Harga Cengkeh Sulut Kian Anjlok Meski Pajak Telah Dipangkas
Pemprov Sulawesi Utara mengklaim berhasil memengaruhi pemerintah pusat untuk memangkas PPN produk perkebunan, termasuk cengkeh. Namun, harga cengkeh jatuh semakin dalam menjadi Rp 55.000 per kilogram.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS – Klaim keberhasilan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara untuk menurunkan pajak pertambahan nilai (PPN) produk pertanian dan perkebunan dari 10 persen menjadi 1 persen tak dirasakan petani cengkeh. Harga cengkeh sejak awal pekan kedua Agustus 2020 justru jatuh semakin dalam menjadi hanya Rp 55.000.
Beberapa gudang cengkeh di Manado mulai dipenuhi karung-karung cengkeh kering yang dibawa para petani dari Minahasa, Tomohon, Minahasa Selatan, dan kabupaten lainnya di wilayah Minahasa Raya untuk dijual, Selasa (11/8/2020). Wilayah-wilayah tersebut, terutama yang terletak di dataran rendah, telah mulai panen sejak akhir Juni lalu.
Kendati begitu, sebagian petani mengaku kecewa dengan harga yang berlaku sekarang, yaitu Rp 55.000 per kilogram. Harga ini jatuh lebih jauh dari Rp 61.500 per kg pada awal masa panen. Petani pun telah mengeluhkan harga tersebut yang kian jauh dari kisaran Rp 70.000 per kg tahun lalu.
Vivi (49), petani cengkeh dari Minahasa, membawa 125,5 kilogram cengkeh untuk dijual di toko milik Siong Ho (72) di daerah Wanea, Manado. Setelah disaring, jumlah yang terjual menyusut menjadi 121,51 kg. Dengan harga Rp 55.000 per kg, Vivi membawa pulang Rp 6,68 juta.
Kendati begitu, ia menyatakan harga itu hampir tidak memberikan keuntungan. Menurut dia, setiap kilogram cengkeh kering berasal dari 6 liter cengkeh basah. Upah untuk buruh cengkeh saat ini Rp 4.500 untuk setiap liter cengkeh basah yang bisa dikumpulkan, setara Rp 27.000 per kg cengkeh kering.
Namun, ada biaya-biaya lain yang harus ditanggung petani cengkeh. “Kami harus rawat kebun, bikin tangga untuk persiapan panen, beli terpal untuk jemur, dan bayar buruh untuk jemur cengkeh. Saat panen, kami juga harus sediakan makan dan sediakan rokok untuk buruh, modalnya jutaan rupiah. Jadi, untung yang kami dapat tipis sekali,” kata Vivi.
Vivi telah mengetahui penurunan PPN produk pertanian dari 10 persen menjadi 1 persen saja. Peraturan ini berlaku bagi pedagang yang menjual ke pabrik rokok. Namun, sebagai petani, ia mengaku tak merasakan dampak kebijakan itu.
Kalau kami tahu lebih dulu, kami bisa hitung lebih dulu biaya yang harus dikeluarkan agar tidak sampai rugi.
Menurut Vivi, pemerintah seharusnya mampu mengendalikan harga dengan mempertahankannya di kisaran Rp 60.000 per kg atau meningkatkannya menjadi Rp 70.000 per kg. Jika tidak bisa, seharusnya pemerintah mengumumkan harga cengkeh yang berlaku di pasar.
“Kalau kami tahu lebih dulu, kami bisa hitung lebih dulu biaya yang harus dikeluarkan agar tidak sampai rugi. Patokan kami adalah harga yang berlaku tahun lalu,” kata dia.
Sementara itu, Hengky Najoan, petani cengkeh sekaligus Hukum Tua (kepala desa) Kolongan Atas II, Sonder, Minahasa, mengatakan, pasokan diperkirakan akan semakin banyak. Sebab, perkebunan cengkeh di dataran tinggi seperti Sonder juga mulai memasuki masa panen.
Ia menyayangkan harga yang semakin anjlok dibanding akhir Juni lalu. Para petani pun berusaha menahan penjualan cengkeh agar harga bisa kembali meningkat. “Tapi, ini cuma bisa dilakukan petani yang punya modal. Yang tidak, ya, terpaksa jual atau berutang,” kata dia.
Senada dengan Vivi, Hengky mengatakan pemangkasan PPN tidak berpengaruh pada harga di tingkat petani. “PPN diturunkan agar pedagang tidak perlu menekan harga di tingkat petani. Tapi, buktinya, harga makin jatuh,” kata dia.
Di lain pihak, tiga pemilik gudang cengkeh yang ditemui pada Selasa menolak memberikan keterangan. Namun, seorang karyawati di gudang cengkeh UD Pniel, Wenang, Manado, mengatakan, PPN tidak memberikan pengaruh berarti. Toko tempatnya bekerja menetapkan harga sesuai penawaran pabrik rokok.
Pekan lalu, Pemerintah Provinsi Sulut mengklaim telah berhasil memengaruhi kebijakan pemerintah pusat untuk menurunkan PPN hasil pertanian dan perkebunan. Ketangkasan dan manuver Gubernur Sulut Olly Dondokambey dalam melobi pemerintah pusat disebut menjadi kunci keberhasilan ini.
Olly meminta penangguhan pengenaan PPN hasil pertanian dan perkebunan dalam Keputusan Mahkamah Agung Nomor 70P/Hum/2013 dan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE24/PJ/2014. Sebelumnya, ia menerima kedatangan tokoh petani cengkeh, kelapa, dan hasil bumi lainnya.
“Mereka menyampaikan keluhan tentang pengenaan PPN yang dapat menyusahkan petani. PPN itu pada dasarnya tidak membantu petani. Sebaliknya, malah membuat kelesuan ekonomi kerakyatan petani di Sulut,” kata Olly dalam pernyataan tertulis.
Menurut Olly, sebagian besar hasil komoditas pertanian Sulut berasal dari masyarakat petani yang mengolah lahan sendiri. Mereka juga menggantungkan kehidupan sepenuhnya pada komoditas pertanian dan perkebunan.
Perkebunan, pertanian, kehutanan, dan perikanan adalah sektor perekonomian terbesar di Sulut. Sepanjang triwulan kedua 2020, sektor ini menyumbang produk domestik regional bruto sebesar Rp 6,84 triliun, naik dari Rp 6,72 triliun pada triwulan pertama 2020 serta Rp 6,55 triliun pada triwulan kedua 2019.
Desakan Olly pun direspons Kementerian Keuangan dengan Peraturan Menteri Keuangan No 89/PMK.010/2020. Produk kelapa, cengkeh, padi, kelapa sawit, dan berbagai jenis tanaman lainnya kini hanya dikenakan PPN 1 persen dari harga jual. Kendati begitu, Pemprov Sulut belum merespons kejatuhan harga cengkeh saat ini.