Industri Penerbangan Bersiap Turbulensi Panjang
Pembukaan kembali aktivitas ekonomi di sejumlah negara dan dicabutnya restriksi perjalanan, tidak serta-merta memulihkan kondisi industri penerbangan. Ada faktor psikologis yang membuat masyarakat masih enggan bepergian.
Pukulan telak yang dialami industri penerbangan akibat terbatasnya mobilisasi orang selama pandemi Covid-19 diproyeksikan akan berlangsung lama, setidaknya sampai lima tahun ke depan. Industri penerbangan dan sektor lain yang terkait seperti pariwisata pun harus bersiap menghadapi turbulensi panjang.
Badan Pusat Statistik mencatat, restriksi mobilisasi orang untuk menahan laju penyebaran Covid-19 berdampak signifikan pada penurunan jumlah penumpang transportasi udara, domestik maupun internasional.
Sepanjang Mei 2020, penerbangan level domestik mengalami kontraksi hingga 89,62 persen dari April 2020. Dalam sebulan, jumlah penumpang domestik menurun dari 840.000 orang menjadi tersisa 90.000 orang.
Penerbangan internasional mengalami pukulan yang sama kerasnya. Pada Mei 2020, jumlah penumpang penerbangan ke luar negeri sebanyak 11,7 ribu orang, turun 55 persen dibandingkan kondisi sebulan sebelumnya.
Jumlah penerbangan yang masuk dari luar negeri pun terpukul hebat. BPS mencatat, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia yang datang melalui pintu masuk udara pada Mei 2020 mengalami penurunan hingga 99,93 persen dibandingkan kondisi pada Mei 2019. Penurunan itu terjadi di seluruh bandara internasional.
Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia Chappy Hakim mengatakan, untuk pertama kalinya, dunia penerbangan global berada pada situasi yang sangat buruk. Maskapai penerbangan di seluruh dunia pun melakukan strategi efisiensi yang serupa untuk bertahan hidup -- mulai dari pemutusan hubungan kerja pilot dan kru, memohon bantuan dana talangan dari pemerintah, serta memarkir sejumlah besar armada pesawatnya.
Kondisi saat ini lebih buruk daripada dampak pasca tragedi 9/11 atau serangan 11 September 2001 ke menara kembar World Trade Center, New York, Amerika Serikat, serta saat wabah SARS pada 2003. Saat itu, dunia penerbangan membutuhkan waktu 1 sampai 1,5 tahun untuk kembali pulih.
"Kali ini, dampaknya jauh lebih besar. Baru pertama kali ini industri penerbangan menghadapi situasi seserius ini," katanya dalam webinar "Meneropong Dirgantara Dunia Pasca Covid-19: Kemana Arah Dirgantara Indonesia", Minggu (12/7/2020).
Kali ini, dampaknya jauh lebih besar. Baru pertama kali ini industri penerbangan menghadapi situasi seserius ini.
Baca juga: Perjalanan Dinas Kementerian untuk Dorong Industri Pariwisata Dinilai Tidak Efektif
Pembukaan kembali aktivitas perekonomian di sejumlah negara, serta dicabutnya restriksi perjalanan, tidak serta-merta memulihkan kondisi industri penerbangan. Ada faktor psikologis yang membuat masyarakat masih enggan bepergian jauh menggunakan pesawat terbang di tengah pandemi.
Direktur Utama PT Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, meski pembatasan sosial sudah dilonggarkan, jumlah penumpang tetap anjlok. Saat ini, maskapai pelat merah itu hanya melayani satu penerbangan setiap harinya ke Bali, dengan jumlah penumpang hanya 15-20 orang. Sebelum Covid-19, Garuda bisa melayani 16 penerbangan ke Bali setiap hari dengan penumpang penuh.
Di tengah kondisi yang masih dibayangi virus Covid-19, pesawat memang hanya diisi oleh orang-orang yang memang harus bepergian. Ada tiga tipe penumpang Garuda. Pertama, dia memang harus terbang untuk urusan kantor, dinas. Kedua, mereka yang keperluannya untuk bersosialisasi. Ketiga, mereka yang keperluannya untuk berlibur.
"Akhir-akhir ini, yang terbang itu tipe penumpang yang memang mau tidak mau harus terbang," katanya.
Menrut Irfan, masyarakat semakin malas bepergian karena persyaratan untuk bepergian lewat udara dibuat berlapis dan ketat untuk mencegah penularan virus. Harga tes cepat Covid-19 juga terlalu mahal, sehingga membuat minat penumpang untuk bepergian menggunakan pesawat semakin rendah.
"Kami sungguh menyesalkan banyak orang menari di atas penderitaan kami dengan menawarkan harga rapid test yang terlalu melambung," katanya.
Kapan pulih?
Menjaga daya tahan industri penerbangan ibarat memakan buah simalakama. Kasus Covid-19 yang terus meninggi membuat langkah pembukaan aktivitas ekonomi harus dilakukan lebih berhati-hati dan bertempo lambat. Pada industri penerbangan, kehati-hatian itu diterjemahkan dalam bentuk persyaratan terbang yang lebih ketat dan panjang, yang pada akhirnya membuat jumlah penumpang menurun drastis.
Lembaga S&P Global Rating memprediksi, perjalanan udara baru bisa berangsur pulih ketika aspek keamanan dan kesehatan sudah berhasil ditangani dan pandemi mulai berlalu.
