Menanti Musim Semi Kembali
Publik tak akan membayar sebuah produk jurnalistik berkualitas buruk. Pandemi seharusnya menjadi momentum bagi pengelola media massa agar bisa menampilkan informasi yang bisa menjadi rujukan masyarakat, dan dipercaya.
Walau seribu rebah di sisiku, Kau tetap Allah penolongku. Walau sepuluh ribu rebah di kananku, tak kan ku goyah.... (Nikita Natashia, ”Walau Seribu Rebah”, 2007)
Data yang dirilis worldometers.info, Jumat (3/7/2020) pagi, menunjukkan penyebaran virus korona baru telah membuat lebih dari 10,98 juta warga, dari 215 negara/kawasan di dunia, positif terpapar Covid-19. Sebanyak 524.039 orang di antaranya meninggal. Pandemi Covid-19 belum dinyatakan berakhir. Bahkan, di sejumlah negara masih menunjukkan peningkatan jumlah kasus dan korban jiwa.
Dalam menghadapi pandemi Covid-19, manusia memang selain bersandar kepada Sang Khalik, harus tetap berusaha, tidak goyah, seperti syair lagu yang diciptakan Pendeta Wilyar Kauntu dan terangkum dalam album Pelangi Sehabis Hujan (Maranatha, 2007). Sepenggal syair ”Walau Seribu Rebah” bahkan bukan cuma terasa tepat untuk menggambarkan kondisi manusia di dunia saat ini.
Syair itu juga untuk menggambarkan situasi bisnis media massa arus utama. Tidak sedikit pengelola media cetak, daring (online), dan elektronik di banyak negara menutup sementara, bahkan untuk selamanya, usaha itu.
Seorang kawan, yang menjadi konsultan hubungan masyarakat dan media di Jakarta, minggu lalu, mengisahkan banyaknya kesulitan yang disampaikan pimpinan media massa di Indonesia, disertai permintaan bantuan, yang diterimanya. Sejumlah pengelola media sudah bersiasat, termasuk melakukan efisiensi, agar bisa bertahan hidup. Gegara pandemi Covid-19, tahun 2020 menjadi seperti musim gugur bagi media massa di Indonesia, bahkan di dunia, seperti juga berbagai industri yang terdampak penyebaran virus korona.
Namun, bagi pengelola media massa, kondisinya lebih buruk lagi karena pada tahun-tahun sebelumnya usaha mereka sudah tergerus oleh disrupsi digital. Banyak media arus utama, terutama media cetak, yang menghentikan penerbitannya untuk selamanya, atau beralih menjadi media daring sepenuhnya, sejak lebih dari sepuluh tahun terakhir.
Di Indonesia, media cetak yang pertama kali beralih sepenuhnya ke media daring adalah The Jakarta Globe tahun 2015. Namun, media arus utama di negeri ini yang berhenti tayang, pada era digital, justru portal berita Lippostar.com pada 2002. Di dunia, surat kabar yang sepenuhnya beralih ke daring, pertama kali, adalah Post och Inrikes Tidningar (Po IT) di Swedia pada 1 Januari 2007. Po IT adalah salah satu koran tertua di dunia, didirikan oleh Ratu Christina tahun 1645.
Sebenarnya tidak mudah untuk mencatat website berita yang buka dan tutup di negeri ini, juga secara internasional, karena keberadaannya datang dan pergi silih berganti secara mudah. Dewan Pers pernah mencatat, tahun 2018 ada sekitar 43.000 media siber di Indonesia, dan hingga akhir tahun 2019 baru 211 media siber yang terverifikasi. Menurut Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), hingga Juni 2020, ada 547 media siber yang terverifikasi di Dewan Pers.
Dampak penyebaran virus korona baru di Indonesia terhadap usaha media masa tahun 2020 juga tak ada data yang pasti. Mengacu data dari Serikat Perusahaan Pers—dahulu Serikat Penerbit Suratkabar (SPS)—selama bulan Januari-April 2020, Dewan Pers menyebutkan, sekitar 71 persen dari 434 perusahaan media cetak anggotanya mengalami penurunan pendapatan dari sisi iklan dan sirkulasi yang tajam.
Dewan Pers menyebutkan, sekitar 71 persen dari 434 perusahaan media cetak anggotanya mengalami penurunan pendapatan dari sisi iklan dan sirkulasi yang tajam.
Akibatnya, sekitar 50 persen di antaranya merumahkan karyawannya dan berhenti terbit, baik sementara atau selamanya. Penurunan pendapatan pun dialami oleh media radio, televisi, dan media siber sehingga sebagian di antaranya juga berhenti beroperasi.
Baca juga : Seruan di Padang Gurun: Dilema Media Massa di Tengah Pandemi Covid-19
Kondisi tidak lebih baik juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Harian The New York Times melaporkan, sekitar 36.000 pekerja media kehilangan pekerjaannya selama masa pandemi ini. Situasi itu tak hanya dialami oleh media cetak dan elektronik, tetapi juga media siber, seperti Buzzfeed, Vice, Slate, dan The Hufftington Post.
The Guardian pada 9 April 2020 menuliskan, pandemi Covid-19 menghancurkan media di AS karena pendapatannya merosot. Perusahaan pemasang iklan pun selama pandemi mengurangi, bahkan menghapus, anggaran beriklan di media. Kondisi ini dialami oleh bukan hanya media baru, melainka juga media yang sudah mapan, seperti Times-Picayune dan The Plain Dealer di Ohio.
