Budidaya Belum Ekonomis, Kedelai Impor Tetap Dominan
Faktor keekonomian menjadi kendala utama pengembangan kedelai lokal. Akibat tidak menguntungkan, petani memilih komoditas lain, kedelai impor pun selalu dominan.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama bertahun-tahun, kedelai impor mendominasi pemenuhan kebutuhan di dalam negeri, khususnya untuk produksi tempe dan tahu. Selama sepuluh tahun terakhir, volume kedelai impor mencapai 2-7 kali lipat produksi kedelai lokal, sebagian besar berasal dari Amerika Serikat.
Selain problem produktivitas, faktor harga jual di tingkat petani dinilai berpengaruh besar terhadap pengembangan kedelai lokal. Oleh karena dianggap tidak menguntungkan, petani memilih menanam komoditas lain. Oleh karena itu, selain memacu produktivitas, kebijakan di hilir mesti sejalan agar budidaya kedelai makin ekonomis.
Guru Besar Bidang Pangan, Gizi, dan Kesehatan IPB University sekaligus Ketua Forum Tempe Indonesia Made Astawan mengatakan, produktivitas kedelai di Indonesia berkisar setengah dari produktivitas kedelai di Amerika Serikat (AS). ”Selain itu, keuntungan per hektar di tingkat petani masih lebih kecil dibandingkan jagung ataupun padi. Akibatnya, petani memprioritaskan lahannya untuk menanam jagung dan padi,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (21/8/2020).
Made menambahkan, produktivitas kedelai di Indonesia berkisar 1,5-2 ton per hektar, sedangkan produktivitas di AS mencapai 4 ton per hektar. Produktivitas di AS lebih tinggi lantaran tanaman kedelai mendapatkan penyinaran matahari sekitar 16 jam, sedangkan Indonesia berkisar 12 jam.
Badan Pusat Statistik mencatat, impor kedelai Indonesia sepanjang semester-I 2020 mencapai 1,27 juta ton atau senilai 510,2 juta dollar AS. Sebanyak 1,14 juta ton di antaranya berasal dari AS.
Made memperkirakan rata-rata impor kedelai Indonesia mencapai 2 juta-2,5 juta ton per tahun. Dari total volume impor itu, sekitar 70 persen dialokasikan untuk produksi tempe, 25 persen untuk produksi tahu, dan sisanya untuk produk lain. Sementara itu, rata-rata kebutuhan kedelai di Indonesia mencapai 2,8 juta ton per tahun.
Indonesia mesti mengembangkan lahan dan bibit lokal yang sesuai dengan kondisi iklim untuk memacu produksi kedelai di dalam negeri.
Menurut Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi, perlu ada daerah-daerah yang didedikasikan khusus untuk produksi kedelai. ”Pengembangan kedelai, khususnya berbasis bioteknologi, perlu ditingkatkan agar produktivitasnya naik,” katanya.
Kedelai lokal
Sejumlah penelitian menyebutkan, penyebab kegagalan swasembada kedelai antara lain terkait rendahnya produktivitas, sulitnya mencari lahan yang sesuai, kompetisi dengan tanaman lain, kurangnya insentif harga bagi petani, dan kebijakan impor kedelai.
Sejumlah varietas yang dikembangkan dan dilepas pemerintah dinilai memiliki keunggulan, seperti memiliki ukuran biji, kandungan protein, dan karakter yang sesuai preferensi pasar untuk produksi tempe atau tahu. Ada pula varietas yang spesifik lingkungan, seperti toleran naungan, tahan genangan, dan toleran kering.
Sejumlah varietas yang populer ditanam petani antara lain Grobogan, Wilis, Anjasmoro, Argopuro, dan Burangrang. Dalam daftar varietas yang telah dilepas, tercatat setidaknya 85 varietas unggul kedelai lokal yang bisa dioptimalkan produksinya (Kompas, 27/2/2020).
Akan tetapi, pengembangan kedelai mesti berorientasi pada kesejahteraan petani. Ketika menanam kedelai menguntungkan, petani akan terpacu meningkatkan produksi dan produktivitas lahannya.
Wakil Ketua Komisi IV DPR Daniel Johan berpendapat, Indonesia terpaksa mengimpor lantaran nilai keekonomian untuk membudidayakan kedelai di dalam negeri masih rendah. ”(Dominasi kedelai impor) ini memang paradoks mengingat tempe menjadi salah satu makanan tradisional Tanah Air,” ujarnya.
Dalam nota keuangan tahun anggaran 2021, pemerintah menargetkan produksi kedelai 420.000 ton pada tahun 2021. Pada tahun ini, produksi diperkirakan berkisar 320.000 ton atau lebih rendah dibandingkan dengan produksi tahun 2019 yang mencapai 420.000 ton.
Menurut Made, kacang-kacangan lokal sebenarnya dapat menjadi bahan baku tempe yang dihidangkan kepada konsumen. Akan tetapi, produksi kacang-kacangan lokal harus mampu memenuhi kebutuhan konsumen di tingkat nasional. Edukasi dan sosialisasi tempe berbahan baku kacang-kacangan lokal itu di tingkat konsumen menjadi tantangan.
Bayu menambahkan, Indonesia membutuhkan kebijakan yang fokus pada pengembangan kedelai tropis, terutama untuk memenuhi kebutuhan bahan baku produk selain tempe, seperti tahu, tauco, dan kecap. ”Tujuannya meningkatkan daya saing kedelai lokal melalui segmentasi pasar yang karakternya sesuai,” katanya.