Pandemi, Dualisme Prioritas, dan Mimpi Mengatasi Resesi
Berbagai penelitian menunjukkan, solusi utama yang harus ditempuh untuk menangani krisis ekonomi yang muncul karena pandemi adalah menekan angka penularan virus baru memulihkan kondisi ekonomi.
Kontraksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,32 persen pada triwulan II tahun 2020 cukup mengejutkan pemerintah. Presiden Joko Widodo memberi arahan tegas untuk mencegah resesi. Namun, langkah yang dinilai keliru oleh sejumlah pihak telanjur diambil, sementara triwulan III-2020 yang diharapkan jadi momentum bangkit tersisa dua bulan lagi.
Ke depan, penanganan pandemi menjadi kunci, yakni dengan memastikan masyarakat terhindar dari Covid-19, sebelum melangkah membenahi ekonomi. Harapannya, Indonesia tidak sekadar bermimpi bisa mengatasi resesi.
”Sudah jelas, arahan dari Bapak Presiden, kami diminta mencegah resesi. Triwulan III ini sebisa mungkin tidak ada pertumbuhan negatif,” kata Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiharso saat menggelar konferensi pers menyikapi pengumuman terkontraksinya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2020, Rabu (5/8/2020) siang.
Siang itu, pasca-pengumuman data produk domestik bruto (PDB) triwulan II-2020 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Presiden Joko Widodo langsung memanggil jajaran kabinetnya untuk menyikapi ancaman resesi yang ada di depan mata.
Pertumbuhan ekonomi yang negatif pada triwulan II-2020 ini sebenarnya sudah diperkirakan akan terjadi. Namun, skala kontraksinya ternyata cukup mengejutkan pemerintah.
Indonesia mengalami kontraksi ekonomi sebesar 5,32 persen pada triwulan II tahun ini. Itu merupakan catatan terburuk sepanjang era reformasi sejak 1998. Saat itu, setelah tergulingnya Presiden Soeharto dari kekuasaan 32 tahun, Indonesia yang terdampak krisis keuangan Asia mengalami resesi ekonomi pada 1997-1998.
Susiwijono mengakui, kondisi pada triwulan II berada di luar ekspektasi pemerintah. Sebelumnya, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi hanya minus dengan rentang 4 persen hingga 5 persen. ”Jujur, kontraksi 5,32 persen ini (berbeda) dari proyeksi kami terakhir. Kami proyeksikan paling tinggi 5 persen,” ujar Susiwijono.
Di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang tidak terprediksi, imbas kontraksi ekonomi pada triwulan ini diprediksi akan terbawa hingga triwulan III dan IV. Namun, di tengah ketidakpastian global saat ini, pemerintah tidak berani melakukan proyeksi pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: Cegah Resesi, Daya Beli Dibangkitkan
Sekretaris Eksekutif I Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Raden Pardede mengatakan, lembaga keuangan internasional sekelas Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) bahkan harus terus merevisi proyeksi mereka seiring dengan perkembangan penyebaran virus yang dinamis.
”Dengan rendah hati, saya katakan, akan sulit sekali membuat proyeksi untuk triwulan ke depan. Tidak ada yang bisa menjamin apakah kita akan positif atau negatif. Ini berbeda dengan krisis keuangan sebelumnya. Faktor ketidakpastian ini sangat bergantung pada apakah vaksin bisa ditemukan dengan cepat atau tidak,” katanya.
Indonesia belum secara resmi masuk dalam resesi karena baru mengalami pertumbuhan negatif untuk satu triwulan. Pada triwulan I-2020, ekonomi masih tumbuh positif meski menurun cukup drastis sebesar 2,97 persen. Pertaruhan ada pada triwulan III-2020 yang tersisa hanya dua bulan lagi.
Terlambat mencegah
Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance Tauhid Ahmad mengatakan, saat ini sudah terlambat untuk mencegah resesi. Menurut dia, proses resesi itu sudah berlangsung dengan sendirinya selama beberapa bulan terakhir ini.
Pertandanya antara lain pemutusan hubungan kerja yang terjadi di mana-mana dan sulitnya mencari pekerjaan. Daya beli masyarakat juga menurun drastis sehingga roda perekonomian yang selama ini didorong konsumsi masyarakat itu terhambat.