Voice of America (VOA), mengutip data dari Associated Press (AP), tanggal 3 April 2020, menunjukkan, sekitar 2.100 kota di AS telah kehilangan korannya selama 15 tahun terakhir ini. Dan, pandemi Covid-19 kian memperberat kehidupan media massa di AS sehingga kelompok usaha media besar, seperti Gannett Media kehilangan pendapatan, mengurangi staf, dan melakukan langkah efisiensi lainnya. Namun, sejumlah koran besar di AS, seperti The New York Times, The Washington Post, dan The Wall Street Journal, tetap mampu bertahan karena memiliki sumber pendapatan lain, dan mendapatkan jutaan pelanggan versi digitalnya.
Di Australia, menurut laporan The Guardian pada 18 Mei 2020, sejak Januari 2019 ada 157 media yang berhenti terbit sementara, selamanya, atau mengurangi karyawan, termasuk media daring. Maret lalu, surat kabar yang berusia lebih dari 120 tahun, Yarram Standard, pun berhenti terbit, diikuti sejumlah surat kabar lainnya, seperti the Great Southern Star dan the Sunraysia Daily.
Kembali pada publik
Media massa sesungguhnya bukan sekadar kegiatan usaha atau bisnis semata. Media massa adalah cermin dari masyarakat, dan menjadi pilar keempat demokrasi. Kesadaran untuk turut menjaga kehidupan media massa terasa sekali di Eropa, khususnya di Skandinavia.
Menghidupi media massa yang baik, yang berarti juga menghidupi jurnalisme yang mandiri, telah menjadi kesadaran masyarakat di sejumlah negara. Jika media massa mengalami kesulitan, tak bisa lain, harus kembali ke masyarakat, seperti mengembangkan langganan digital dan kolaborasi. Publik akan membiayai jurnalisme yang mandiri dan baik, untuk pengembangan kewargaan.
Jika media massa mengalami kesulitan, tak bisa lain, harus kembali ke masyarakat, seperti mengembangkan langganan digital dan kolaborasi. Publik akan membiayai jurnalisme yang mandiri dan baik, untuk pengembangan kewargaan.
Mathias Döpfner, pimpinan kelompok media Axel Springer di Jerman, pada International Paid Content Summit ketujuh di Berlin, 12 Februari lalu, menyatakan, ”I am absolutely convinced that, in only a few years, paid content will be the economic foundation for many publishing houses. Digital subscriptions will contribute a great deal towards safeguarding independent and diverse journalism.” Konten berbayar menjadi fondasi ekonomi bagi penerbit. Langganan digital akan berkontribusi besar dalam menjaga jurnalisme yang independen dan beragam.
Konten berbayar menjadi fondasi ekonomi bagi penerbit. Langganan digital akan berkontribusi besar dalam menjaga jurnalisme yang independen dan beragam.
Baca juga : Berkolaborasi Membangun Ekosistem Baru Media Massa
The New York Times sejak 2011 hingga saat ini mampu bertahan, bahkan berkembang, sebab mengandalkan konten berbayar dan langganan digital. Bahkan, pada tiga bulan pertama tahun ini, dalam masa pandemi Covid-19, mampu menambah pelanggan digitalnya lebih dari 587.000 pelanggan baru.
Dalam laporannya pada 6 Mei 2020, surat kabar terbesar di AS itu pun bisa membukukan total sekitar 6 juta pelanggan, baik untuk digital dan cetaknya. Kondisi yang relatif sama, dengan jumlah tambahan pelanggan yang lebih kecil, juga diperoleh The Wall Street Journal, dan The Washinton Post, serta media yang mengembangkan konten berbayar, seperti Der Spiegel (Jerman), Financial Times (Inggris), Aftonbladet (Swedia), dan Asahi Shimbun (Jepang).
Model bisnis media, khususnya yang berbasis digital: daring pun berubah sejak sepuluh tahun lalu. Portal berita yang semula berbasis free acces atau gratis kini banyak yang beralih ke model langganan, baik model freemium, metered paywall, dan hard paywall.
Survei Reuters Institut for the Study of Journalism, yang dipublikasikan Mei 2019, terhadap 212 media di Eropa dan AS, menunjukkan kini tinggal 53 persen media siber yang bertahan dengan model gratisan. Sebagian mulai beralih ke model berbayar, termasuk dengan mengembangkan crowd funding (dana warga), seperti yang dilakukan The Guardian dan menerima keanggotaan (memberships), seperti yang dilakukan sejumlah media.
Untuk bisa memperoleh pelanggan, tentu saja kualitas konten yang ditampilkan media itu menjadi kunci. Publik tak akan membayar sebuah produk jurnalistik yang kualitasnya buruk, atau bisa didapatkan di mana saja secara gratis.
Kepercayaan publik pada media massa arus utama yang meningkat, sesuai laporan Reuters Institute dan Universitas Canberra tahun ini, selama masa pandemi, seharusnya menjadi momentum bagi pengelola media massa agar bisa menampilkan informasi yang bisa menjadi rujukan masyarakat, dan dipercaya.
Publik tak akan membayar sebuah produk jurnalistik yang kualitasnya buruk. Pandemi seharusnya menjadi momentum bagi pengelola media massa agar bisa menampilkan informasi yang bisa menjadi rujukan masyarakat, dan dipercaya.
Baca juga: Wartawan Bisa Keliru, tetapi Tidak Boleh Bohong
Apalagi, menurut perkiraan Statista pada Mei 2020, belanja iklan bagi media arus utama tahun 2021, baik media cetak dan media digital, masih tetap tinggi, mencapai lebih dari 128,217 miliar dollar AS di seluruh dunia. Perkiraan di Indonesia pun akan meningkat, sejalan dengan dunia usaha yang menggeliat kembali.
Setelah musim gugur lebih dari lima tahun terakhir ini, semoga bisnis media massa arus utama segera memasuki musim semi, tanpa perlu melewati musim dingin yang beku.