Pelaku usaha sektor properti meminta pemerintah memudahkan syarat pembelian properti oleh warga negara asing. Ceruk pasar ini dianggap bisa mendorong permintaan yang lesu di tengah pandemi.
Oleh
Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelonggaran aktivitas ekonomi pasca-pembatasan pergerakan masyarakat dinilai belum berdampak ke sektor properti Tanah Air. Permintaan masih lesu. Oleh karena itu, pelaku usaha meminta pemerintah memberi kemudahan pembelian bagi warga negara asing, ceruk pasar yang diharapkan bisa menggairahkan permintaan properti.
Real Estat Indonesia (REI) mencatat, meski perekonomian sudah dibuka bertahap, pendapatan bisnis properti maksimal hanya 50 persen dibandingkan situasi normal. Di tengah pemasukan yang minim, perusahaan terbebani biaya operasional rutin, sedangkan berbagai stimulus dari pemerintah dinilai belum berdampak di sektor properti.
Ketua Umum REI Totok Lusida, dalam webinar ”Akselerasi Pemulihan Properti: Mencari Kebijakan Properti yang Extraordinary” yang digelar REI, Kamis (23/7/2020), mengatakan, salah satu tantangan saat ini adalah bagaimana meningkatkan permintaan. Selama ini persoalan kepemilikan asing atas tanah dan properti di Indonesia belum mendapat kepastian sehingga menjadi kendala di sisi permintaan.
Peraturan kepemilikan properti oleh orang asing tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Dalam PP itu, warga negara asing (WNA) boleh membeli hunian di Indonesia, tetapi dengan sejumlah syarat, seperti WNA harus memiliki status bekerja, berinvestasi, atau memberi manfaat di Indonesia.
WNA pun hanya boleh membeli aset properti dengan status hak pakai dengan batasan waktu maksimal 80 tahun. Ada pula aturan yang mengharuskan WNA memiliki visa, kartu izin tinggal terbatas (kitas), atau izin kerja (working permit).
Menurut Totok, kemudahan pembelian properti oleh orang asing, antara lain, WNA tidak harus memiliki kitas dan cukup memiliki visa multi entry untuk 3-5 tahun. Status kepemilikan WNA juga diminta tidak perlu dibedakan dengan kepemilikan WNI, misalnya, sertifikat hak milik pada apartemen atau rumah susun dapat diterbitkan di atas tanah berstatus hak guna bangunan (HGB).
Menurut CEO Lippo Group James Riady, di tengah pandemi, permintaan belum bisa digerakkan oleh warga negara Indonesia. Oleh karena itu, perusahaan properti membidik pasar asing khusus untuk properti komersial, bukan hunian bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
”Kalau nanti sudah kebanyakan dan kepemilikan asing mau dibatasi lagi, silakan, tetapi untuk saat ini ada baiknya pemerintah mempertimbangkan itu dimudahkan,” kata James.
Pendiri Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma berharap, pada Agustus 2020 WNA sudah bisa lebih leluasa membeli properti Indonesia. ”Kalau itu semua dimudahkan, apalagi di tengah upaya menarik investasi asing masuk Indonesia, akan sangat bermanfaat bagi para investor dan bisa membantu sektor properti,” ujarnya.
Dongkrak harga
Usulan tersebut sudah lama disuarakan dan ditampung pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Namun, usulan itu mengundang kritik. Sebab, pelonggaran syarat kepemilikan properti oleh asing berpotensi mendongkrak harga properti kian tinggi. Saat ini saja daya beli masyarakat untuk memiliki properti sangat kecil. Apalagi jika pintu kepemilikan asing dibuka lebar.
Menanggapi permintaan itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil mengatakan, permintaan pengusaha sudah diakomodasi dalam RUU Cipta Kerja. Dalam RUU sapu jagat itu, WNA dapat memiliki apartemen dan rumah susun di atas tanah berstatus HGB, bukan hanya hak pakai.
Lebih lanjut, Sofyan menjanjikan, RUU Cipta Kerja sudah selesai Agustus 2020. ”Perspektif kita (pengusaha dan pemerintah) sudah sama. Presiden sudah minta agar dipercepat, itu deadline-nya, Jadi seharusnya soal asing ini sudah bisa selesai sebelum akhir Agustus,” katanya.