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang usaha penangkapan ikan. Dalam revisi itu, beberapa alat tangkap ikan yang sebelumnya dilarang, yakni pukat hela atau trawl dan cantrang, akan diizinkan digunakan lagi. Peraturan direvisi untuk meningkatkan investasi.
Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Trian Yunanda memaparkan, revisi untuk mendorong investasi itu di antaranya membolehkan kembali penggunaan delapan jenis alat penangkapan ikan. Hal ini akan diatur dalam revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 86 Tahun 2016 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan serta Permen KP No 71/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI.
”Akan ada beberapa tambahan jenis alat tangkapan dan kapal dengan alat tangkapan ikan baru yang sebelumnya dilarang. Dengan revisi permen ini menjadi dibolehkan,” kata Trian dalam forum konsultasi publik, yang diselenggarakan Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik KKP, Selasa (9/6/2020).
Akan ada beberapa tambahan jenis alat tangkapan dan kapal dengan alat tangkapan ikan baru yang sebelumnya dilarang.
Alat-alat penangkapan ikan yang diperbolehkan itu berupa pukat hela dasar (trawl) udang, payang, serta cantrang dan sejenisnya yang tergolong pukat tarik (seine nets). Ada juga pancing berjoran, pancing cumi mekanis, huhate mekanis, pukat cincin pelagis kecil, dan pukat cincin pelagis besar dengan dua kapal.
Dalam Permen KP No 71/2016 disebutkan, alat tangkap berupa cantrang, dogol, dan pukat udang (pukat hela dasar udang) tergolong alat tangkap aktif dan dilarang beroperasi di seluruh WPP RI. Larangan itu untuk mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan yang bertanggung jawab, optimal, dan berkelanjutan.
Menurut Trian, penyusunan revisi aturan telah mempertimbangkan hasil kajian, karakteristik alat untuk menangkap, dan sifat alat tangkap tersebut. Revisi permen kini dalam tahap harmonisasi dan segera terbit. Diharapkan kapal-kapal dengan alat penangkapan ikan itu bisa segera beroperasi.
Trian mengungkapkan, selama ini kapal cantrang tetap beroperasi berbekal surat keterangan melaut. Dengan melegalisasi cantrang, KKP dapat mengatur dan mengendalikan untuk memastikan penggunaan cantrang mematuhi standar ramah lingkungan.
KKP juga berencana merevisi peraturan tentang usaha perikanan tangkap. Revisi itu antara lain mengizinkan kapal-kapal ikan berukuran di atas 200 gros ton (GT) beroperasi lagi, dengan persentase skala usaha 22 persen.
Jangan jadi lubang
Ketua Himpunan Nelayan Purse Seine Nusantara (HNPN) James Then menyoroti rencana membuka kembali izin kapal ikan di atas 200 GT. Selama ini, nelayan lokal menikmati kebijakan yang melarang kapal ikan asing masuk ke perairan Indonesia dan larangan izin kapal ikan berukuran 200 GT.
Pembukaan kembali izin kapal di atas 200 GT dikhawatirkan membuka pintu bagi kapal-kapal ikan asing masuk ke Indonesia. ”Jangan sampai rencana (pemerintah) untuk meringankan nelayan malah menjadi lubang bagi kapal-kapal asing besar masuk ke Indonesia,” katanya.
Menurut Penasihat Menteri Kelautan dan Perikanan Nimmi Zulbainarni, regulasi perlu berpihak kepada semua pihak. Prinsip konservasi dan ekonomi perlu berjalan beriringan. ”Yang diperlukan pengaturan, bukan pelarangan,” ujarnya.
Ia meminta pemerintah tidak memburu rente dan membebani pelaku usaha. Penetapan pajak diharapkan tidak mencekik pelaku usaha. ”Jangan sampai pajak besar sehingga mereka (pelaku usaha) enggak ada untungnya. Harus ada keseimbangan, secara ekonomi menguntungkan dan sumber daya tetap lestari,” lanjutnya.
Terkait ekspor benih lobster, Trian menyampaikan, penetapan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) merujuk pada kebijakan pemerintah membuka keran ekspor benih lobster. Penetapan PNBP akan ditentukan per ekor, sedangkan pungutan dibebankan kepada eksportir.
Ekspor benih lobster diatur dalam Permen KP Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp).
Kuota penangkapan benih bening lobster ditetapkan 139.475.000 ekor setiap tahun, dengan komposisi untuk ekspor sebesar 30 persen dan budidaya 70 persen dari total benih yang boleh ditangkap. Meski porsi benih untuk budidaya besar, yakni 97.632.500 ekor, pemerintah menargetkan produksi lobster hasil budidaya tahun ini hanya 1.379 ton. Pada 2024, sasaran produksi lobster hanya 7.220 ton.