LPS Perlu Berhati-hati Tempatkan Dana di Bank Bermasalah
Dengan wewenang barunya sebagai penyelamat bank sakit atau dalam pengawasan intensif, LPS perlu berhati-hati bertindak. Di sisi lain, wewenang baru LPS ini dinilai tidak tepat.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kewenangan baru Lembaga Penjamin Simpanan dalam penempatan dana di bank dianggap berpotensi menabrak prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Prinsip kehati-hatian menjadi modal utama yang harus dipenuhi LPS dalam melakukan penyelamatan terhadap bank bermasalah.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan, LPS mendapat kewenangan untuk menempatkan dana pada bank yang mengalami permasalahan solvabilitas. Solvabilitas adalah kemampuan perusahaan dalam memenuhi segala kewajiban atau utang yang harus dibayarkan.
Ketentuan ini berbeda dari fungsi awal LPS, yakni untuk menyelamatkan atau menutup bank yang sudah dinyatakan sebagai bank gagal. Landasan berdirinya LPS diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004.
Adapun PP No 33/2020 berlandaskan pada UU No 2/2020 yang mengatur tentang tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19. Pasal 20 Ayat (2) UU tersebut menyebutkan, kewenangan LPS dalam penanganan stabilitas sistem keuangan akan diatur dalam PP.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Dradjad Wibowo, Minggu (12/7/2020), mengatakan, UU No 2/2020 telah menabrak prinsip-prinsip tata kelola dari segi pengawasan, transparansi, akuntabilitas, kehati-hatian, dan penegakan hukum.
”LPS harus super hati-hati dalam melakukan penyelamatan terhadap bank gagal. Pasalnya, jika nanti terjadi ekses negatif dalam penyelamatan bank gagal dan penempatan dananya, itu konsekuensi dari UU,” ujarnya.
LPS harus super hati-hati dalam melakukan penyelamatan terhadap bank gagal. Pasalnya, jika nanti terjadi ekses negatif dalam penyelamatan bank gagal dan penempatan dananya, itu konsekuensi dari UU.
Drajad menyoroti Pasal 27 UU No 2/2020 yang isinya mengatur imunitas hukum pemerintah dan anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), termasuk LPS di dalamnya. Ini dianggap bentuk pengistimewaan pejabat tertentu yang berpotensi pada terjadinya penyalahgunaan wewenang.
Drajad menganggap dalam melakukan penyelamatan bank gagal, LPS kemungkinan besar akan gamang dalam bertindak. Pasalnya, sejak LPS berdiri, lembaga ini tidak pernah menjalankan peran untuk melonggarkan likuiditas bank.
Merujuk PP No 33/2020, penempatan dana akan dilakukan dengan tenor satu bulan dan bisa diperpanjang lima kali. Secara total nilai penempatan maksimum 30 persen dari aset LPS, sementara tiap bank maksimum bisa menerima penempatan dana 2,5 persen dari aset LPS. Saat ini, aset LPS sebesar Rp 128 triliun.
”Jika uang habis, LPS diberi kewenangan di Pasal 20 Ayat (1b) dari UU No 2/2020. Jadi, secara legal dia bisa merepo atau menjual surat berharga negara (SBN) ke BI, menerbitkan surat utang, meminjam ke pihak lain, atau meminjam ke pemerintah,” kata Drajad.
Namun, dalam praktiknya, kata Drajad, pilihan tersebut akan sangat tergantung kondisi riil pasar dan likuiditas pemerintah. Di saat seperti saat ini, LPS tidak akan mudah mendapatkan pinjaman dari pemerintah atau merepo SBN ke BI yang likuiditasnya sudah banyak digunakan untuk memonetisasi defisit APBN.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai, penempatan dana LPS pada bank sakit tidak tepat. Urusan likuiditas bukan merupakan tugas LPS. Payung hukum PP No 33/2020 dinilai sama saja dengan penempatan dana pemerintah di perbankan untuk membantu likuiditas yang berujung pada mendorong penyaluran kredit bank.
”Penyelamatan bank tetap ada di OJK, tugas mengatur mengawasi dan menjaga kesehatan bank ada di OJK. Kalau sudah mau likuidasi serahkan ke LPS, tetapi urusan likuiditas ada di BI,” katanya.
Penempatan dana LPS pada bank sakit tidak tepat. Urusan likuiditas bukan merupakan tugas LPS. Payung hukum PP No 33/2020 dinilai sama saja dengan penempatan dana pemerintah di perbankan untuk membantu likuiditas yang berujung pada mendorong penyaluran kredit bank.
Direktur Operasional PT Bank of India Indonesia Tbk Ferry Koswara mengaku tidak cukup yakin penempatan dana oleh LPS akan memenuhi prinsip kehati-hatian. Menurut dia, otoritas seharusnya lebih menelusuri penyebab bank-bank mengalami kesulitan likuiditas.
”Sejumlah bank menjadi kurang sehat apakah murni karena bisnis (pandemi Covid-19)? Saya rasa bank jadi kurang sehat juga akibat ’saling sikut’,” ujarnya.
Di lain pihak, Presiden Direktur PT Bank Pan Indonesia Tbk Herwidayatmo punya pandangan berbeda. Ia mengapresiasi langkah pemerintah dalam memperluas tugas LPS dalam membantu bank yang mengalami kesulitan likuiditas.
”Namun tetap diperlukan kepastian protokol penanganan yang jelas, baik, dan tegas bila terjadi masalah dalam industri perbankan,” ujarnya.
Sebelumnya, meskipun belum ada kriteria pasti, Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah mengatakan, bank yang dapat menerima penempatan dana LPS bisa berasal dari bank yang berstatus bank dalam pengawasan intensif (BDPI). Bank dengan status yang berpotensi meningkat menjadi bank dalam pengawasan khusus (BDPK) juga masuk dalam kriteria bank bermasalah.
Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK Anto Prabowo menjelaskan, kewenangan LPS dalam penempatan dana merupakan upaya saling melengkapi antarlembaga untuk menjaga kestabilan sistem keuangan.