Konsumsi makanan dan minuman sebagai kebutuhan mendasar masyarakat pun ikut turun. Sebelumnya, pada triwulan I-2020, konsumsi makanan dan minuman masih tumbuh 5,01 persen. Pada triwulan II-2020, konsumsi makanan dan minuman berkurang hingga minus 0,71 persen.
”Artinya, ada indikasi, masyarakat sudah mulai mengencangkan ikat pinggang, bahkan untuk kebutuhan hidup paling dasar mereka, yaitu porsi makan. Ada ancaman pemenuhan kebutuhan hidup dasar,” ujar Tauhid.
Menurut Tauhid, Indonesia sebaiknya bersiap untuk skenario terburuk, yakni resesi. Apalagi, triwulan III hanya tersisa dua bulan lagi. ”Kita sudah harus siap dengan skenario resesi, bukan lagi bicara pemulihan ekonomi, karena itu dua skenario yang berbeda lagi kebijakannya. Selama pandemi belum selesai, kita harus menerima pertumbuhan masih akan negatif bahkan pada triwulan IV,” ujarnya.
Selama pandemi belum selesai, kita harus menerima pertumbuhan masih akan negatif bahkan pada triwulan IV-2020.
Setali tiga uang, ekonom senior Indef, Didik J Rachbini, menegaskan, selama pandemi Covid-19 belum diatasi, Indonesia tidak bisa lolos dari ancaman resesi berkepanjangan.
Indonesia telah keliru melangkah ketika cenderung lebih memprioritaskan penanganan ekonomi dibandingkan kesehatan pada fase awal pandemi. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dilonggarkan dengan harapan bisa mengungkit perekonomian. Namun, ternyata PSBB tidak banyak mendongkrak iklim ekonomi.
Seiring dengan itu, kekacauan komunikasi dan informasi terjadi sehingga publik salah menangkap situasi ”normal baru” sebagai ”kembali normal”. Sebagai akibatnya, pembatasan sosial melonggar, Covid-19 tidak lagi dianggap serius, dan jumlah kasus penularan Covid-19 melejit hingga melampaui 100.000.
Di tengah kekacauan komunikasi dan informasi itu, Presiden ikut mengeluhkan minimnya nuansa krisis (sense of crisis) dari para pembantunya di kabinet. ”Kesalahan kebijakan kita sudah fatal. Kita ibarat masih sakit, sudah disuruh berlari. Jika Covid-19 tidak bisa diatasi, jangan bermimpi bisa mengatasi resesi. Tidak ada pertumbuhan ekonomi tanpa mengatasi pandemi,” kata Didik.
Ia pun membandingkan Indonesia dengan negara-negara lain yang berhasil mengendalikan penyebaran virusnya, seperti China dan Vietnam. Ekonomi kedua negara itu masih tumbuh positif. Pada triwulan II-2020, saat sejumlah negara mengalami kontraksi, Vietnam mencatat pertumbuhan 0,4 persen dan China 3,2 persen.
”Terbukti, negara-negara yang berhasil mengendalikan pandemi, seperti di China dan Vietnam, kondisi ekonominya lebih baik,” ujarnya.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan, dalam krisis ekonomi yang muncul karena pandemi, solusi utama yang harus ditempuh adalah menekan angka penularan virus, baru memulihkan kondisi ekonomi.
Penelitian yang dilakukan oleh Emil Verner, asisten profesor di Massachusetts Institute of Technology (MIT), bersama dua ekonom dari bank sentral AS (The Fed), Sergio Correia dan Stephen Luck, menunjukkan, respons yang kuat dan tanggap terhadap penanganan virus akan mempercepat pemulihan ekonomi.
Studi bertajuk ”Pandemics Depress the Economy, Public Health Interventions Do Not: Evidence from the 1918 Flu” yang dirilis pada 31 Maret 2020 itu mengambil pengalaman pandemi flu yang menyerang Amerika Serikat pada 1918-1919. Penelitian itu menunjukkan, konsistensi penerapan pembatasan fisik dan interaksi sosial masyarakat menjadi kunci pemulihan ekonomi.
