Kunci pemulihan ekonomi saat ini adalah kepercayaan masyarakat. Semakin penyebaran virus dapat dikendalikan, masyarakat kian merasa aman beraktivitas.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
Konsep ”gas dan rem” dalam penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi dalam praktiknya belum diterapkan. Pembukaan aktivitas ekonomi terbukti dibarengi penambahan jumlah kasus dan penularan Covid-19 yang kian luas. Seberapa krusial aspek kesehatan dalam pemulihan ekonomi?
Munculnya kluster Covid-19 di perkantoran pada awal pekan ini memberi peringatan, pemulihan ekonomi sulit dilakukan sebelum wabah dikendalikan. Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 pada 26 Juli 2020 menunjukkan sudah ada 459 kasus positif Covid-19 dari 90 kluster perkantoran di Jakarta.
Angka kasus di perkantoran bertambah hampir 10 kali lipat dari sebelum masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi. Sebelum PSBB transisi, hanya ada 43 kasus. Kluster perkantoran juga beragam, ada dari kementerian, badan/lembaga, kantor di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Polri, BUMN, sampai swasta (Kompas, 30/7/2020).
Di sisi lain, belum ada tanda-tanda penurunan kasus Covid-19 di Indonesia. Bahkan, penambahan dan penularan kasus meluas ketika tatanan normal baru diberlakukan. Pada Rabu (29/7/2020), kasus Covid-19 bertambah 2.381 kasus sehingga total 104.432 kasus. Korban meninggal bertambah 63 orang menjadi total 4.975 orang.
Kasus Covid-19 yang terus naik menempatkan Indonesia di peringkat ke-24 dunia. Total kasus di Indonesia saat ini melebihi China 84.165 kasus dan Korea Selatan 14.269 kasus. Negara dengan kasus terbanyak ialah Amerika Serikat, yaitu 4,5 juta kasus, diikuti Brasil 2,5 juta kasus dan India 1,5 juta kasus per 29 Juli.
”Munculnya kluster baru perkantoran karena kedisiplinan menerapkan protokol kesehatan belum dipatuhi dengan baik,” ujar Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito dalam Diskusi Satu Meja The Forum bertajuk ”Sinyal Merah Korona” di Kompas TV, Rabu (29/7/2020) malam.
Pembicara lain yang hadir dalam diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu adalah anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Bustanul Arifin, anggota Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional Fatma Lestari, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance Faisal Basri, dan Ketua Satgas Pengendalian Covid-19 Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Budi Haryanto.
Presiden Joko Widodo, akhir Juni, menyebut penanganan krisis kesehatan dan krisis ekonomi yang kini melanda Indonesia ibarat mengendalikan kendaraan. Pemerintah harus memakai rem dan gas secara seimbang. Tak bisa konsentrasi penuh menangani salah satu aspek dan melupakan yang lain.
Menurut Wiku, kendali rem dan gas ada di pemerintah daerah dan satgas daerah. Tak bisa semua instruksi dikendalikan pemerintah pusat karena yang benar-benar mengetahui kondisi lapangan adalah pemda dan satgas daerah. Mereka bertanggung jawab penuh atas wilayahnya, termasuk dalam pemberlakuan pembatasan sosial.
”Ekonomi harus paralel dengan kesehatan. Saat jumlah kasus menurun, aktivitas ekonomi bisa berjalan dengan pemantauan ketat,” kata Wiku.
Sebagai contoh, ujar Wiku, kondisi di DKI Jakarta perlu mendapat perhatian. Data per 19 Juli 2020, ada dua wilayah, Jakarta Pusat dan Jakarta Barat, dengan risiko tinggi. Pada 26 Juli sudah lima kota di Jakarta berisiko tinggi. Satu daerah tak terdampak per 21 Juli, yaitu Kepulauan Seribu, tetapi sekarang risiko sedang.
Menurut Wiku, satgas daerah seharusnya mengevaluasi apa yang terjadi di DKI. Penambahan daerah merah menjadi alarm besar. Konsep ”gas-rem” mestinya diterapkan dengan pemantauan dan evaluasi jelas. Pemprov DKI tak perlu memberlakukan lagi PSBB asalkan protokol kesehatan diterapkan dengan ketat.
Menurut Tim Covid-19 Analytics dari MIT Operations Research Center, kasus Covid-19 di Indonesia bisa mencapai 400.000 kasus pada September-Oktober 2020. Kasus akan bertambah gradual dengan prediksi pada Agustus 2020 sekitar 200.000 kasus. Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya akan mengalami lonjakan kasus seiring pembukaan aktivitas ekonomi.
Budi menekankan, prediksi 400.000 kasus tanpa asumsi adanya gelombang kedua pandemi. Pemerintah harus segera menempuh langkah out of the box untuk menahan penyebaran virus. Salah satunya dengan mempercepat pemeriksaan tes cepat atau PCR dari lima-enam hari menjadi dua hari. Selain itu, pola sosialisasi masyarakat mesti diubah.
”Sosialisasi bukan hanya dengan denda. Masyarakat harus disadarkan, mereka bisa membahayakan orang lain, bahkan menjadi penyebab kematian,” kata Budi.
Banyak pihak menilai pemerintah mengesampingkan aspek kesehatan dalam pembukaan aktivitas ekonomi.
”Orientasi masih penyelamatan ekonomi. Kesehatan seolah jadi subordinasi ekonomi, apalagi Gugus Tugas Penanganan Covid-19 kini melapor ke Erick Thohir selaku Menteri BUMN dan tim penasihat didominasi menteri ekonomi,” kata Faisal Basri.
Hampir semua lembaga internasional memperingatkan, penyelamatan ekonomi tak mungkin mengesampingkan kesehatan. Kunci pemulihan ekonomi saat ini adalah kepercayaan masyarakat. Semakin penyebaran virus dapat dikendalikan, masyarakat kian merasa aman beraktivitas.
Jika kesehatan diabaikan, ongkos pemulihan ekonomi justru lebih mahal dan lama. Siapkah menghadapi hal itu?