Komposisi Lowongan dan Pencari Kerja Makin Timpang
Perbandingan jumlah penawaran dan permintaan di pasar tenaga kerja makin tidak seimbang seiring lesunya perekonomian. Persaingan memperebutkan pekerjaan kian ketat.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lesunya perekonomian memaksa sebagian pengusaha merumahkan atau memutus hubungan kerja sebagian karyawannya. Lowongan pekerjaan turun drastis dua bulan terakhir, sementara permintaan meningkat seiring bertambahnya angkatan kerja.
Analisis mahadata ketenagakerjaan oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan, jumlah lowongan pekerjaan di 10 sektor lapangan kerja turun dari 11.444 lowongan pada Januari 2020 jadi 10.064 lowongan (Februari), 10.437 lowongan (Maret), dan anjlok jadi 5.884 lowongan kerja pada April.
Penurunan lowongan pekerjaan merata di sejumlah sektor, seperti inofrmasi dan komunikasi, jasa perusahaan, jasa keuangan dan asuransi, industri pengolahan, perdagangan, serta akonomodasi makan minum. Di sisi lain, pengangguran bertambah. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, per 27 Mei 2020, ada 3,06 juta pekerja diputus hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan karena perusahaan terimbas oleh dampak pandemi Covid-19.
Ketidakseimbangan komposisi permintaan dan penawaran di pasar tenaga kerja ini mengharuskan pekerja berupaya ekstra keras untuk beradaptasi dengan kebutuhan industri.
Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anton J Supit berpendapat, sebelum pandemi memukul perekonomian saja komposisi permintaan dan penawaran di pasar tenaga kerja sudah tidak seimbang. Ketimpangan itu berlipat dengan adanya tambahan pengangguran akibat pandemi Covid-19. ”Kita harus mengakui kondisi pasar tenaga kerja saat ini menyedihkan,” kata Anton saat dihubungi di Jakarta, Selasa (16/6/2020).
Kajian Rencana Tenaga Kerja Nasional 2020-2024 oleh Kementerian Ketenagakerjaan memproyeksikan, dalam kondisi normal, jumlah angkatan kerja akan bertambah 2,27 juta orang menjadi total 135,3 juta orang hingga akhir 2020. Selama periode 2020-2024, angkatan kerja diproyeksikan bertambah 12,4 juta orang dengan rata-rata penambahan 2,48 juta orang per tahun.
Menurut Anton, dengan terpukulnya sebagian besar sektor usaha, perusahaan sulit merekrut pekerja baru. Apalagi saat ini industri beroperasi dengan setengah kapasitasnya. Situasi ini mengindikasikan dampak Covid-19 signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja.
Tantangan bagi pekerja muda dinilai lebih berat ketimbang pekerja lama yang terdampak Covid-19. Meski kondisi ekonomi kelak membaik, kata Anton, sebagian besar perusahaan akan lebih memilih merekrut kembali pekerja lama yang sudah telanjur di-PHK dan dirumahkan selama pandemi.
”Jujur saja, kalau (rekrutmen pekerja) bisa dibuka kembali, perusahaan akan memprioritaskan pekerja lama. Kenapa? Karena mereka (pekerja) itu terpaksa di-PHK bukan karena kapasitasnya buruk atau karena ada sengketa dengan perusahaan, melainkan karena faktor eksternal,” katanya.
Menurut Anton, masih ada peluang untuk pekerja muda lulusan baru di beberapa sektor. Beberapa perusahaan dan jenis profesi tertentu yang tidak membutuhkan syarat pengalaman kerja yang lama juga akan tetap mencari lulusan baru. Namun, konsekuensinya, pekerja muda harus siap bekerja dengan upah lebih rendah karena kondisi finansial mayoritas perusahaan yang sedang terpuruk.
Adaptif
Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Aris Wahyudi mengatakan, pemerintah akan menata sistem pendidikan vokasi agar lebih relevan dengan dunia usaha. Salah satu persoalan klasik di sektor ketenagakerjaan adalah keterputusan antara kebutuhan dunia industri dan ketersediaan tenaga kerja.
”Konon ada keterputusan link and match sampai 60 persen antara tenaga kerja dan kebutuhan industri,” kata Aris.
Pekerja muda dituntut untuk cepat beradaptasi dan menambah kemampuan baru agar lebih relevan dengan kebutuhan industri. Program-program pelatihan untuk menambah kapasitas pekerja pun akan digencarkan, seperti lewat program Kartu Prakerja yang kurikulum pelatihannya akan dievaluasi dan disesuaikan dengan kondisi terbaru.
”Yang terpenting adalah kelincahan dan kemampuan untuk beradaptasi. Apalagi, di Indonesia, harus diakui, program jaring pengaman sosial kita masih belum baik. Hal ini berbeda dengan kondisi di beberapa negara lain, masyarakat bisa duduk manis menerima santunan pengangguran hingga pandemi berlalu dan kondisi membaik,” kata Aris.
Di sisi lain, pemerintah juga akan menambah program-program padat karya. Salah satunya, melalui tetap menjalankan 89 proyek strategis nasional yang diharapkan bisa menyerap sampai 19 juta tenaga kerja. Menurut Aris, Presiden Joko Widodo sudah mengarahkan agar pembangunan infrastruktur mengurangi penggunaan teknologi supaya lebih banyak menyerap tenaga kerja.
”Ini memang tantangan berat. Menghadapi revolusi industri 4.0 saja kita belum khatam, tiba-tiba muncul Covid-19 yang membuat kita terperangah. Survival of the fittest, yang bisa bertahan bukan orang pintar, melainkan yang responsif dan adaptif dengan zaman yang berubah,” ujar Aris.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center for Reform on Economics Mohammad Faisal berpendapat, pandemi Covid-19 membuat keuangan sebagian besar perusahaan terpukul. Angka pengangguran meningkat. ”(Situasi) ini jadi poin krusial dalam menyusun strategi pemulihan ekonomi nasional. Pemetaan sektor strategis dan prioritas harus mengarah pada penciptaan lapangan kerja. Ini sangat erat kaitannya dengan jenis investasi seperti apa yang mau kita izinkan dalam pemulihan,” katanya.