Dengan kondisi seperti itu, ujar Chappy, berbagai kajian yang dilakukan ahli penerbangan menunjukkan, pemulihan kembali sistem transportasi udara akan membutuhkan waktu relatif lebih lama dari sektor lain, yakni 3-5 tahun. Kajian Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) menunjukkan sistem transportasi udara global akan kembali pada 2023 untuk skenario optimistis.
Berbagai kajian yang dilakukan ahli penerbangan menunjukkan, pemulihan kembali sistem transportasi udara akan membutuhkan waktu relatif lebih lama dari sektor lain, yakni 3-5 tahun.
Sementara, beberapa lembaga lain seperti Lembaga S&P Global Rating memprediksi dengan lebih pesimitis bahwa industri penerbangan global belum akan kembali normal pada 2023. Waktu pemulihan yang dibutuhkan lebih lama, dengan mempertimbangkan perilaku masyarakat yang belum bisa ditebak serta tantangan operasional perusahaan maskapai.
"Kondisi kita pun tidak akan beda jauh dengan proyeksi global itu. Dan selama pemerintah tidak mengambil alih atau membuat terobosan, harapan pulih pada rentang waktu 3-5 tahun itu pun tetap akan sulit tercapai," katanya.
Menurut Chappy, langkah pemerintah untuk menyelamatkan industri penerbangan, menjadi penting. Di berbagai negara, pemerintah setempat memberi bantuan dana talangan atau suntikan dana ke maskapai penerbangannya. Di Indonesia pun, langkah strategis dari pemerintah dibutuhkan.
"Karena, bagaimanapun juga, perhubungan udara ini menjadi kunci eksistensi negara. Apalagi untuk letak negara kita yang strategis dan berupa kepulauan. Industri penerbangan harus diselamatkan, meski harus memakan waktu lama," kata Chappy.
Salah satu langkah pemerintah adalah rencana memberikan bantuan dana talangan sebesar Rp 8,5 triliun ke maskapai pelat merah Garuda Indonesia dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional pasca Covid-19. Namun, dana talangan itu belum dicairkan sampai sekarang.
Baca juga: Penerbangan dan Covid-19
Peluang
Pakar Kedirgantaraan dan Chief Engineer for Future Avionics di Airbus Helicopters, Imam Birowo, mengatakan, di tengah pandemi saat ini, ada beberapa peluang yang sebenarnya bisa direbut industri penerbangan Indonesia. Saat perjalanan penumpang saat ini terbatas, industri penerbangan bisa dimanfaatkan untuk angkutan kargo.
"Lalu lintas kargo itu sekarang betul-betul sangat dibutuhkan untuk mendorong perdagangan internasional. Prediksi optimistis dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), pertumbuhan perdagangan barang pada 2021 bisa mencapai 21-24 persen. Di sini, industri penerbangan nasional kita bisa berperan," katanya.
Peluang juga bisa muncul dari ekosistem lain, seperti industri pesawat terbang, perawatan pesawat terbang, hingga industri produsen komponen pesawat terbang.
Imam berpendapat, peluang tetap ada, meskipun industri penerbangan tidak bisa semata-mata bergantung pada perjalanan orang. Saat ini,ujarnya, industri penerbangan di seluruh dunia mengalami keterpurukan yang sama. Industri pemasok komponen ke pabrik pesawat, misalnya, banyak yang mengalami kesulitan keuangan karena Covid-19 dan mengurangi karyawan.
"Mereka sudah tidak bisa perform, sehingga peluang industri komponen dalam negeri untuk merebut pasar ini sangat besar, tetapi tetap, kuncinya harus didukung kebijakan pemerintah," ujarnya.
Efek domino pariwisata
Pukulan telak terhadap industri penerbangan ini pun otomatis memengaruhi industri pariwisata, yang sangat tergantung pada konektivitas transportasi.
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) dalam laporan terbarunya pada 1 Juli 2020 lalu, Covid-19 and Tourism: Assessing the Economic Consequences memproyeksikan, pendapatan pariwisata global akan turun hingga 3,3 triliun dollar AS.
Baca juga : Pembukaan Kembali Tempat Wisata Tak Mendesak
Ada tiga skenario yang dianalisa. Dalam skenario moderat, jika restriksi perjalanan dan kemacetan arus wisata terjadi selama empat bulan, pendapatan akan turun 1,2 triliun dollar AS. Dalam skenario menengah, dengan restriksi berlangsung delapan bulan, pendapatan akan turun senilai 2,22 triliun dollar AS. Sementara, pada skenario terburuk, ketika restriksi perjalanan dan pariwisata berlangsung satu tahun penuh, pendapatan akan turun 3,3 triliun dollar AS.
Indonesia termasuk dalam salah satu negara yang akan mengalami pukulan hebat karena menggantungkan perekonomiannya pada sektor pariwisata.
UNCTAD memprediksi, dalam skenario paling ringan atau moderat, Indonesia akan mengalami penurunan produk domestik bruto hingga 20,7 miliar dollar AS. Dalam skenario menengah, penurunan PDB Indonesia mencapai 40 miliar dollar AS, dan pada skenario terburuk, penurunan PDB Indonesia mencapai 59,9 miliar dollar AS.