Dag-dig-dug Pandemi Saat Mobilitas Meningkat
Jumlah tes yang semakin banyak dan pertambahan kasus positif yang mencapai titik tertingginya pada 2.657 orang pada 9 Juli memicu warga menurunkan mobilitasnya.
Meski kasus positif Covid-19 belum ada tanda-tanda menurun, mobilitas warga terlihat terus meingkat. Toko kembali kedatangan pengunjung dan karyawan disilakan kembali ke kantor kendati kurva pandemi Covid-19 terus menanjak hingga hari ini.
Sayangnya, masih ada ketidakdisiplinan yang menyertai pembukaan aktivitas ekonomi dengan dalih kenormalan baru versi pemerintah dalam dua hingga tiga bulan terakhir. Kekhawatiran pun menghantui masyarakat yang patuh.
Dengan pola selang-seling setiap pekannya, Prieskha Gerard (26) kini bekerja dari rumahnya di Bekasi, Jawa Barat, dan kantornya di bilangan Jakarta Pusat. ”Sebelumnya sempat ada jemputan dari kantor. Namun, kini dihentikan karena kuotanya tak memenuhi. Belum tahu ke depannya bisa naik apa lagi (untuk berangkat kerja). Semoga bisa nebeng rekan yang rumahnya searah,” katanya saat dihubungi, Sabtu (8/8/2020).
Angkutan umum tidak menjadi opsi sebagai kendaraan membawa Prieskha dari rumah ke kantor. Ada rasa waswas yang membayanginya jika naik transportasi publik. Apalagi, dia tinggal bersama kedua orangtuanya dan adik-adiknya di bawah satu atap. Oleh sebab itu, dia berupaya keras melindungi mereka dari penularan Covid-19.
Rasa waswas itu muncul dari kelompok masyarakat yang seolah ”lupa” bahwa pandemi Covid-19 masih melanda. Ketidakdisiplinan mereka membuat pribadi yang patuh berisiko tertular di ruang publik.
Rasa waswas itu muncul dari kelompok masyarakat yang seolah ’lupa’ bahwa pandemi Covid-19 masih melanda. Ketidakdisiplinan mereka membuat pribadi yang patuh berisiko tertular di ruang publik.
Pada awal Agustus ini, misalnya, Prieskha mengunjungi toko roti di bilangan Kramat, Jakarta Pusat. Toko roti itu menyediakan tempat cuci tangan dan garis batas untuk antrean pelanggan.
Meskipun demikian, ada sejumlah aspek yang membuat Prieskha geleng-geleng kepala, sedih, bahkan terkejut. Pramusaji toko tidak mengenakan masker dan sarung tangan. Padahal, dia merangkap sebagai petugas kasir yang melayani mayoritas pembayaran tunai.
”Yang membuat saya shock, ada roti yang dipajang tanpa kemasan dan tidak ada pramusaji yang melayani untuk mengambilkannya kepada pelanggan. Tiba-tiba, ada seseorang yang mengambil roti itu dengan tangan kosong lalu mencium rotinya dan menaruh lagi di tempatnya,” tuturnya sambil menyelipkan emotikon mata terbelalak dan mulut menganga.
Kebutuhan baru
Pola kerja bergantian dari rumah dan kantor membuat Prieskha membelanjakan uangnya untuk kebutuhan-kebutuhan baru. Dia membeli penyangga pinggang agar tak pegal duduk berlama-lama bekerja dari rumah. Untuk kebutuhan kerja di kantor, Prieskha membeli alat makan pribadi hingga pelindung muka. Pembelian masker, sabun cuci tangan, dan cairan penyanitasi tangan pun menjadi prioritas.
Dari sisi simpanan, Prieskha merasa tabungannya aman hingga saat ini. ”Saya bersyukur karena kantor aman (dari segi finansial). Kalau hidup tanpa penghasilan, bisa-bisa kacau. Karena saya ikut membantu keuangan keluarga, seperti membayar kuliah dan kos-kosan adik yang tetap berjalan, pada Juli lalu saya mengulas kembali. Harapannya, Agustus ini, kebutuhan terpenuhi dan tabungan tetap berjalan,” ujarnya.
