Sebelum Wisatawan Datang, Bali Mulai Verifikasi Penerapan Protokol Kesehatan di Sektor Pariwisata
Sebelum wisatawan datang, Bali sedang menyiapkan pembukaan kembali industri pariwisata Bali dengan memferivikasi pnerapan protokol tatanan kehidupan era baru, termasuk protokol pencegahan Covid-19 menjadi syarat utama.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·4 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Memasuki tatanan kehidupan era baru di Bali, pemerintah bersama asosiasi industri pariwisata sedang menyiapkan pembukaan kembali industri pariwisata Bali. Penerapan protokol tatanan kehidupan era baru sektor pariwisata, termasuk protokol kesehatan pencegahan penularan penyakit akibat virus korona baru (Covid-19), menjadi syarat dan diverifikasi pemerintah bersama asosiasi pariwisata di Bali.
Dihubungi Kompas, Senin (13/7/2020), Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali Putu Astawa menyatakan, proses verifikasi penerapan protokol tatanan kehidupan era baru sektor pariwisata sedang berjalan. Mengacu Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 3355 Tahun 2020 tentang Protokol Tatanan Kehidupan Era Baru, sektor pariwisata termasuk satu dari 14 sektor yang wajib menerapkan protokol tatanan kehidupan era baru tersebut.
”Kami membentuk tim asesor, baik di tingkat provinsi maupun di kabupaten dan kota,” ujar Astawa.
Sejak penyakit Covid-19 merebak di China, sektor pariwisata di Bali mulai tertekan. Catatan Badan Pusat Statistik Provinsi Bali terkini menunjukkan jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke Bali selama periode Januari hingga Mei 2020 turun drastis, yakni sedalam 54,47 persen, dibandingkan periode Januari-Mei 2019.
Tidak menutup kemungkinan ada pengusaha atau pemegang saham hotel yang ingin mengetahui nilai aset mereka di pasar atau menjual asetnya dengan alasan operasional hotel tidak menutupi utang atau tidak ada profit.
Penurunan kunjungan wisman terjadi mulai Februari 2020 yang dipengaruhi berkurangnya jumlah kedatangan wisman dari Tiongkok. Hingga Mei 2020, jumlah wisman yang datang ke Bali tercatat 36 kunjungan.
Tingkat hunian
Imbas dari pandemi Covid-19 itu juga berdampak terhadap pengoperasian akomodasi wisata, termasuk hotel. Laporan BPS Provinsi Bali awal Juli 2020 menyebutkan tingkat penghunian kamar hotel berbintang di Bali selama Mei 2020 sebesar 2,07 persen. Pada Mei 2019, tingkat penghunian kamar hotel berbintang di Bali tercatat sebesar 51,56 persen.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Badung, yang juga Wakil Ketua BPD PHRI Provinsi Bali, I Gusti Agung Ngurah Rai Suryawijaya menyatakan, banyak hotel di Bali ditutup sementara akibat dampak pandemi Covid-19. Ini kondisi global, bukan hanya dirasakan di Bali,” kata Suryawijaya, Senin.
Masuk di tatanan kehidupan era baru di Bali, pariwisata dijadwalkan bergerak kembali mulai akhir Juli, atau pada tahap kedua. Adapun pembukaan kembali Bali untuk menerima kunjungan wisman dijadwalkan mulai 11 September 2020.
Suryawijaya menambahkan, sepinya wisatawan dan ditutupnya obyek wisata di Bali selama pandemi Covid-19 juga memengaruhi aktivitas dan operasi akomodasi wisata, terutama hotel. Dalam situasi itu, menurut Suryawijaya, tidak sedikit pengusaha perhotelan yang meninjau ulang bisnis mereka.
”Tidak menutup kemungkinan ada pengusaha atau pemegang saham hotel yang ingin mengetahui nilai aset mereka di pasar atau menjual asetnya dengan alasan operasional hotel tidak menutupi utang atau tidak ada profit,” kata Suryawijaya.
Terkait isu penjualan hotel di Bali, Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam laman kominfo.go.id yang diakses Senin (13/7/2020) tentang laporan isu hoaks, informasi tentang puluhan hotel di Bali dijual karena terdampak pandemi virus korona dinyatakan sebagai disinformasi.
Penjualan aset hotel
Namun Suryawijaya berpendapat, perihal penjualan atau pengalihan aset hotel adalah hal wajar dalam bisnis pariwisata, apalagi jikalau investor atau pemodal ingin mengalihkan investasi mereka ke luar sektor pariwisata selama pandemi Covid-19.
”Sebelum pandemi Covid-19 juga sudah biasa terjadi hal itu, terutama bagi pengusaha yang belum terbiasa berinvestasi jangka panjang karena pariwisata adalah investasi jangka panjang,” ujar Suryawijaya.
Senada Suryawijaya, Ketua DPD Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) Provinsi Bali I Nyoman Astama menyebutkan isu penjualan hotel di Bali sudah ada jauh sebelum adanya pandemi Covid-19.
Melalui keterangan tertulisnya kepada Kompas, Senin, Astama menyatakan, penjualan hotel dilakukan atas beberapa alasan, di antaranya pengusaha menyadari pengelolaan hotel berbeda dengan pengelolaan pabrik manufaktor atau pemilik modal hanya ingin menanamkan investasinya melalui pembangunan hotel lalu menjualnya kembali.
”Saat inilah yang tepat untuk melakukan evaluasi, mengeset ulang prosedur yang sesuai dengan tatanan kehidupan era baru,” kata Astama.
Suryawijaya menambahkan, memasuki tatanan kehidupan era baru di masa pandemi Covid-19 ini menjadi momen bagi pengusaha dan pemodal untuk membangkitkan industri pariwisata, terutama di Bali. Pengusaha pariwisata harus mengantisipasi kerinduan pelancong untuk berwisata setelah berbulan-bulan tidak bepergian dan bersama-sama membangun optimisme kebangkitan pariwisata.
”Termasuk bagi investor Bali atau bank pemerintah di Bali untuk mengambil momen persiapan rebound di sektor pariwisata dengan berinvestasi di Bali,” ujarnya.