Keluarga pelaku usaha ultramikro hidup dalam keterbatasan di tengah pandemi Covid-19. Mereka berharap ada bantuan berupa modal kerja dari pemerintah untuk menyangga ekonomi keluarga.
Oleh
INSAN ALFAJRI/ERIKA KURNIA/SHARON PATRICIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keluarga pelaku usaha ultramikro hidup dalam keterbatasan di tengah pandemi Covid-19. Mereka berharap ada bantuan berupa modal dari pemerintah untuk menyangga ekonomi keluarga.
Sini (49), pedagang minuman di Jalan Administrasi II, Petamburan, Jakarta Pusat, mengeluhkan minimnya pendapatan di tengah pandemi Covid-19. Suaminya bekerja sebagai sopir bajaj. Sebelum pandemi Covid-19, suaminya masih bisa membawa uang Rp 70.000.
”Sekarang, bawa Rp 25.000 saja sudah syukur. Makanya, saya berdagang. Tidak enak membiarkan bapak (suami) mencari nafkah sendirian,” katanya ketika ditemui pada pekan lalu.
Sini menjual kopi saset dan jajanan buat anak-anak. Jika sedang ramai, omzet bisa mencapai Rp 150.000. Namun, jika sedang sepi, uang yang didapat hanya cukup untuk membayar cicilan kepada ”bank sobek” atau bank keliling.
Dia berutang kepada bank sobek sebesar Rp 500.000 untuk modal dagangan. Setiap hari, ia mengangsur sebesar Rp 20.000 selama satu bulan. Pinjaman ini tidak diketahui oleh suaminya. ”Kalau bapak tahu, dia pasti marah karena khawatir saya tak bisa bayar,” ujar warga asal Cirebon, Jawa Barat, ini.
Sini memiliki lima anak. Si bungsu masih sekolah di Cirebon. Setiap bulan, ia mengirim Rp 300.000 untuk jajan si bungsu. ”Pernah dia bilang uang jajan tidak cukup, tetapi saya katakan kalau ekonomi lagi susah di Jakarta. Untung dia mengerti,” ujarnya.
Sini dan keluarga mendapat bantuan sembako dari pemerintah sebulan sekali. Dengan bantuan beras, minyak, dan ikan kaleng, keluarganya sedikit terbantu.
”Kalau dapat sarden kaleng kecil, ikannya amis banget. Harus dikasih perasan jeruk dulu biar amisnya hilang. Tapi, ya, alhamdulillah. Namanya bantuan,” katanya lagi.
Sini berharap pemerintah tak hanya memberi bantuan sembako. Ia capai berutang terus ke bank sobek. Ia ingin diberi modal untuk menambah dagangan di warungnya. Dia takut meminjam ke bank lantaran tidak pernah berurusan dengan perbankan.
Di Kelurahan Manggarai, Jakarta Selatan, Ipah (55) menjadi tulang punggung keluarga. Ia menjual gado-gado. Suaminya terkena stroke tiga bulan lalu. Dia punya dua anak. Anak pertama sudah menikah. Anak bungsunya yang berusia 29 tahun belum mendapat kerja.
Jika dagangan habis, dia mendapat omzet Rp 200.000. Kalau banyak yang bersisa, omzetnya hanya Rp 80.000.
Sementara itu, dia beberapa kali mengurus Kartu Lansia untuk suaminya yang berusia 63 tahun. Namun, suaminya tak kunjung terdaftar. Di DKI Jakarta, setiap pemegang kartu lansia mendapat Rp 600.000 per bulan.
Di sisi lain, Ipah juga mengharapkan adanya bantuan modal kepada UMKM yang mudah diakses dan minim risiko. Dia pernah menjadi anggota kelompok simpan pinjam Permodalan Nasional Madani (PNM) Mekaar. Pinjaman ini khusus untuk perempuan pelaku usaha ultramikro.
”Tetapi, karena sistemnya tanggung renteng, saya yang disiplin membayar angsuran ini selalu dipotong tabungannya untuk menambal anggota lain yang angsurannya macet. Saya enggak kuat, makanya keluar,” tuturnya.
Muhammad Nuh (55), pedagang aksesori, juga belum mendapat bantuan apa pun dari pemerintah. Padahal, keuntungan bersih hasil berjualan menurun lebih dari setengah yang awalnya bisa mendapat Rp 80.000 per hari sekarang tinggal Rp 40.000 per hari.
”Hasil jualan untuk makan anak-istri dan bayar sewa rumah Rp 500.000 per bulan, yang kadang dicicil bayarnya,” ujar Nuh yang telah berjualan selama 30 tahun.
Dalam menjalankan usaha, Nuh tidak berani mengambil pinjaman, baik dari bank maupun bank keliling, meskipun sebenarnya ia membutuhkan tambahan modal usaha.
Jikalau bisa mendapat bantuan modal usaha, Nuh berencana menambah barang dagangan untuk dijual istri di rumah. ”Tapi saya enggak berani bermimpi dan emang enggak tahu juga bisa dapat modal dari mana, jalani saja yang ada,” ucapnya.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) Mirah Sumirat menyampaikan, bantuan pemerintah selama ini masih berbasis pada data pekerja yang sudah terdaftar dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Agar usaha ultramikro dan pekerja informal juga tercatat, harus dimulai dari tingkat rukun tetangga, rukun warga, hingga kelurahan yang mengetahui langsung keadaan warga setempat.
”Pemerintah harus segera memperbarui data usaha ultramikro dan pekerja informal yang kebanyakan tidak tercatat,” ujar Mirah.
Tidak hanya mengandalkan jemput bola dari pemerintah, Mirah mendorong warga sekitar turut berperan dalam menginfokan tetangganya yang terdampak Covid-19, tetapi belum mendapatkan bantuan apa pun. Upaya ini dapat dilakukan dengan melapor ke lembaga pemerintah atau menggunakan media sosial untuk menyebarluaskan informasi.
Sekretaris Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop dan UKM) Rully Indrawan mengatakan, dalam waktu dekat, pemerintah akan menyalurkan hibah berupa dana tunai senilai Rp 2,4 juta per pelaku usaha mikro dan ultramikro. Dana yang disebut modal kerja darurat yang dinamakan Banpres (Bantuan Presiden) Produktif itu akan disalurkan langsung ke rekening penerima untuk tambahan modal kerja.
Ketua Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun mengingatkan, pelaku usaha ultramikro yang butuh bantuan dan sesuai kriteria penerima bantuan agar melapor ke Dinas UKM setempat, baik secara daring (online) maupun luring (offline).
”Ini kesempatan untuk pendataan ulang karena ada kebijakan lanjutan yang bisa didapatkan untuk pengembangan usaha mereka,” kata Ikhsan.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, dalam jangka panjang, para pelaku usaha ultramikro perlu didampingi untuk keberlanjutan usaha. Misalnya, dengan membuat pusat pelatihan di setiap kabupaten kota untuk melatih mereka.
”Bagi yang ingin bersama-sama mengembangkan usaha, bisa dibuat kelompok kecil untuk memudahkan pelatihan. Sementara untuk yang ingin berusaha sendiri juga tetap harus disediakan fasilitas untuk mereka bertanya dan mengakses permodalan,” kata Tauhid.