Sejak tahun lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyiapkan dokumen pengusulan Jalur Rempah sebagai warisan budaya tak benda dunia ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Targetnya, tahun ini Jalur Rempah bisa masuk daftar sementara atau tentative list.
Indonesia akan melalui beberapa tahapan pengusulan dari tahun 2020 hingga 2024. Beberapa tahapan yang akan dilalui meliputi konsultasi, pengembangan pusat data dan publikasi, penyusunan dossier, kerja sama dan diplomasi, pengembangan platform budaya, hingga akhirnya penetapan sebagai warisan dunia.
Tentu kabar ini sangat menggembirakan. Apalagi, CEO Komite Jalur Rempah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ananto Kusuma Seta menyebut, sudah ada 100 kepala daerah yang berkomitmen terlibat dalam rencana ini.
Namun, apakah pengakuan dunia terhadap Jalur Rempah Nusantara menjadi satu-satunya tujuan yang mendesak dan utama pada saat ini? Pertanyaan ini bisa menjadi bahan diskusi menarik yang bisa dikupas bersama-sama.
Fakta menunjukkan, harga rempah-rempah Nusantara mengalami pasang surut serta ketidakpastian akibat cuaca, serangan hama penyakit, hingga proses pascapanen yang kurang terjaga. Meski demikian, upaya untuk tetap menjaga kualitas dan harga rempah telah dilakukan di beberapa tempat dengan membuat sertifikat indikasi geografis (SIG).
Para petani di Bangka Belitung, misalnya, bisa memiliki daya tawar lebih setelah mengantongi SIG Muntok White Pepper, juga para petani di Lampung dengan merek dagang internasionalnya, Lampung Black Pepper, serta para petani di Pulau Siau, Kabupaten Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), dengan pala Siau-nya. Kekhasan produk rempah Nusantara yang telah ditabalkan dengan SIG masing-masing semestinya diikuti petani-petani lain agar produk rempah-rempah mereka terangkat kastanya di panggung pasar internasional.
Kembali kepada pengusulan Jalur Rempah sebagai warisan budaya dunia, momen ini menjadi kesempatan emas untuk mengangkat produk-produk rempah khas Nusantara. Apalagi, di tengah pandemi Covid-19, pada bulan Januari hingga April 2020 permintaan rempah-rempah nasional meningkat 19,28 persen menurut catatan Kementerian Perdagangan.
Niatan Indonesia mengangkat kembali sejarah Jalur Rempah perlu menjadi kesempatan emas untuk bersama-sama mengangkat martabat rempah-rempah Nusantara.
Dengan demikian, pertanyaan apakah pengakuan dunia terhadap Jalur Rempah Nusantara menjadi tujuan yang mendesak dan utama bisa terjawab. Pengakuan tentu bukan menjadi satu-satunya tujuan yang mendesak dan utama. Niatan Indonesia mengangkat kembali sejarah Jalur Rempah perlu menjadi kesempatan emas untuk bersama-sama mengangkat martabat rempah-rempah Nusantara.
Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi kerja sama lintas kementerian/lembaga, pengusaha, petani, peneliti, dan akademisi untuk mengoptimalkan produksi serta kualitas rempah-rempah Nusantara.
Baca juga : Membangkitkan Pala Maluku di Tengah Pandemi
Dengan demikian, kisah Jack Turner menggambarkan bagaimana rempah Nusantara begitu menggoda dan memikat dalam bukunya, Spice, The History of A Temptation, tidak hanya menjadi romantisisme sejarah masa lalu. Marilah kita mengulangi kata-kata Turner…, ”Cita rasanya melayarkan ribuan kapal. Aromanya mengundang negara-negara Barat datang ke Nusantara.”