Pemberdayaan perempuan bisa membuat perekonomian lebih inklusif, bahkan menciptakan sumber daya manusia yang berdaya saing.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
Pemberdayaan perempuan berperan penting, bahkan memiliki peran kunci, dalam pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Dengan mengikutsertakan perempuan, pemulihan ekonomi akan bersifat inklusif dan berkelanjutan. Perdagangan internasional merupakan salah satu wadah untuk meningkatkan peran perempuan.
Keterkaitan pemberdayaan perempuan dan perdagangan global dibahas dalam ”Women and Trade: The Role of Trade in Promoting Gender Equality”. Publikasi hasil kerja sama Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan Bank Dunia ini diluncurkan Kamis (30/7/2020).
Riset yang hasilnya dipublikasikan ini dilakukan sebelum pandemi Covid-19. Namun, Direktur Pelaksana Bank Dunia Mari Elka Pangestu menilai, hasil penelitiannya tetap relevan.
”Pemahaman terhadap dampak perdagangan terhadap perempuan berperan penting bagi perkembangan negara dan pemulihan ekonomi dunia dari pandemi Covid-19,” ujar Mari.
Ia berharap, publikasi ini dapat menjadi pegangan bagi perumus kebijakan untuk mengidentifikasi peluang potensial dalam perdagangan yang dapat memberi peran bagi perempuan. Dengan cara itu, sistem perdagangan menjadi lebih inklusif.
Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani, pemberdayaan perempuan secara optimal akan meningkatkan inovasi dalam perdagangan internasional.
”Hubungan pemberdayaan perempuan dan perdagangan dunia bersifat simbiosis mutualisme. Pemberdayaan perempuan berperan strategis menciptakan ekonomi dan inklusif serta pengembangan sumber daya manusia yang berdaya saing," katanya, Jumat.
Menurut Direktur Jenderal WTO Roberto Azevedo, publikasi ini diluncurkan pada saat yang tepat, yakni di tengah pandemi Covid-19 yang memukul perekonomian dunia. Perempuan mesti memperoleh manfaat dari perdagangan agar perekonomian global dapat pulih secara kuat, inklusif, dan berkelanjutan.
Data yang dipaparkan menunjukkan, jumlah tenaga kerja perempuan dalam perusahaan berorientasi ekspor dan impor lebih banyak dibandingkan dengan yang hanya melayani perdagangan dalam negeri. Di perusahaan yang berorientasi ekspor, pekerja perempuan sekitar 33 persen dari total pekerja. Adapun di perusahaan non-eksportir sekitar 24 persen.
Selain itu, sektor-sektor usaha yang berpartisipasi dalam rantai pasok global melibatkan 37 persen tenaga kerja perempuan. Angka ini lebih tinggi daripada sektor usaha yang tak memiliki peran dalam rantai pasok global, yakni 25 persen.
Sayangnya, pandemi Covid-19 menekan tenaga kerja perempuan di sektor-sektor usaha dalam rantai pasok global. Misalnya, sebanyak 60-80 persen tenaga kerja perempuan bekerja dalam rantai pasok global pakaian jadi. Akibat pandemi, produksi pabrik terhenti karena pemesanan dibatalkan dan ritel penjualan mode ditutup. Kondisi ini mendongkrak jumlah penganggur.
Selain pandemi, pemberdayaan perempuan menghadapi sejumlah tantangan di bidang perdagangan. Tantangan itu, antara lain, hambatan tarif dan nontarif serta diskriminasi.
Industri
Publikasi itu juga menyebutkan, perempuan lebih banyak bekerja di sektor-sektor industri yang kena beban tarif masukan lebih berat. Sektor industri itu, antara lain, makanan-minuman, tekstil, dan kulit.
Padahal, penghapusan tarif impor dapat berdampak pada peningkatan pendapatan perempuan yang bertindak sebagai kepala rumah tangga dibandingkan dengan laki-laki.
Dari 54 negara, penghapusan tarif impor membuat penghasilan perempuan lebih tinggi hingga 2,5 persen dibandingkan dengan laki-laki.
Di Burkina Faso, penghasilan perempuan bisa lebih tinggi 2,5 persen dari laki-laki sehingga berdampak pada kesetaraan pendidikan dan kesehatan. Namun, di Indonesia, justru sebaliknya karena parameter perbedaan itu berkisar nol persen hingga negatif 0,5 persen.
Pengurangan tarif impor di Indonesia berkorelasi dengan kenaikan partisipasi perempuan dalam ketenagakerjaan. Perdagangan bebas berdampak pada ekspansi sektor usaha yang mempekerjakan perempuan dalam jumlah lebih banyak.
Parameter perbedaan itu berkisar nol persen hingga negatif 0,5 persen.
WTO dan Bank Dunia menyarankan pemangku kebijakan mengurangi hambatan tarif dan nontarif dalam ekosistem perdagangan internasional.
Adapun Shinta menekankan, pemberdayaan perempuan di Indonesia melalui usaha mikro, kecil, dan menengah agar terlibat dalam rantai pasok global.