BUMN dan Gelontoran Dana Jumbo
Aksi bersih-bersih tentu harus dilakukan secara konsisten. Tak hanya mengganti manajemen, tetapi juga mengawasi dana jumbo yang digelontorkan untuk BUMN.
Tahun ini, pemerintah siap menggelontorkan dana sekitar Rp 142,25 triliun untuk menopang kinerja 11 Badan Usaha Milik Negara. Rinciannya, Rp 116,98 triliun sebagai kompensasi, dana talangan dan subsidi, serta Rp 25,27 triliun sebagai penyertaan modal negara atau PMN.
Injeksi dana yang cukup besar tersebut juga merupakan bagian dari program pemulihan ekonomi nasional yang luluh lantak akibat hantaman pandemi Covid-19.
Kebijakan ini menambah panjang daftar gelontoran dana jumbo untuk BUMN. Tahun 2015, pemerintah menyuntik dana PMN sebesar Rp 64,87 triliun untuk 37 BUMN. Tahun 2016, pemerintah kembali mengguyur dana PMN sebesar Rp 50,52 kepada 23 BUMN. Adapun pada 2019, dana PMN yang diinjeksi sebesar Rp 17 triliun untuk dua BUMN.
Total PMN yang diinjeksi untuk BUMN selama periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, 2015 – 2019, mencapai Rp 142,38 triliun, berdasarkan data Kementerian Keuangan dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).
Suntikan modal tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan rezim-rezim sebelumnya pada era reformasi. Sebagai perbandingan, selama kurun 2010 – 2014, total injeksi dana PMN untuk BUMN hanya sebesar Rp 24,88 triliun.
PMN dalam jumlah besar diberikan karena pemerintahan Jokowi ingin menjadikan BUMN sebagai pilar utama pembangunan ekonomi pemerintah. BUMN-BUMN yang mendapatkan PMN akan menjadi pemain utama dalam pembangunan infrastruktur, pertanian, dan maritim yang menjadi sektor prioritas pemerintahan Jokowi periode pertama.
Berkat suntikan PMN, ekuitas BUMN pun akan meningkat sehingga kapasitas untuk berutang menjadi lebih besar. Dengan demikian, potensi dana yang bisa diperoleh BUMN untuk menggarap proyek akan berlipat ganda.
Terbukti, selama periode 2015 – 2019, sejumlah BUMN terutama BUMN bidang konstruksi dan BUMN lain yang terkait infrastruktur banyak mengerjakan proyek-proyek besar.
Aset BUMN pun melonjak pesat. Berdasarkan data Kementerian BUMN, pada akhir 2016, total aset BUMN mencapai Rp 6.473 triliun, meningkat 12,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun berikutnya, aset BUMN bertumbuh 11,4 persen menjadi Rp 7.212 triliun.
Kendati demikian, peningkatan dividen yang diterima pemerintah tak sebanding dengan gelontoran PMN dan lonjakan aset BUMN tersebut. Selama kurun 2015 – 2019, besaran deviden hanya tumbuh rata-rata 5,11 persen per tahun, dengan nominal rata-rata Rp 42,9 triliun per tahun berdasarkan data LKPP. Ini salah satunya dipicu oleh kinerja BUMN yang kurang stabil, terindikasi oleh turunnya laba bersih dari Rp 189,55 triliun pada 2017 menjadi Rp 154,17 triliun pada 2018.
Utang
Memang, kurang optimalnya keuntungan juga dipengaruhi oleh banyaknya proyek-proyek infrastruktur jangka panjang yang digarap BUMN, yang baru menghasilkan keuntungan beberapa tahun setelah proyek dibangun.
Namun, faktor meningkatnya beban bunga utang BUMN juga berpengaruh besar terhadap keuntungan BUMN. Tingginya beban bunga terjadi akibat melonjaknya utang BUMN dalam beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan Buku Statistik Utang Sektor Publik, total utang BUMN nonbank pada 2019 mencapai Rp 1.019,55 triliun, melonjak hampir 100 persen dibandingkan posisi akhir 2014 yang sebesar Rp 504,6 triliun. Lonjakan terbesar terjadi pada 2018, tatkala utang BUMN nonbank meningkat 50 persen dari Rp 610,8 triliun pada 2017 menjadi Rp 918,4 triliun.
Tak hanya melonjak signifikan, utang BUMN nonbank juga berisiko karena sebagian besar merupakan utang luar negeri dalam dollar AS. Pada 2019, porsi utang luar negeri BUMN nonbank sebesar 56 persen. Porsi utang dari kreditor asing ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Utang dalam valuta asing akan sangat berisiko bila tak dilakukan lindung nilai (hedging) mengingat sebagian besar pendapatan BUMN adalah dalam rupiah. Dampaknya, saat kurs rupiah melemah, maka BUMN harus menyiapkan dana rupiah yang lebih besar untuk membayar utang valas yang jatuh tempo.
Kinerja BUMN yang kurang optimal makin diperburuk dengan praktik korupsi yang cenderung semakin marak. Berdasarkan data Komisi pemberantasan Korupsi (KPK), dalam kurun 2015 – 2019, terdapat 51 kasus korupsi yang melibatkan BUMN/BUMD, dengan yang tertinggi pada 2019, yakni 17 kasus. Sebagai perbandingan, selama periode 2010 – 2014, jumlah kasus korupsi BUMN/BUMD hanya 11 kasus.
Kasus-kasus korupsi tersebut antara lain terjadi di PT Garuda Indonesia, PT Pal Indonesia, PT Asuransi Jasa Indonesia, PT Krakatau Steel, PT Angkasa Pura II, dan PT INTI
Kejaksaan Agung menetapkan lima tersangka dalam kasus ini yakni bekas Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim, bekas Direktur Keuangan dan Investasi Jiwasraya Harry Prasetyo, bekas Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan, Direktur Utama PT Hanson Internasional Tbk Benny Tjokrosaputro, dan komisaris PT Trada Alam Minera Tbk, Heru Hidayat.
Sebagian kini sedang menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai Rp 27 triliun, sebagian besar untuk membayar polis jatuh tempo nasabah.
Kendati begitu banyak persoalan di tubuh BUMN, gebrakan Erick Thohir di awal menjabat sebagai Menteri BUMN menciptakan harapan. Ia memastikan akan melakukan ”bersih-bersih” untuk mendorong kinerja BUMN. Hingga kini, secara bertahap, Erick terus merombak satu-persatu manajemen BUMN.
Aksi bersih-bersih ini tentu harus dilakukan secara konsisten. Tak hanya mengganti manajemen, tetapi juga mengawasi dana jumbo yang digelontorkan untuk BUMN. Jangan sampai dana tersebut digunakan sekadar untuk membayar utang jatuh tempo, apalagi sampai dikorupsi.