Jangan Sampai Destinasi Wisata Alam Jadi Kluster Kasus Covid-19
Kesiapan matang diperlukan sebelum membuka kembali destinasi pariwisata. Jangan sampai, destinasi wisata justru menjadi kluster baru kasus Covid-19 di Indonesia.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan pemerintah untuk membuka kembali wisata alam di tengah pandemi Covid-19 bisa menjadi bumerang. Konsep destinasi alam yang terbuka dan luas membuat penerapan protokol kesehatan lebih sulit diawasi. Ada potensi kemunculan kluster-kluster baru penularan Covid-19 di lokasi wisata alam.
Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Azril Azahari, Rabu (24/6/2020), menyampaikan, argumentasi pemerintah membuka wisata alam dengan alasan risiko penularan Covid-19 lebih rendah, tidak beralasan. ”Risikonya dianggap lebih rendah karena konsepnya destinasi terbuka. Padahal, meskipun terbuka, kalau tidak ada jaga jarak fisik, sama saja, akan meledak menjadi kasus-kasus baru,” kata Azril.
Ia juga mengingatkan, pengawasan terhadap penerapan protokol kesehatan lebih sulit dilakukan pada destinasi wisata alam yang terbuka dan luas. Pedoman protokol kesehatan yang sudah disusun sejumlah lembaga akan berujung sia-sia, bahkan memicu kemunculan kluster baru penularan Covid-19.
Untuk itu, persiapan pemulihan sektor pariwisata perlu dilakukan secara bertahap dan hati-hati. Konsekuensinya, memakan waktu lebih lama daripada sektor lain. ”Jangan buru-buru membuka pariwisata dulu. Harus benar-benar siap, bukan sekadar membuat protokol kesehatan, akan tetapi berpikir jangka panjang untuk mengubah konsep dan paradigma wisata kita,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio mengatakan, pemulihan sektor pariwisata akan dilakukan bertahap. Untuk langkah pertama, pemerintah mengizinkan wisata alam dibuka lebih dulu. Izin pembukaan secara bertahap, antara lain, untuk kawasan wisata bahari, konservasi perairan, wisata petualangan, taman nasional, suaka margasatwa, serta kawasan nonkonservasi seperti kebun raya, kebun binatang, taman safari, dan desa wisata.
Pemerintah beralasan, wisata alam memiliki risiko lebih rendah terhadap penularan Covid-19. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi pengelola tempat wisata alam yang ingin kembali beroperasi. Syarat itu, di antaranya tempat wisata harus berada di zona hijau atau zona kuning Covid-19, dimusyawarahkan dan diputuskan bersama dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, serta kapasitas tampung hanya 50 persen dari kondisi normal.
”Wisata berbasis ekosistem alam dan konservasi alam akan tetap dibuka dengan protokol. Langkah ini kami anggap perlu untuk memantik geliat wisata dan ekonomi lokal di sekitar destinasi itu,” kata Wishnutama.
Secara garis besar, ia membagi rentang waktu pemulihan sektor pariwisata ke dalam dua fase. Fase pertama adalah menyiapkan destinasi dengan tatanan normal baru yang memakan waktu persiapan sampai September 2020. Pada fase ini, pemerintah dan pelaku industri menyiapkan protokol, prosedur operasi standar yang baru, sosialisasi, promosi ke wisatawan Nusantara (wisnus), serta uji coba dan simulasi.
Fase kedua, yang dimulai pada Oktober 2020 sampai dengan 2021 adalah membangun kepercayaan dan minat pasar untuk kembali berwisata di Indonesia. Pada fase ini, pemerintah menyelenggarakan sejumlah kegiatan lewat penyusunan sejumlah paket wisata, rangkaian pertemuan (pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran atau MICE) oleh pemerintah dan perusahaan BUMN, serta berbagai acara untuk menarik wisatawan.
Dari bawah
Menurut Azril, pandemi Covid-19 seharusnya menjadi momentum untuk menggeser konsep dan paradigma pariwisata menuju pariwisata berbasis komunitas. Konsep pariwisata yang memberdayakan masyarakat lokal dan menggerakkan perekonomian rakyat kecil dinilai lebih signifikan untuk memulihkan perekonomian dari bawah.
Pandemi Covid-19 sebenarnya juga membuka kesempatan untuk membenahi komponen daya saing Indonesia yang selama ini terhitung rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lain.
Pandemi Covid-19 seharusnya menjadi momentum untuk menggeser konsep dan paradigma pariwisata menuju pariwisata berbasis komunitas.
Laporan Daya Saing Pariwisata 2019 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia pada September 2019 menunjukkan, Indonesia ada di posisi ke-40 dari 140 negara. Pariwisata Indonesia unggul dari sisi daya saing harga, tetapi kalah dari sisi keberlanjutan lingkungan.
”Pemulihan pariwisata jangan terjebak pada paradigma memulihkan perhotelan dan destinasi wisata besar demi menyerap tenaga kerja, tetapi bagaimana memperbanyak konsep homestay dan memberdayakan usaha mikro kecil. Masyarakat yang mendapat manfaat, bukan orang-orang kaya,” ujarnya.
Di sisi lain, ia mengingatkan, pemulihan sektor pariwisata tidak bisa dilakukan dengan cepat karena penerapan protokol kesehatan baru membutuhkan biaya yang tidak murah. Apalagi, sebagian besar pegiat pariwisata kini sudah merugi besar-besaran akibat pukulan Covid-19.
”Siapa yang mau menanggung biaya operasional yang akan berlipat ganda ini? Apakah pemerintah akan menanggung atau itu diserahkan sepenuhnya pada industri? Ini tidak bisa hanya sekadar asal bicara, tetapi apakah penerapannya bisa realistis atau tidak,” kata Azril. (AGE)