Baca juga: Pekerja Waswas dengan Kelonggaran Protokol di Perkantoran
Pengeluaran sejenis juga dialokasikan oleh Vika Anggraeni (25), pekerja yang tinggal di Jakarta. Pada April-Juni 2020, dia berbelanja produk-produk untuk memenuhi protokol kesehatan dan mendukungnya bekerja dari kosan, seperti meja laptop yang bisa dipindah, kursi lesehan, dan helm. Periode bekerja dari tempat tinggal juga membuatnya berpikir ada waktu luang untuk hobi dan kegemarannya sehingga ia membeli matras yoga dan ukulele.
Vika membeli barang-barang itu secara daring. Pengeluarannya pada April-Juni 2020 meningkat tipis 0,02 persen dibandingkan pada Januari-Maret 2020. Vika pun masih menabung, berinvestasi, dan menyiapkan dana darurat dengan nilai alokasi yang sama dengan sebelum pandemi Covid-19.
Mobilitas warga
Melihat sekeliling lingkungan rumah ataupun lalu lintas jalan raya memang sekilas mobilitas warga sudah kembali mendekati kondisi normal. Namun, pergerakan masyarakat belum tentu akan berimplikasi pada pulihnya tingkat daya beli masyarakat Indonesia.
Tanpa rasa aman yang sejati, pemulihan tingkat konsumsi rumah tangga Indonesia yang menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan segera tercapai.
Konsumsi rumah tangga menyokong 57,85 persen pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Pada triwulan II-2020, konsumsi rumah tangga tumbuh minus 5,51 persen sehingga menyeret pertumbuhan perekonomian nasional minus 5,32 persen.
Aktivitas konsumsi dan mobilitas warga jelas tertekan di masa pandemi Covid-19. Pergerakan atau mobilitas masyarakat berdasarkan data Google Community Mobility Report menunjukkan hal itu. Mobilitas warga dan kegiatan konsumsi biasanya tumbuh beriringan, tetapi data tersebut memperlihatkan pergerakan masyarakat masih di bawah garis normal.
Pergerakan masyarakat itu digambarkan dalam persentase kenaikan ataupun penurunan aktivitas yang dibandingkan dengan masa normal. Laporan ini menggunakan hasil agregasi data anonim masyarakat yang didapatkan dari penggunaan produk Google, seperti Google Maps.
Dari data tersebut, pergerakan masyarakat dari waktu ke waktu dapat dipetakan dan dibagi ke dalam enam jenis mobilitas, yaitu pusat ritel dan rekreasi; toko bahan makanan dan apotek; titik simpul transportasi; perkantoran; daerah permukiman, dan taman.
Efektivitas kebijakan, seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB), untuk mengurangi mobilitas warga pun dapat terlihat. Selama masa pandemi, terdeteksi peningkatan aktivitas masyarakat di kawasan permukiman hingga 25 persen. Di sisi lain, aktivitas di simpul transportasi umum anjlok hingga minus 68 persen.
Dari grafik itu juga terlihat, tingkat efektivitas PSBB memuncak pada awal Mei. Mobilitas masyarakat di pusat ritel turun hingga minus 53 persen, sedangkan di ruang terbuka hijau minus 58 persen.
Hal ini karena mengindikasikan, efektivitas puncak PSBB terjadi hanya sekitar dua bulan setelah kasus pertama diumumkan. Ini mungkin menandakan efektivitas implementasi PSBB kurang memadai. Sebab, setelah titik tersebut terlewati, mobilitas warga mulai meningkat.
”Kalau karantina wilayah terlalu lama, masyarakat bakal burnt out. Karena tidak bisa berdiam diri terlalu lama, jadi seharusnya karantina wilayah itu diterapkan efektif dan paling lama dua bulan,” kata dr Pandu Riono, pakar biostatistik dan epidemiologi Universitas Indonesia, saat dihubungi dari Jakarta, akhir pekan lalu.
Efektivitas puncak PSBB terjadi hanya sekitar dua bulan setelah kasus pertama diumumkan. Ini mungkin menandakan efektivitas implementasi PSBB kurang memadai. Sebab, setelah titik tersebut terlewati, mobilitas warga mulai meningkat.
