Pemerintah Matangkan Mekanisme Subsidi Gaji Pekerja
Program menyasar pegawai non-aparatur sipil negara dan badan usaha milik negara untuk mendorong daya beli. Pada triwulan II-2020, konsumsi rumah tangga, yang selama ini menopang pertumbuhan ekonomi, tumbuh minus.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha / Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah mematangkan mekanisme penyaluran bantuan langsung tunai khusus pekerja. Sasaran dari penerima stimulus ini difokuskan bagi pegawai non-aparatur sipil negara dan badan usaha milik negara untuk mendorong daya beli masyarakat sehingga putaran roda ekonomi semakin optimal.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyatakan, mekanisme seleksi terhadap pekerja penerima bantuan langsung tunai (BLT) pekerja belum mencapai tahap final. Perancangan pelaksanaan program itu, katanya, masih dibahas oleh pemerintah pusat.
”Program ini masih dalam pembahasan, baik dari sisi detail program, mekanisme seleksi data, maupun alokasi anggarannya,” kata Susiwijono, Jumat (7/8/2020).
Meski begitu, Susiwijono mengatakan, program ini sudah disepakati oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam rapat koordinasi. Menko Perekonomian juga telah meminta kementerian terkait, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian BUMN, untuk menindaklanjuti wacana pemberian bantuan sosial tersebut.
Sementara itu, melalui keterangan resminya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyatakan, pihaknya siap menjalankan program subsidi gaji bagi pekerja yang memiliki upah di bawah Rp 5 juta. Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan, jumlahnya mencapai 13,8 juta pegawai. Subsidi langsung ini ia yakini dapat membantu pekerja yang terdampak pandemi Covid-19.
”Subsidi gaji diberikan sebesar Rp 600.000 per bulan selama empat bulan dan akan diberikan per dua bulan sekali sebesar Rp 1,2 juta. Pemerintah akan membayarkan dua kali karena kami ingin memastikan daya beli dan konsumsi tetap terjaga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga dan keempat,” ujarnya.
Ida menargetkan program subsidi gaji dapat berjalan di bulan September 2020. Bantuan ini merupakan program stimulus yang digodok bersama Tim Satgas Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Keuangan, dan BPJS Ketenagakerjaan.
Kementerian Ketenagakerjaan juga akan memastikan pekerja penerima subsidi ini adalah pekerja swasta di luar PNS dan pegawai BUMN. Pekerja penerima subsidi harus pekerja yang aktif terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan dengan iuran di bawah Rp 150.000 per bulan atau setara dengan gaji di bawah Rp 5 juta per bulan.
Sebelumnya dalam diskusi virtual Tatanan Baru dan Pemulihan Ekonomi di Tengah Covid-19, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani menyambut baik wacana pemberian subsidi gaji yang tengah digodok pemerintah. Menurut dia, kebijakan ini dapat mendorong daya beli masyarakat dan mengoptimalisasi aktivitas ekonomi.
”Kami mendukung hal ini karena akan sangat membantu para pekerja dan meningkatkan daya beli. Kami yang usulkan kebijakan ini bisa berjalan dengan mengacu pada data BPJS Ketenagakerjaan karena pekerja formal telah terdata,” ujarnya.
Namun, Shinta menegaskan, pemerintah juga harus menjamin program bantuan ini tak secara otomatis mengesampingkan penyaluran bantuan bagi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) yang disasar lewat program Kartu Prakerja. Dalam catatannya, calon penerima bantuan Kartu Prakerja cenderung harus menghadapi proses yang rumit untuk memperoleh manfaat insentif.
Sementara itu, ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, berpendapat, rencana subsidi gaji belum cukup efektif memulihkan daya beli masyarakat. Ia menilai besaran subsidi yang ditanggung pemerintah yang mencapai 12 persen dari total gaji pekerja penerima manfaat sebagai jumlah yang minimal.
”Jumlah ini masih sangat kurang. Subsidi gaji seharusnya bisa mencapai 30-35 persen dari total gaji agar para pengusaha bisa mempertahankan karyawan,” ujarnya.
Bhima berharap dana program Kartu Prakerja, yang dianggap tidak tepat sasaran, dapat dialihkan untuk menambah anggaran subsidi gaji. Ia pun mengimbau agar pemerintah merelokasikan anggaran untuk stimulus yang dinilai tidak berkorelasi secara langsung dengan penyerapan tenaga kerja lantaran tidak secara spesifik menargetkan tenaga kerja tertentu.
”Di negara lain, gelontoran stimulus untuk tenaga kerjanya sangat spesifik dan tajam. Sementara di Indonesia, insentifnya terlalu generik dan perusahan tetap melakukan PHK,” ujar Bhima.