Kondisi yang kontras antara sisi ekonomi dan kesehatan menunjukkan belum tercapainya keseimbangan dalam penanganan keduanya. Tanpa keseimbangan, keduanya akan saling menegasikan.
Oleh
M Fajar Marta
·4 menit baca
Selama triwulan II-2020, perekonomian Indonesia menukik jatuh ke jurang dengan kontraksi mencapai minus 5,32 persen. Selama periode April dan Mei 2020, sebagian besar aktivitas ekonomi melemah tajam seiring dengan penerapan kebijakan pembatasan sosial di sejumlah daerah. Pada Juni 2020, ekonomi masih melemah, tetapi tak lagi setajam April dan Mei, seiring dengan dilonggarkannya pembatasan sosial.
Pelonggaran pembatasan sosial dan eksekusi berbagai insentif pemerintah mulai terasa dampaknya terhadap perekonomian memasuki triwulan III-2020. Aktivitas ekonomi pada Juli 2020 menggeliat lebih kuat daripada Juni 2020, menandakan perekonomian Indonesia mulai merangkak naik untuk meninggalkan jurang.
Sejumlah indikator menunjukkan terjadinya geliat perekonomian sepanjang Juli 2020. Survei konsumen Bank Indonesia (BI) menunjukkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Juli 2020 naik menjadi 86,2 dari 83,8 pada Juni 2020. Ini menunjukkan membaiknya ekspektasi masyarakat terhadap kondisi ekonomi saat ini dan kondisi ekonomi pada enam bulan mendatang.
Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) BI juga menunjukkan ekspektasi responden bahwa kegiatan usaha akan mulai bangkit pada triwulan III-2020.
Begitu pula dengan data kredit perbankan. Saluran kredit yang macet selama triwulan II mulai mengalir kembali pada Juli 2020. Pertumbuhan kredit per 22 Juli 2020 naik menjadi 2,27 persen secara tahunan (year on year/yoy) dibandingkan dengan Juni 2020 yang hanya tumbuh 1,49 persen.
Perbankan yang selama April-Juni 2020 terus menempatkan likuiditasnya pada surat berharga negara (SBN), pada Juli 2020 mulai mengalihkannya menjadi kredit. Kepemilikan SBN oleh perbankan turun Rp 65,3 triliun dari titik puncaknya Rp 1.042,73 triliun pada 2 Juli 2020 menjadi Rp 977,4 triliun pada 27 Juli 2020.
Penyaluran kredit yang cukup besar pada Juli 2020 kembali menggerakkan sektor riil. Dengan suntikan modal kerja, UMKM dan korporasi mulai bangkit dan berproduksi meski masih jauh di bawah kapasitas yang mereka miliki.
Meski masih di level kontraksi, purchasing manager index (PMI) manufaktur Indonesia pada Juli 2020 sudah meninggalkan titik terendahnya dengan bertengger di posisi 46,9. Pergerakan pekerja dan barang juga semakin ramai, menciptakan kembali kemacetan yang telah lama hilang.
Selain pelonggaran pembatasan sosial, bangkitnya aktivitas ekonomi pada awal triwulan III juga dipicu oleh makin derasnya aliran stimulus dari pemerintah, baik dari sisi permintaan untuk mendongkrak konsumsi dan daya beli maupun dari sisi penawaran yang mendorong produksi barang.
Hingga akhir Juli 2020, stimulus untuk penanganan kesehatan, bantuan sosial, dan pemulihan ekonomi nasional telah terealisasi Rp 151,25 triliun. Stimulus tersebut digunakan untuk penanganan kesehatan, perlindungan sosial, pemerintah daerah, dukungan UMKM, dan insentif usaha.
Terbukanya kembali keran kredit tidak terlepas dari langkah pemerintah menempatkan dana di perbankan untuk disalurkan sebagai kredit. Pada 24 Juni 2020, pemerintah menempatkan total dana Rp 30 triliun pada empat bank BUMN, yakni BRI, Mandiri, BNI, dan BTN. Selanjutnya, pada 27 Juli 2020, pemerintah menempatkan total dana Rp 11,5 triliun pada tujuh Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Langkah ini dilakukan karena perbankan cenderung menggunakan likuiditasnya untuk membeli SBN sehingga hampir tak ada alokasi untuk disalurkan sebagai kredit. Di sisi lain, perbankan juga masih ragu-ragu menyalurkan kredit karena risiko yang masih tinggi.
Dengan penempatan dana pemerintah ini, perbankan memiliki tambahan likuiditas untuk disalurkan sebagai kredit. Perbankan pun bisa menurunkan suku bunga kreditnya, mengingat cost of fund atau bunga yang diminta pemerintah dari dana yang ditempatkan relatif rendah. Dengan bunga kredit yang lebih rendah, perbankan menjadi lebih percaya diri menyalurkan pinjaman seiring berkurangnya risiko kredit macet debitor.
Tidak seimbang
Sayangnya, membaiknya penanganan Covid-19 dari sisi ekonomi tidak sejalan dengan sisi kesehatan. Hingga kini, angka penularan Covid-19 terus meningkat.
Per 14 Agustus 2020, total jumlah terinfeksi Covid-19 di Indonesia mencapai 135.123 kasus dengan total kematian 6.021 kasus.
Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menunjukkan, kluster perkantoran menjadi salah satu yang memiliki risiko penularan yang cukup tinggi. Setidaknya di wilayah DKI Jakarta, hingga 8 Agustus 2020, tercatat ada 90 kluster penularan baru dengan 459 kasus. Selain itu, kluster lain berada di komunitas, yakni di permukiman 283 kluster dengan 1.178 kasus dan di pasar rakyat 107 kluster dengan 555 kasus.
Industri yang masih lesu tak perlu buru-buru dibangkitkan.
Kondisi yang kontras antara sisi ekonomi dan kesehatan tersebut menunjukkan belum tercapainya keseimbangan dalam penanganan keduanya. Tanpa keseimbangan, keduanya akan saling menegasikan.
Untuk mencapai keseimbangan, maka penanganan Covid-19 harus ditingkatkan agar laju penularan Covid-19 bisa ditekan. Pemerintah harus bekerja lebih keras meningkatkan pengujian sampel, tracing, kapasitas rumah sakit, dan pengawasan penerapan protokol kesehatan, sementara masyarakat harus meningkatkan disiplin menggunakan masker, jaga jarak, dan cuci tangan.
Di sisi lain, pelonggaran pembatasan sosial jangan terus ditambah. Industri yang masih lesu tak perlu buru-buru dibangkitkan. Pemerintah cukup memberikan bantuan sosial kepada pelaku usaha dan pekerja yang terdampak. Intinya, untuk sementara pedal gas pemacu laju perekonomian jangan terus diinjak dalam-dalam sampai penanganan sisi kesehatan membaik.