Pelaku usaha menyambut baik penempatan dana pemerintah di bank-bank BUMN yang akan disalurkan sebagai kredit. Mereka berharap bunga yang diberikan tidak terlampau tinggi.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
Yani Mardiyanto (53), pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah yang bergelut di bidang kain lukis dengan nama Nasrafa, kini mencoba mengembangkan sayap di dunia buah-buahan. Menurut dia, ada prospek menjanjikan apabila galeri kain lukis terintegrasi dengan kebun buah.
Beragam jenis buah tumbuh di lahan seluas 1.400 meter persegi di Desa Randusari, Kecamatan Teras, Boyolali, Jawa Tengah. Ada sekitar 100 pohon dan 700 bibit dengan 25 ragam buah yang ditanam, tiga di antaranya kelengkeng new kristal, cherry mexico, dan jambu kristal.
Baik buah maupun bibit sudah mulai dijual oleh Yani. Misalnya, bibit kelengkeng new kristal yang memiliki daging tebal dan berbiji kecil dijual dengan harga Rp 200.000 per pohon.
”Sebenarnya sudah empat tahun saya memulainya (kebun buah), tetapi baru satu tahun belakangan mulai fokus mengerjakan usaha ini. Saya berencana membuat galeri lukis yang terintegrasi dengan kebun buah sehingga pengunjung merasa nyaman,” tutur Yani saat dihubungi Kompas, Sabtu (27/6/2020).
Setidaknya akan ada tujuh proyek yang dijalankan dalam mengembangkan Galery Integrated Nasrafa, mulai dari galeri lukis kain, kafe keluarga, kebun buah, taman untuk diskusi, kolam ikan, pusat bisnis, hingga panggung musik kecil.
Selain menyasar pasar lokal, Yani juga berencana membawa hasil kebunnya hingga ke luar negeri, khususnya negara-negara Eropa. Ia mengatakan sudah memiliki kenalan di Eropa yang merupakan pelanggan kain lukis dan siap membantu untuk ekspor buah.
Tak dimungkiri, menurut Yani, ia memerlukan modal cukup besar, sekitar Rp 5 miliar, untuk mengembangkan Galery Integrated Nasrafa. Namun, di tengah situasi pandemi Covid-19, ia berharap bunga kredit yang ditawarkan tidak membebankan.
”Saya sangat tertarik untuk mengajukan kredit, tetapi kami ingin bunga kredit jangan terlampau besar. Kalau bisa sekitar 6 persen seperti bunga kredit usaha rakyat sehingga tidak terlalu memberatkan,” kata Yani.
Saat ini, Yani juga masih memiliki angsuran untuk usaha kain lukisnya ke Bank Rakyat Indonesia (BRI). Angsuran baru berjalan setengah tahun dari total lima tahun. Ia pun sudah mendapat restrukturisasi kredit dengan penurunan bunga dari 13 persen menjadi 8 persen.
Ketertarikan mengajukan kredit ke bank juga datang dari Nur Chaeti (39), pelaku UMKM di bidang makanan yang menjual aneka keripik dan kerupuk di daerah Ciganjur, Jakarta Selatan. Usahanya kini terus berkembang meski di tengah pandemi Covid-19.
Pada awal pandemi, omzet penjualan keripik dan kerupuk di toko-toko menurun hingga 80 persen, tetapi dapat diimbangi dengan kenaikan omzet melalui penjualan dalam jaringan (daring) hingga 50 persen.
Ia pun sebenarnya tertarik mengajukan pinjaman ke bank untuk modal usaha, tetapi ada dilema untuk mengajukan kredit. Sebab, ada sejumlah persyaratan yang ia nilai memberatkan bagi pelaku UMKM, salah satunya syarat agunan.
”Saya sebenarnya tertarik mengajukan kredit ke bank untuk mengembangkan usaha. Namun, saya harap ada kelonggaran dan fleksibilitas kalau benar-benar mau menolong UMKM,” ucap Nur.
Selama dua tahun belakangan, Nur menjadi UMKM binaan badan usaha milik negara (BUMN), yakni PT Pertamina (Persero). Ia pun memiliki angsuran Rp 600.000 per bulan yang akan lunas dalam waktu enam bulan ke depan.
Bangun permintaan
Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, akan menempatkan dana sebesar Rp 30 triliun di bank anggota Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara). Dalam kebijakan ini, UMKM akan menjadi sektor prioritas yang perlu diselamatkan dalam rangka percepatan pemulihan ekonomi nasional.
Ada empat bank BUMN yang akan menerima penempatan dana dari pemerintah, yakni BRI, Bank Mandiri, BNI, dan BTN. Untuk memastikan roda ekonomi berputar, bank harus melipatgandakan suntikan likuiditas dari pemerintah setidaknya tiga kali lipat dalam kurun tiga bulan terhitung sejak Juli 2020.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Aviliani, menilai kredit itu tidak bisa dipaksakan. Sebab, dalam kondisi sekarang belum tentu omzet para pelaku usaha meningkat.
”Kalau targetnya dari Rp 30 triliun harus menjadi Rp 90 triliun, menurut saya yang bisa itu hanya proyek pemerintah, misalnya infrastruktur. Perlu juga ada kewajiban bagi pemerintah daerah dan pusat untuk membeli barang-barang domestik,” kata Aviliani.
Pada dasarnya, pemerintah didorong untuk membangun sisi permintaan, bukan hanya dari sisi suplai untuk mengantisipasi kemungkinan gagal bayar. Untuk itu, bantuan sosial bagi masyarakat harus dijamin lancar agar daya beli meningkat.
Perusahaan juga dapat dilibatkan untuk membangun rantai pasok dengan pelaku UMKM. Dalam hal ini, perlu ada insentif, misalnya berupa potongan pajak bagi perusahaan agar mau berkolaborasi dengan UMKM.
Sama halnya dengan perusahaan, pelaku usaha yang hendak mengajukan kredit ke bank BUMN seharusnya juga diberikan insentif berupa bunga kredit yang tidak terlampau tinggi. ”Bunga 8 persen itu sudah paling tinggi untuk UMKM. Kalau lebih dari itu, bisa memberatkan mereka, apalagi yang skalanya masih kecil dan mikro,” ujar Aviliani.
Penting juga bagi pemerintah untuk tidak hanya berfokus pada sektor tertentu dalam memberikan kredit. Inovasi pelaku usaha juga patut menjadi pertimbangan. Jika pelaku usaha mengalihkan usahanya dengan permintaan yang tinggi, peluangnya akan bagus.
”Harus disadari, perilaku konsumen sekarang berubah. Sektor usaha tidak akan pulih seperti semula dalam waktu dekat. Jadi penyaluran kredit ini juga harus diperhatikan karena uang negara akan tetap ditanggung oleh bank,” ucap Aviliani.