Kota yang lebih cepat menerapkan pembatasan sosial saat pandemi mengalami peningkatan produktivitas di sektor manufaktur 5 persen lebih tinggi dibandingkan kota lain begitu pandemi berlalu pada 1923. Demikian juga kota yang tidak terburu-buru melonggarkan pembatasan sosial mengalami peningkatan 6,5 persen pada produktivitas sektor manufakturnya.
Lepas dari pertumbuhan ekonominya yang masih tercatat positif, Vietnam menjadi contoh kasus keberhasilan penanganan Covid-19 sekaligus gambaran nyata bahwa selama pandemi belum berakhir, upaya memulihkan ekonomi tidak akan efektif.
Lepas dari pertumbuhan ekonominya yang masih tercatat positif, Vietnam menjadi contoh kasus keberhasilan penanganan Covid-19.
Setelah menyatakan diri bebas dari Covid-19 selama 99 hari, Vietnam kembali menghadapi gelombang ketiga pandemi setelah sempat melonggarkan restriksi sosial dan membuka kembali kegiatan pariwisatanya. Pemerintah setempat pun kini berencana kembali menerapkan pembatasan sosial, pengetesan, dan karantina masif untuk mencegah penyebaran virus lebih lanjut.
Strategi prioritas
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah kini merumuskan strategi baru untuk melawan pandemi sekaligus mencegah perekonomian Indonesia terkontraksi lebih lanjut.
Dengan jargon ”Indonesia Sehat, Indonesia Bekerja, dan Indonesia Tumbuh”, prioritas kebijakan akan diarahkan untuk terlebih dahulu mengamankan masyarakat dari Covid-19, mereformasi layanan kesehatan, mempercepat penyerapan tenaga kerja, serta tahap terakhir berupa pemulihan dan transformasi ekonomi nasional.
Ada 13 program yang terkait dengan penanganan kesehatan (Indonesia Sehat), 12 program terkait penciptaan lapangan kerja (Indonesia Bekerja), serta 4 program terkait upaya pemulihan ekonomi (Indonesia Tumbuh).
Program Indonesia Sehat antara lain berupa akselerasi tes PCR dan tes lacak, karantina nasional secara masif, sosialisasi perubahan perilaku masyarakat, pemanfaatan satu data untuk penanganan Covid-19 dan kesehatan, kemandirian alat kesehatan dan obat dalam negeri, serta program kerja sama pembuatan dan distribusi vaksin dalam satu tahun ke depan.
Program Indonesia Bekerja antara lain terkait bantuan kredit dan subsidi bunga untuk UMKM, subsidi gaji melalui BPJamsostek, penyaluran kredit untuk usaha informal, bantuan sosial, program padat karya oleh sejumlah kementerian, dan bantuan pencarian lapangan kerja.
Sementara itu, program Indonesia Tumbuh adalah pemulihan sejumlah sektor ekonomi, termasuk pemberdayaan ekonomi maritim, pemulihan sektor perdagangan, investasi, pariwisata dan jasa, peningkatan penerimaan melalui cukai, serta transformasi penerimaan perpajakan.
Berbagai kebijakan dalam ”Indonesia Sehat, Bekerja, dan Tumbuh” itu akan dilangsungkan bertahap sejak Juli 2020-Desember 2022. Fase pertama yang dimulai pada Juli 2020-2021 diprioritaskan untuk penanganan aspek kesehatan dan keamanan Covid-19 serta bantuan sosial dan stimulus untuk menggerakkan ekonomi kerakyatan. Fase berikutnya dalam waktu 1-2 tahun ke depan ditargetkan untuk produksi dan distribusi vaksinasi serta memulihkan berbagai sektor ekonomi.
Baca juga: Sinergi Gas dan Rem
Raden Pardede mengatakan, pemerintah akan menyeimbangkan aspek kesehatan dan ekonomi dalam langkah-langkah taktis penanganan pandemi dan ekonomi ke depan.
”Kita tidak bisa memisahkan antara menjaga kesehatan dan menjaga mata pencarian untuk hidup. Kita semua tidak sama, ada orang kaya yang tidak perlu kerja, tetapi saudara-saudara kita para pedagang kaki lima, mereka tidak punya kemewahan untuk tidak bekerja. Jadi kita rem dan gas (antara kesehatan dan ekonomi),” kata Raden.