Utang Pemerintah Naik, Penanganan Covid-19 Turut Andil
Pertumbuhan utang luar negeri ditopang arus modal masuk pada SBN dan penerbitan surat utang global pemerintah. Aliran modal tersebut sebagian untuk pemenuhan kebutuhan pembiayaan, termasuk penanganan Covid-19.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Arus masuk modal asing pada instrumen investasi pemerintah yang digunakan untuk penanganan pandemi Covid-19 turut mengatrol pertumbuhan utang luar negeri pemerintah. Namun, sebaliknya, pertumbuhan utang luar negeri masih tertahan akibat kondisi ekonomi yang tidak menentu.
Bank Indonesia (BI) mencatat, utang luar negeri Indonesia pada akhir April 2020 sebesar 400,2 miliar dollar AS (Rp 5.696 triliun). Utang tersebut terdiri dari utang sektor publik (pemerintah dan bank sentral) 192,4 miliar dollar AS (Rp 2.734 triliun) serta utang luar negeri swasta, termasuk BUMN, 207,8 miliar dollar AS (Rp 2.962 triliun).
Posisi utang tersebut tumbuh 2,9 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya. Adapun khusus pertumbuhan utang pemerintah mencapai 1,6 persen dibanding April 2019. Kondisi ini berbanding terbalik dengan Maret 2020 saat pertumbuhan tahunan utang pemerintah terkontraksi 3,6 persen akibat seretnya aliran modal asing pada periode tersebut.
Kepala Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko membenarkan pertumbuhan utang luar negeri memang ditopang arus modal masuk pada Surat Berharga Negara (SBN) dan penerbitan surat utang global (global bonds) pemerintah. Adapun aliran modal tersebut sebagian diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan pembiayaan, termasuk dalam rangka penanganan pandemi Covid-19.
”Pengelolaan utang luar negeri pemerintah dilakukan secara hati-hati dan akuntabel untuk mendukung belanja prioritas yang saat ini dititikberatkan pada upaya penanganan wabah Covid-19 dan stimulus ekonomi,” kata Onny.
Aliran modal tersebut sebagian diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan pembiayaan, termasuk dalam rangka penanganan pandemi Covid-19.
Sektor prioritas tersebut mencakup sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial sebesar 23,3 persen dari total utang luar negeri pemerintah, sektor konstruksi (16,4 persen), sektor jasa pendidikan (16,2 persen), sektor jasa keuangan dan asuransi (12,8 persen), serta sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (11,6 persen).
Sementara itu, utang luar negeri swasta pada akhir April 2020 tumbuh sebesar 4,2 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini melambat dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 4,7 persen.
Perlambatan tersebut, lanjut Onny, disebabkan semakin dalamnya kontraksi pertumbuhan utang luar negeri lembaga keuangan di tengah stabilnya pertumbuhan utang luar negeri perusahaan bukan lembaga keuangan.
Secara terpisah, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, menjelaskan, pemerintah perlu mencermati risiko rasio utang terhadap pendapatan (debt to service ratio/DSR) bisa cenderung memburuk. Pada triwulan IV-2019 DSR tersebut telah mencapai 18 persen, sedangkan di triwulan I-2020 meningkat menjadi 27,6 persen.
Kenaikan DSR itu menunjukkan kenaikan utang yang meskipun rendah, tetapi tidak diimbangi dengan penerimaan valuta asing, terutama dari aktivitas ekspor. ”Jadi, kemampuan bayar utang luar negeri menurun,” ujarnya.
Kenaikan DSR itu menunjukkan kenaikan utang yang meskipun rendah, tetapi tidak diimbangi dengan penerimaan valuta asing, terutama dari aktivitas ekspor. Jadi, kemampuan bayar utang luar negeri menurun.
Adapun catatan melambatnya pertumbuhan utang swasta, menurut Bhima, merupakan sebuah indikator bahwa perusahaan swasta tengah menahan diri untuk berekspansi. Anjloknya permintaan ekspor yang anjlok dan belum adanya tanda pemulihan permintaan domestik menjadi faktor yang sebabkan perusahaan swasta mengerem utang.