Pembukaan Sektor Usaha yang Berisiko Jangan Dipaksakan
Pemerintah perlu mendukung pemulihan sektor manufaktur melalui berbagai dukungan dibarengi penerapan protokol kesehatan yang ketat. Sebaliknya, pemulihan sektor pariwisata dapat dilakukan, tetapi tidak menjadi prioritas.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah jangan memaksakan pembukaan aktivitas ekonomi yang berpotensi mendorong peningkatan kasus Covid-19 dan tidak berkontribusi signifikan terhadap produk domestik bruto. Dukungan terhadap sektor usaha perlu dipetakan lebih spesifik.
Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, berpendapat, salah satu sektor yang perlu mendapat dukungan pemerintah adalah manufaktur. Sumbangan sektor manufaktur terhadap penerimaan pajak mencapai 29 persen dan produk domestik bruto 19,9 persen. Penurunan sektor manufaktur akan berdampak signifikan bagi perekonomian RI.
Pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia terus menurun sejak sebelum pandemi. Bahkan, rata-rata pertumbuhan dalam satu dekade terakhir di bawah Vietnam, Filipina, dan Malaysia.
Kontribusinya terhadap penerimaan pajak dan produk domestik bruto (PDB), lanjut Faisal, juga semakin rendah. Meski demikian, di tengah krisis, manufaktur tetap menjadi penyumbang nomor satu bagi perekonomian.
”Jika pemerintah ingin pulihkan ekonomi, sektor manufaktur perlu diprioritaskan, tetapi dilihat lagi subsektor yang mana. Prioritas ini yang tidak terlihat dalam penahapan pelonggaran ekonomi,” kata Faisal dalam seminar daring bertajuk ”Jalan Terjal Penerimaan Negara”, di Jakarta, Kamis (3/9/2020).
Jika pemerintah ingin pulihkan ekonomi, sektor manufaktur perlu diprioritaskan, tetapi dilihat lagi subsektor yang mana. Prioritas ini yang tidak terlihat dalam penahapan pelonggaran ekonomi.
Menurut Faisal, pembukan aktivitas ekonomi di sektor manufaktur jangan mengesampingkan protokol kesehatan. Pemerintah dapat membantu perusahaan padat karya untuk menyelenggarakan tes usap (PCR) Covid-19 sebelum pabrik dibuka. Selain pelaksaan tes, pemilik pabrik harus dipastikan menerapkan sistem kerja bergilir dan pembatasan sosial.
Krisis saat ini bersumber dari kesehatan bukan sektor keuangan. Oleh karena itu, pemerintah harus mengendalikan penyebaran Covid-19 terlebih dahulu untuk menjaga kesinambungan sektor riil. Strategi kebijakan kesehatan dan intervensi sosial harus berbasis data bukan keinginan pemerintah.
”Kebijakan harus berdasarkan data, bukan sistem gas-rem. Ekonomi dapat dipulihkan, tetapi nyawa manusia tidak bisa dihidupkan kembali,” kata Faisal.
Jangan memaksa
Ariyo DP Irhamna dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan, pembukaan aktivitas ekonomi yang justru berpotensi meningkatkan kasus Covid-19 jangan dipaksakan. Pemerintah dapat menggeliatkan kembali sektor pariwisata, tetapi jangan menjadikannya sebagai prioritas.
Pembukaan aktivitas ekonomi yang justru berpotensi meningkatkan kasus Covid-19 jangan dipaksakan. Pemerintah dapat menggeliatkan kembali sektor pariwisata, tetapi jangan menjadikannya sebagai prioritas.
Indonesia dapat berkaca kepada Thailand yang dianggap sebagai negara paling aman untuk pariwisata di tengah pandemi. Thailand memutuskan tidak membuka pariwisata bagi wisatawan mancanegara dalam waktu dekat. Sektor pariwisata mungkin kembali menggeliat pada triwulan II-2021 di Thailand.
Sebaliknya, lanjut Ariyo, Indonesia berambisi memprioritaskan pemulihan pariwisata pada 2021. Alokasi anggaran pemulihan ekonomi nasional untuk pembangunan dan pemulihan pariwisata mencapai Rp 14,4 triliun untuk lima destinasi, yaitu Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Likupang.
Dalam RAPBN 2021 terlihat fokus kebijakan pemerintah adalah memulihkan ekonomi bukan menangani Covid-19. Alokasi anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk kesehatan hanya Rp 25,4 triliun untuk pengadaan vaksin antivirus, sarana dan prasarana kesehatan, laboratorium, litbang, serta bantuan iuran BPJS Kesehatan.
”Pemerintah seharusnya tetap fokus menangani akar masalah Covid-19 melalui peningkatan layanan fasilitas kesehatan, tenaga medis, dan pelaksanaan tes usap,” kata Ariyo.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR menekankan, proses pemulihan ekonomi sangat bergantung pada pengendalian penyebaran Covid-19. Pemerintah memilih mengendalikan Covid-19 dan memulihkan ekonomi secara bersamaan.
Pertumbuhan ekonomi RI pada akhir tahun diproyeksikan berkisar 0,2 persen sampai negatif 1,1 persen. Berdasarkan perkembangan sejumlah indikator hingga akhir Agustus, pertumbuhan ekonomi diperkirakan masuk skenario batas bawah yang berarti tumbuh negatif.
”Kemenkeu memproyeksi pada 2020 pertumbuhan negatif 1,1 persen sampai positif 0,2 persen, (tetapi) lower end triwulan III mungkin tumbuh negatif,” kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menambahkan, kunci utama pemulihan ekonomi pada triwulan III dan IV-2020 adalah pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan investasi. Saat ini, konsumsi rumah tangga masih tertahan di kelompok kelas menengah dan atas. Mereka mempertimbangkan progres penanganan Covid-19 untuk kembali berbelanja normal.