Pengembalian Defisit APBN ke Level 3 Persen Perlu Dipertimbangkan Ulang
Pemerintah diminta mempertimbangkan kebijakan pengembalian defisit APBN ke level di bawah 3 persen tahun 2023. Ekspansi fiskal dalam jangka menengah masih diperlukan mengingat tantangan pemulihan ekonomi semakin berat.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan mengembalikan defisit APBN ke level di bawah 3 persen tahun 2023 dinilai perlu dipertimbangkan ulang. Ekspansi fiskal dalam jangka menengah masih diperlukan mengingat pemulihan ekonomi semakin menantang.
Dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Dalam UU itu diatur, batasan defisit APBN dapat melampaui 3 persen produk domestik bruto (PDB) sampai berakhirnya tahun anggaran 2022. Defisit APBN akan kembali ke bawah 3 persen PDB pada 2023.
Menteri Keuangan periode 2013-2014, M Chatib Basri, berpendapat, ekonomi global diyakini belum pulih tahun depan, termasuk di China dan Amerika Serikat. Hampir semua negara maju masih berkutat menangani penyebaran virus, bahkan mitigasi risiko gelombang kedua pandemi akibat pembukaan kegiatan ekonomi.
”Ketika pemulihan ekonomi global masih menantang berarti ekspor tidak bisa diandalkan, yang bisa adalah sektor domestik,” kata Chatib dalam diskusi webinar bertajuk ”Ekonomi VS Kesehatan Era Normal Baru”, Rabu (8/7/2020).
Oleh karena itu, langkah pertama untuk memulihkan ekonomi nasional adalah menumbuhkan daya beli. Setelah daya beli tumbuh, stimulus fiskal dan moneter diberikan ke dunia usaha untuk mendorong produksi. Pertumbuhan permintaan domestik selama tiga bulan akan diikuti peningkatan investasi secara bertahap.
Menurut Chatib, ekspansi fiskal sangat dibutuhkan untuk mendorong produksi dan menumbuhkan daya beli pascapandemi. Namun, ekspansi fiskal ke depan akan terkendala kebijakan defisit 3 persen PDB dan risiko penurunan pendapatan seiring rendahnya rasio pajak akibat perlemahan harga komoditas.
Penurunan pendapatan masih harus dikurangi beban belanja yang naik karena rasio utang terhadap PDB mencapai 37 persen. Pemerintah juga dihadapkan kenaikan cicilan buga utang dan kenaikan belanja wajib untuk kesehatan. ”Jika defisit harus kembali ke 3 persen PDB, pemerintah harus memangkas belanja untuk mendorong ekonomi,” kata Chatib.
Dia berpendapat, kebijakan mengembalikan defisit APBN ke level 3 persen pada 2023 perlu dipertimbangkan ulang. Indonesia masih membutuhkan ekspansi fiskal yang besar untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Terlebih, kemungkinan pola pemulihan ekonomi membentuk huruf V kian sulit.
”Dengan ekspansi fiskal, mungkin pemulihan ekonomi seperti huruf U. Jangan sampai pemulihan ekonomi membentuk pola huruf L sehingga kebijakan fiskal memainkan peran penting,” kata Chatib.
Sejauh ini pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi RI tahun 2020 berkisar minus 0,4 persen hingga 1 persen. Kontraksi ekonomi paling dalam terjadi pada triwulan II-2020 yang diproyeksikan minus 3,8 persen. Adapun pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2020 sebesar 2,97 persen.
Dunia usaha
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Perkasa Roeslani mengatakan, penanganan Covid-19 di bidang kesehatan dan pemulihan ekonomi bukan kebijakan yang perlu dipertentangkan. Kebijakan ekonomi dan kesehatan kini harus beriringan untuk mempercepat pemulihan pascapandemi.
Pandemi Covid-19 selama tiga bulan ini berdampak luar biasa bagi dunia usaha. Menurut catatan Kadin, kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pegawai dirumahkan mencapai 6,4 juta orang. Omzet yang turun membuat arus kas perusahaan mandek sehingga sebagian besar tidak mampu membayar PHK dan pembayaran gaji pegawai sampai Juni-Juli 2020.
”Dampak Covid-19 terhadap tenaga kerja yang dihimpun Kadin jauh lebih besar dibandingkan data Kementerian Ketenagakerjaan yang hanya sekitar 2,5 juta orang,” kata Rosan.
Sebagian besar omzet perusahaan di semua sektor menurun 50-60 persen. Bahkan, okupansi bisnis perhotelan saat ini hanya tinggal 10 persen. Lebih dari 2.000 hotel melaporkan tutup ke Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Sektor manufaktur turun 50 persen yang terefleksi dari penurunan penjualan mobil dari 1,1 juta unit menjadi 400.000 unit tahun 2020.
Rosan menambahkan, UMKM dan sektor informal yang biasanya menjadi penggerak ekonomi dan paling tahan krisis saat ini menjadi segmen paling terdampak. Produksi UMKM dan kegiatan informal terhenti akibat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) selama tiga bulan di hampir semua daerah.
Menurut sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, pandemi Covid-19 memunculkan banyak perenungan yang salah satunya dampak pembangunan terhadap kerusakan lingkungan. Pemangku kepentingan diingatkan agar memasukkan faktor-faktor nonekonomi dalam pembangunan, terutama bidang lingkungan.