Peningkatan mobilitas pun terakselerasi dengan kebijakan sejumlah pemerintah daerah yang sudah mulai menurunkan intensitas PSBB. Dalam periode ini terjadi juga peningkatan jumlah kasus positif, yaitu dari rerata 600-an kasus per hari menjadi 1.200 kasus sepanjang Juni. Namun, selain akibat pelonggaran PSBB, ini juga diakibatkan peningkatan kapasitas tes cepat dan usap.
Kekhawatiran dan kesadaran
Meski kasus positif terus bertambah, mobilitas warga juga terus meningkat. Saat ini, angka rerata mobilitas warga tinggal minus 10 persen dibandingkan dengan puncak intensitas PSBB pada Mei yang minus 36 persen.
Masyarakat cenderung tidak khawatir dan terpaksa terus bergerak demi bisa memenuhi kebutuhan harian. Pada saat Lebaran dan Idul Adha, pergerakan masyarakat justru melesat tinggi kendati jumlah kasus terus bertambah.
Sepekan sebelum Lebaran, misalnya, mobilitas masyarakat di toko bahan makanan berada pada posisi minus 36 persen. Pada akhir pekan terakhir sebelum hari pertama Lebaran, angka ini melonjak 48 persen. Padahal, periode tersebut rerata kenaikan kasus melonjak dari angka 400-an kasus per hari menjadi lebih dari 650 kasus per hari.
Baca juga: Kasus Baru di Jawa Timur Lampaui Kesembuhan
Namun, ada fenomena menarik. Jumlah tes yang semakin banyak dan pertambahan kasus positif yang mencapai titik tertingginya pada 2.657 orang pada 9 Juli memicu warga menurunkan mobilitasnya. Angka itu adalah pertambahan kasus harian yang tertinggi hingga saat ini.
Ini memberikan peringatan bahwa penyebaran Covid-19 belum terkendali. Hal ini terjadi justru terjadi di saat pengawasan dari pemerintah melonggar, terutama pada periode Idul Adha.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai, hal itu menunjukkan betapa rapuhnya rasa aman palsu yang dirasakan masyarakat. Tanpa ada rasa aman sejati yang didasarkan pada pengendalian Covid-19, masyarakat kelompok kelas menengah dan atas Indonesia yang berkontribusi 73 persen terhadap pengeluaran nasional ini tidak memiliki kepercayaan diri membelanjakan uang mereka.
Bhima meyakini, apabila tidak ada perubahan pendekatan kebijakan penanganan Covid-19, seiring berjalannya waktu mobilitas masyarakat akan tetap meningkat. Namun, tingkat konsumsi tidak akan benar-benar pulih.
”Jadi artinya, tidak ada pemulihan ekonomi sebelum penanganan Covid-19 ini dilakukan secara serius,” kata Bhima.
Tidak ada pemulihan ekonomi sebelum penanganan Covid-19 ini dilakukan secara serius.
Baca juga: Jaga Komitmen Baru Pemulihan
Untuk itu, kata Bhima, yang bisa dilakukan untuk sedikit memutar roda konsumsi adalah transaksi daring. Inilah peluang bagi para pelaku usaha untuk melakukan penetrasi ekonomi digital. Meski tidak bisa menggantikan konsumsi konvensional, ini dapat menjadi jalan keluar untuk mulai menggenjot konsumsi.
Sementara Pandu berpendapat, untuk memastikan penanganan yang tepat tersebut dan menciptakan rasa aman yang sesungguhnya, pemerintah harus memperbaiki upaya surveilans yang dilakukan selama ini. Tes harus cepat dan mencapai standar minimal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 1.000 tes per 1 juta penduduk per pekan.
Berdasarkan data Ourworldindata.org, Indonesia kini masih berada pada angka 0,04 tes per 1.000 orang setiap harinya atau setara 280 tes per 1 juta penduduk per pekan. Selain itu, proses pelacakan kontak penularan juga harus dilakukan dengan komprehensif.
”Masyarakat juga diharapkan mendisiplinkan diri dalam melakukan protokol kesehatan,” ujarnya.