BI: Akseptasi terhadap E-Dagang Naik Selama Pandemi
Pedagang pengguna teknologi digital terus bertumbuh di tengah pandemi Covid-19. BI mencatat, transaksi harian menggunakan sistem QRIS pada April 2020 sebanyak 4,8 juta transaksi dengan nilai total 2,4 miliar dollar AS.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transaksi harian berbasis sistem Standardisasi Kode Respon Cepat Indonesia atau QRIS meningkat di tengah pandemi Covid-19. Hal ini menunjukkan akseptasi atau penerimaan masyarakat terhadap e-dagang meningkat di tengah menurunnya penjualan ritel.
Bank Indonesia mencatat, per 12 Juni 2020, jumlah merchant atau penjual/pedagang pengguna QRIS sebanyak 3,64 juta orang. Jumlah itu mencakup kategori usaha besar sebanyak 176.722 pedagang, usaha menengah 306.379 pedagang, usaha kecil 645.925 pedagang, usaha mikro 2.529.481 pedagang, dan donasi atau sosial 8.770 pengguna.
Sementara, transaksi harian menggunakan sistem QRIS pada April 2020 sebanyak 4,8 juta transaksi dengan nilai total 2,4 miliar dollar AS. Jumlah transaksi tersebut naik dibandingkankan rata-rata bulanan jumlah transaksi pada triwulan II-2019. Nilai transkasi tersebut juga melonjak 26 persen dari rata-rata nilai transaksi bulanan pada triwulan II-2019.
”Melalui platform e-dagang, penjualan meningkat, transaksi harian naik, konsumen baru naik, dan permintaan melonjak,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam seminar nasional secara daring bertajuk ”QRIS di Masa Pandemi Covid-19 dan Normal Baru” di Jakarta, Rabu (24/6/2020).
BI juga menyebutkan, ada 51 persen konsumen baru yang pertama kali belanja secara daring saat penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Volume permintaan melalui platform e-dagang pun meningkat 5-10 kali lipat saat pandemi.
Melalui platform e-dagang, penjualan meningkat, transaksi harian naik, konsumen baru naik, dan permintaan melonjak.
Menurut Perry, masyarakat Indonesia belajar dengan cepat menggunakan platform digital yang sudah disiapkan. Tak hanya konsumen, para pelaku usaha juga cepat beradaptasi menggunakan teknologi digital.
Pergeseran model bisnis ke penjualan langsung melalui e-dagang ini terutama terjadi di sektor barang konsumer bergerak cepat atau produk-produk kebutuhan harian (fast moving consumer good).
”Model bisnis ke ritel sekarang juga berubah. Kalau dulu perusahaan besar membuka toko-toko, baik berupa wholesales (grosiran) maupun ritel, sekarang ini mereka juga masuk ke sektor e-dagang,” ujarnya.
Perry menambahkan, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang memanfaatkan teknologi digital juga terus bertambah. Salah satu indikatornya adalah jumlah pedagang yang menggunakan QRIS terus meningkat. Jumlahnya per 12 Juni 2020 tercatat 3,64 juta pedagang dengan 87,2 persen di antaranya adalah pedagang mikro dan kecil.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan, dukungan pembayaran digital dari BI dibutuhkan dalam pengembangan koperasi dan UMKM. Perluasan digitalisasi, termasuk pembayaran digital, menjadi momentum bagi UMKM mengakses pasar lebih luas.
Digitalisasi memberi kemudahan bagi produsen dan konsumen. Namun, berdasarkan pengalaman pendampingan bagi UMKM, tidak mudah untuk terus mempertahankan atau menumbuhkan UMKM meskipun sudah terhubung dengan pasar daring.
”Dalam kenyataannya, banyak juga yang gagal. Hanya 4 persen hingga 10 persen keberhasilannya. Ada banyak faktor penyebabnya, seperti kemampuan UMKM mengelola pemasaran dan merespons permintaan konsumen di pasar digital,” katanya.
Berdasarkan pengalaman pendampingan bagi UMKM, tidak mudah untuk terus mempertahankan atau menumbuhkan UMKM meskipun sudah terhubung dengan pasar daring.
Menurut Teten, hal ini tidak lepas dari kondisi pelaku UMKM yang sering kali terpaksa masih harus menangani banyak urusan secara sendirian. ”Sama dengan di perusahaan besar, di UMKM itu juga banyak CEO. Bedanya kalau CEO di UMKM itu, istilahnya, harus jadi (Chief Everything Officer). Semua harus dilakukan sendiri,” ujarnya.
Penjual perantara
Beberapa UMKM, kata Teten, masih membutuhkan peran penjual perantara di pasar daring. Terkait hal tersebut tenaga berpendidikan yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja pun dapat diajak atau dilatih menjadi penjual perantara untuk membantu memasarkan produk UMKM.
”Kita bisa belajar dari Alibaba (perusahaan e-dagang China). Pertama kali merambah pasar daring, Alibaba melatih para pedagang perantara untuk memasarkan produk-produk UMKM. Setelah itu, Alibaba menggandeng UMKM,” katanya.
Direktur Utama Lembaga Layanan Pemasaran Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Smesco) Kemenkop dan UKM Leonard Theosabrata menuturkan, berbagai program telah dijalankan untuk membantu UMKM masuk ke pasar digital.
”Mulai dengan program Kakak Asuh, program platform, hingga seminar daring agar Smesco bisa menjadi bagian perpanjangan tangan pemerintah melakukan tugas dengan baik,” kata Leonard.