Dianggap BBM paling kotor, Indonesia masih setia menyediakan premium di pasaran. Kebijakan pemerintah untuk BBM jenis ini tak pernah jelas dan tegas. BBM jenis ini juga rawan dari praktik pemburu rente.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Indonesia disebut-sebut satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masih memasarkan bahan bakar minyak RON 88 atau yang dikenal dengan nama pasar premium. Di seluruh dunia, diperkirakan hanya empat atau lima negara yang masih memakai bahan bakar jenis ini. Sempat direncanakan untuk dihapus, premium masih jadi primadona hingga kini.
Awal mula rencana penghapusan premium dari pasaran direkomendasikan Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi yang diketuai Faisal Basri. Menurut Faisal, Indonesia menjadi satu-satunya pembeli bensin RON 88 dan tidak memiliki kuasa sedikit pun dalam proses penentuan harga. Sistem itu membuka peluang terjadinya kartel di tingkat penjual (Kompas, 22/12/2014).
Tak lama berselang kemudian, PT Pertamina (Persero) menyatakan siap menghapus premium dan perlu masa transisi selama dua tahun untuk beralih sepenuhnya dengan menggunakan pertamax dengan RON 92 (Kompas, 2/1/2015). Masa transisi yang disanggupi Pertamina jauh lebih panjang dari rekomendasi yang diberikan tim yang dipimpin Faisal. Faisal dan tim hanya memberi waktu lima bulan untuk transisi ke pertamax.
Sebenarnya, produk tersebut adalah usaha perlahan untuk menghapus premium dari pasaran.
Selain itu, Pertamina juga mengeluarkan produk BBM jenis baru, yaitu bensin dengan RON 90 atau dikenal sebagai pertalite, pada Juli 2015. Sebenarnya, produk tersebut adalah usaha perlahan untuk menghapus premium dari pasaran. Namun, pendapat tersebut dibantah Pertamina yang berdalih pertalite adalah usaha untuk memberi banyak pilihan BBM bagi konsumen (Kompas, 25/7/2015).
Seiring berjalannya waktu, pemerintah berbalik badan dengan merevisi Perpres Nomor 191/2014 tersebut. Dalam Perpres Nomor 43 Tahun 2018 yang merupakan hasil revisi disebutkan bahwa BBM khusus penugasan (premium) dapat didistribusikan di wilayah yang dikecualikan. Artinya, premium ”dipaksa” kembali untuk dijual di wilayah Jawa dan Bali (Kompas, 10/4/2018). Praktis, rencana penghapusan premium menguap.
Di satu sisi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan peraturan bernomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, Kategori N, dan Kategori O. Dalam aturan penggunaan BBM bagi kendaraan roda empat itu, RON minimal yang dipersyaratkan adalah 91. Produk BBM di Indonesia yang memenuhi kriteria itu adalah jenis pertamax dengan RON 92.
Sejumlah pihak menyuarakan penghapusan premium dan penyederhanaan ragam BBM di Indonesia. Begitu pula soal transparansi pembentukan harga jual BBM yang selama ini dianggap kurang terbuka.
Premium dianggap kotor dan biang pencemaran udara. Hal ini tak sejalan dengan semangat untuk mewujudkan lingkungan yang lebih bersih dan bebas polusi. Namun, tampaknya tak mudah untuk benar-benar menghilangkan premium dari pasaran. BBM jenis ini masih menjadi primadona.
Pada 2019, konsumsi premium sekitar 11 juta kiloliter. Melihat data impor BBM dan minyak mentah Pertamina, impor premium di tahun tersebut tercatat sebanyak 70,3 juta barel atau setara 11,1 juta kiloliter. Nilai impor tersebut sebesar 4,78 miliar dollar AS. Sebagai catatan, volume impor premium dari Singapura sangat dominan, yaitu hampir 67 persen dari total impor premium oleh Pertamina.
Selain dianggap BBM paling kotor, ragam BBM di Indonesia juga yang terbanyak, yakni mencapai delapan macam untuk setiap jenis gasolin (bensin) maupun gasoil (solar). Jenis gasolin terdiri lima macam, yakni RON 88 (premium), RON 90 (pertalite), RON 92 (pertamax), RON 95 (pertamax plus), dan RON 98 (pertamax turbo). Sementara jenis gasoil adalah biosolar, dexlite, dan pertamina dex. Rata-rata jenis BBM di negara lain di Asia Tenggara hanya empat jenis.
Sejumlah pihak menyuarakan penghapusan premium dan penyederhanaan ragam BBM di Indonesia. Begitu pula soal transparansi pembentukan harga jual BBM yang selama ini dianggap kurang terbuka. Cara pemberian subsidi pada barang, bukan subsidi langsung pada masyarakat tidak mampu, juga menyebabkan subsidi rawan diselewengkan.
Pemerintah tampaknya gamang. Tarik ulur penghapusan premium, seperti rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi ataupun Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tak pernah benar-benar dijalankan. Beginilah kalau komoditas energi dijadikan komoditas politik.