Laju pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Bitung, Sulawesi Utara, terhambat karena investor tidak bisa masuk akibat pandemi Covid-19. Namun, selama setahun terakhir pun tidak ada perkembangan yang signifikan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
BITUNG, KOMPAS — Laju pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Bitung, Sulawesi Utara, terhambat karena investor tidak bisa masuk akibat pandemi Covid-19. Sejauh ini juga belum ada perkembangan berarti dibandingkan dengan tahun lalu. Jumlah perusahaan yang sudah beraktivitas masih sama, sedangkan pembebasan lahan juga belum sampai 20 persen.
Sekretaris Administrator Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung Julius Talimbekas mengatakan, pandemi menghambat para investor yang tertarik membuka pabrik di area KEK Bitung untuk segera mengalirkan dananya. Sekitar 60 persen perusahaan yang meminati KEK Bitung berasal dari China, tempat Covid-19 pertama teridentifikasi.
”Tahun lalu saja ada 35 perusahaan yang sudah mengirimkan letter of interest (pernyataan ketertarikan) kepada pengelola KEK, datang dan mempresentasikan profil perusahaan mereka. Tahun ini, jumlahnya pasti sudah bertambah. Tetapi, penjajakan bisnis tertunda oleh pandemi, entah sampai kapan,” kata Julius ketika ditemui, Jumat (17/7/2020).
Sejauh ini, tidak ada perubahan signifikan yang tampak di area KEK Bitung dibandingkan dengan Juli 2019 ketika Presiden Joko Widodo bertandang. Jalan poros KEK Bitung dari gerbang utama di daerah Sagerat, misalnya, terputus setelah membentang sekitar 400 meter, tepat di bawah gapura besi yang mulai berkarat dan runtuh.
Semak dan tumbuhan liar menyambut di ujung jalan itu, sementara beberapa ekor sapi yang diikat di sana mencari makan. Di balik gapura, puluhan rumah semipermanen berdiri di atas tanah. Ada pula ladang jagung milik warga.
KEK Bitung telah diresmikan sejak 1 April 2019 oleh Presiden Joko Widodo setelah rencana induknya disepakati pada 2014. Kawasan industri seluas 534 hektar itu dibangun dengan APBN senilai Rp 2,3 triliun. Hingga 2025, diharapkan KEK ini mengundang investasi Rp 32,9 triliun untuk menyerap 97.300 tenaga kerja di bidang industri pengolahan kelapa, perikanan, farmasi, logistik, dan pembangunan kawasan.
Namun, Julius mengatakan, baru 92,79 hektar dari luas total KEK yang lahannya telah resmi dimiliki Pemprov Sulut dengan sertifikat tanah. Adapun 441,21 hektar sisanya masih dimiliki masyarakat sebagai wilayah permukiman dan perusahaan yang telah mendirikan pabrik lebih dulu di area yang masuk rencana induk.
Jika nantinya ada perusahaan yang siap membangun pabrik, PT Membangun Sulut Hebat sebagai badan usaha pengelola dan pengembangan (BUPP) KEK Bitung akan membebaskan lahan. ”Karena sudah masuk masterplan KEK, lahan masyarakat maupun perusahaan tidak bisa diperjualbelikan ke pihak lain selain pemerintah,” katanya.
Saat ini, kata Julius, baru ada dua perusahaan yang resmi beraktivitas dalam KEK, yaitu PT Futai Sulawesi Utara (bidang pengolahan plastik dan kertas) serta China Road and Bridge Corporation (bidang properti, reklamasi, dan pembangunan kawasan). Keduanya berada di luar lahan yang telah jadi milik Pemprov Sulut. Nota kesepahaman (MoU) telah dibentuk pula dengan empat perusahaan lain.
Namun, ada 18 perusahaan lain yang sudah lebih dulu dibangun di wilayah yang masuk rencana induk KEK. Julius mengatakan, perusahaan-perusahaan itu akan didorong untuk bergabung dalam KEK. Sebab, perusahaan akan diuntungkan dengan kemudahan perizinan, pembebasan biaya masuk untuk barang impor, serta keringanan pajak daerah.
Dihubungi dari Manado, Minggu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulut Edwin Kindangen mengatakan, pandemi memang menyebabkan para investor menunda untuk berinvestasi. Namun, Pemprov Sulut tetap berpromosi dan siap menyambut investor.
Pandemi memang menyebabkan para investor menunda untuk berinvestasi. (Edwin Kindangen)
”Pemprov sendiri menyiapkan BUPP dengan menyediakan permodalan serta hibah pengelolaan aset. Dananya miliaran rupiah,” kata Edwin.
Di samping itu, Pemprov juga aktif mempersuasi perusahaan yang berlokasi di dalam wilayah rencana induk untuk bergabung dalam KEK Bitung. Pembangunan kawasan, tambah Edwin, pun akan dilaksanakan seiring kesepakatan dengan perusahaan. Semak belukar dan permukiman di dalam kawasan akan digusur seiring kesepakatan.
Infrastruktur pendukung
Pemerintah berambisi menjadikan Bitung sebagai pusat industri baru di Sulawesi. Karena itu, berbagai infrastruktur pendukung telah selesai dibangun serta telah direncanakan. Jalan Tol Manado-Bitung, misalnya, sudah selesai dibangun meski belum difungsikan.
Kapasitas Terminal Peti Kemas Bitung telah ditingkatkan seiring dengan rencana pemerintah menjadikan Bitung sebagai pelabuhan simpul internasional. General Manager PT Pelindo IV M Ayub Rizal mengatakan, pada akhir 2019, Terminal Peti Kemas Bitung telah diperluas dan suprastrukturnya telah ditambah.
Lapangan penumpukan diperluas dari 10 hektar menjadi 15 hektar, sedangkan panjang dermaga ditambah dari 131 meter menjadi 650 meter. Kini, terminal peti kemas itu bisa melayani bongkar muat 600.000 peti kemas 20 kaki per tahun.
”Tetapi, di kondisi sekarang kami masih ada kelebihan kapasitas. Tahun 2019 hanya 50 persen dari kapasitas terpasang yang terpakai. Kalau KEK Bitung sudah beroperasi, saya rasa kapasitas kami masih cukup sampai 3-4 tahun mendatang,” katanya.
Sepanjang Januari-Juni 2020, kata Ayub, Terminal Peti Kemas Bitung melayani bongkar muat 126.000 peti kemas, menurun dari sekitar 138.000 selama periode yang sama pada 2019. Penurunan ini disebabkan oleh menurunnya aktivitas perdagangan akibat pandemi, terutama di triwulan kedua 2020.
Selama 2019, sebanyak 259.923 peti kemas masuk dan keluar di Bitung. Ada peningkatan sekitar 7 persen dibandingkan dengan tahun 2018, yaitu 243.780 peti kemas. Ayub berharap, aktivitas logistik kembali menggeliat di paruh kedua 2020.