Usaha ultramikro, seperti penjual asongan, pedagang kaki lima, dan bakul pasar, masih banyak yang luput dari bantuan. Mereka juga butuh modal.
Oleh
Sharon Patricia/Erika Kurnia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pembatasan sosial yang diikuti penutupan kantor-kantor dan sekolah serta upaya mendorong warga tetap di rumah telah membuat usaha ultramikro tak bisa menjajakan dagangannya.
Akses mereka ke perumahan-perumahan juga terbatas, sementara mereka sama sekali belum memiliki kemampuan untuk memanfaatkan penjualan secara dalam jaringan (daring). Penurunan daya beli masyarakat juga berimbas pada penjualan usaha ultramikro.
Sejumlah pelaku usaha ultramikro yang diwawancarai Kompas, akhir pekan lalu, mengatakan, penghasilan mereka saat ini anjlok dibandingkan sebelum pandemi kendati pemerintah telah melonggarkan pembatasan sosial.
Marso (58), penjual buah potong keliling, misalnya, menyebutkan, omzetnya kini rata-rata hanya Rp 300.000 per hari, lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi Covid-19 yang sekitar Rp 500.000 per hari.
”Yang mencari nafkah sekarang di keluarga hanya saya saja. Istri saya di Lamongan belum bisa kembali lagi ke sini setelah diputus kontrak sebagai kuli. Di Jakarta, saya harus menafkahi satu mertua, sepupu, dan anak yang masih balita,” tutur pria yang tinggal di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, sejak tahun 1985 tersebut.
Pendapatan harian yang tidak seberapa sangat pas-pasan untuk membiayai kebutuhan makan sehari-hari dan kontrak rumah Rp 800.000 per bulan. Selama pandemi, keluarganya pun tidak pernah mendapatkan bantuan sosial, baik berupa sembako maupun uang tunai.
Ia juga mengaku tidak pernah mendapatkan informasi mengenai bantuan pembiayaan usaha dari pemerintah. Jika dapat, ia berharap bantuan modal usaha itu bisa ia pakai untuk membuka usaha yang lebih besar, seperti menjual soto Lamongan di rumah agar tidak perlu berjalan jauh berjualan.
Nasib sama juga diutarakan Ali (40), pedagang es dung-dung di kawasan Mulyaharja, Kota Bogor, Jawa Barat. Sudah tiga tahun, warga asli Kota Cirebon ini berjualan es dung-dung yang dijual seharga Rp 3.000 per gelas. Omzet hariannya turun dari normalnya Rp 200.000 menjadi sekitar Rp 100.000, bahkan tak jarang di bawah itu.
Ali mengatakan tidak mendapat bantuan apa pun dari pemerintah. ”KTP (kartu tanda penduduk) saya, kan, dari Cirebon. Mungkin karena itu jadi saya enggak dapat bantuan apa-apa. Bantuan pemerintah juga lewat bank, sementara saya enggak punya rekening bank,” katanya. Kalau memiliki modal usaha lebih, Ali berencana untuk membeli gerobak sendiri agar tidak lagi mengeluarkan biaya sewa gerobak sekitar Rp 15.000 per hari.
Sekretaris Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Rully Indrawan, akhir pekan lalu, menyampaikan, meski secara eksplisit tidak dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, usaha ultramikro dalam praktiknya memang ada.
”Sejauh ini, ultramikro masih termasuk dalam usaha mikro. Secara modal, usaha ultramikro hanya sekitar Rp 1 juta sampai Rp 2 juta dan hasil yang didapat biasanya hanya untuk makan sehari-hari keluarga,” katanya. Kebanyakan usaha ultramikro belum memiliki rekening bank.
Luput
Pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan anggaran yang besar untuk membantu masyarakat selama pandemi Covid-19. Total biaya penanganan Covid-19 mencapai Rp 695,2 triliun, yang terdiri dari anggaran program kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun dan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebesar Rp 607,65 triliun. Dalam program PEN, anggaran terbesar ditujukan untuk perlindungan sosial sebesar Rp 203,9 triliun dan dukungan UMKM sebanyak Rp 123,46 triliun.
Karena merupakan kelompok berpenghasilan rendah dan miskin, sebagian pelaku usaha ultramikro telah terpapar bantuan sosial, seperti Program Keluarga Harapan, kartu sembako, bantuan sosial tunai, bantuan langsung dana desa, dan bantuan beras. Namun, fakta di lapangan, masih banyak yang luput dari bantuan.
Sementara program Kartu Prakerja juga belum efektif menjaring usaha ultramikro dan pekerja informal lainnya. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah pekan lalu menyampaikan, pemerintah akan mencari solusi terbaik untuk pekerja informal, khususnya mereka yang tidak terdaftar dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Mereka, misalnya, bisa diprioritaskan dalam program Kartu Prakerja yang telah masuk gelombang V.
Usaha ultramikro juga banyak yang luput dari program dukungan UMKM, seperti subsidi bunga kredit, penjaminan kredit modal kerja, dan insentif pajak. Sebab, usaha ultramikro umumnya bukan nasabah bank dan bukan wajib pajak.
Modal kerja
Untuk menyasar usaha ultramikro, pemerintah kemudian menganggarkan hibah berupa dana tunai senilai Rp 2,4 juta per pelaku usaha. Program yang dinamakan Banpres (Bantuan Presiden) Produktif itu akan disalurkan langsung ke rekening penerima untuk tambahan modal kerja. Dalam tahap awal, dana yang dianggarkan sebesar Rp 22 triliun untuk 9,1 juta usaha mikro dan ultramikro. Namun, pendataan usaha ultramikro menjadi tantangan dalam implementasinya.
”Kami minta dinas di setiap kabupaten/kota yang membidangi koperasi dan UMKM menggerakkan RT/RW supaya warga setempat yang memang layak menerima bantuan itu segera membuka rekening. Pendataan ini masih berlangsung dan sudah ada 1 juta (pelaku usaha ultramikro) yang dananya sudah ada di rekening masing-masing,” kata Rully.
Secara terpisah, Ketua Satgas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional Budi Gunadi Sadikin mengatakan, target Banpres Produktif adalah pelaku usaha yang belum mendapatkan pembiayaan perbankan. ”Skema Banpres Produktif yang ditempuh ini mendukung transformasi UMKM Indonesia agar terdata, terhubung ke perbankan dan lembaga pembiayaan, hingga bisa masuk ke dalam ekosistem perbankan. Dengan begitu, UMKM sebagai kekuatan ekonomi nasional kita akan semakin kokoh,” tutur Budi.