Garam Diusulkan Jadi Barang Kebutuhan Pokok dan Penting
Pemerintah tengah menyiapkan mekanisme harga garam untuk menolong harga garam petambak yang anjlok. Langkah itu seiring rencana memasukkan komoditas garam sebagai barang kebutuhan pokok dan penting.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah tengah menyusun peraturan presiden guna memasukkan komoditas garam sebagai barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting. Langkah ini diharapkan bisa mendorong stabilisasi harga garam rakyat.
Produksi garam rakyat terpuruk tahun ini. Kementerian Kelautan dan Perikanan bahkan merevisi target produksi garam dari 2,5 juta ton menjadi 1,5 juta ton. Kendati produksi garam nasional turun, harga garam di petambak justru anjlok, antara lain akibat melimpahnya stok garam sisa tahun lalu yang tidak terserap pasar.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan, stok garam rakyat per 26 agustus 2020 mencapai 778.136 ton. Rinciannya, sebanyak 105.036 ton hasil produksi tahun ini, sedangkan 673.100 ton lainnya merupakan sisa produksi tahun lalu. Adapun 38.789 ton lainnya produksi PT Garam (Persero).
Direktur Jasa Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan Miftahul Huda, mengemukakan, pemerintah tengah menyusun regulasi penetapan komoditas garam sebagai barang kebutuhan pokok dan barang penting.
Kebijakan itu sedang dirumuskan dalam revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
Dalam perubahan Perpres tersebut, komoditas garam diusulkan masuk sebagai barang kebutuhan pokok, yakni garam beryodium, serta barang penting, yakni garam bahan baku. Dengan penetapan sebagai bahan kebutuhan pokok dan penting, pemerintah dapat segera memberlakukan harga pokok pembelian (HPP) garam.
Huda menambahkan, KKP telah mengusulkan patokan HPP garam, yakni meliputi garam kualitas I (KW 1) seharga Rp 800 per kilogram (kg), garam kualitas II (KW 2) seharga Rp 550 per kg, dan garam kualitas III (KW 3) seharga Rp 350 per kg. Usulan itu telah disetujui dalam kali rapat koordinasi dengan lintas kementerian dan lembaga. “Kami harapkan perpres dan HPP garam bisa segera difinalisasi,” katanya, Rabu (9/9/2020).
Selain pengaturan harga, pihaknya juga mendorong komitmen penyerapan garam rakyat sebanyak 1,5 juta ton oleh industri. Di lain pihak, pihaknya tengah membangun mesin pengolahan garam di tujuh lokasi, yakni di Karawang, Indramayu (Jawa Barat), Brebes, Pati (Jawa Tengah), Gresik, Sampang, dan Pamekasan (Jawa Timur).
Pembangunan mesin pengolahan ini untuk meningkatkan kualitas garam rakyat agar mencapai standar kebutuhan garam industri, yaitu kadar NaCl minimal 97 persen. Operasional mesin pengolahan ditargetkan mulai Desember 2020.
Petambak garam tahun ini menghadapi dilema produksi karena harga jual yang anjlok tidak bisa menutup biaya produksi. Harga jual panen garam saat ini masih di kisaran Rp 250-Rp 350 per kg di tingkat petambak. Sementara itu, rata-rata ongkos produksi garam di kisaran Rp 450-Rp 550 per kg.
Secara terpisah, Ketua Himpunan Masyarakat Petani Garam (HMPG) Jawa Timur Muhammad Hasan, menilai, pemerintah telah menggulirkan program peningkatan produktivitas tambak garam, antara lain lewat bantuan geomembran, normalisasi saluran, serta perbaikan sarana. Bantuan itu diperuntukkan meningkatkan kualitas dan daya saing produksi garam agar harga sesuai harapan petambak.
Meski demikian, program peningkatan mutu dan produktivitas garam nasional belum diimbangi harga garam yang layak. Saat ini, harga haram semakin anjlok. Produksi garam lokal dengan mutu diatas standar yang memenuhi kriteria kebutuhan industri masih tidak terserap oleh industri.
“Program pemerintah memberdayakan petambak untuk meningkatkan mutu dan produktivitas garam nasional tidak sebanding dengan realitas harga yang terus jatuh. Ini juga dipengaruhi oleh industri yang masih setengah hati menggunakan garam rakyat untuk kebutuhan industri,” katanya.
Program peningkatan mutu dan produktivitas garam nasional belum diimbangi harga garam yang layak.
Hasan menambahkan, pihaknya berharap solusi pemerintah dengan mendorong regulasi agar komoditas garam segera dimasukkan sebagai barang pokok dan penting menjadi landasan menentukan harga pokok pembelian (HPP) garam. Pembenahan tata niaga garam diperlukan untuk stabilisasi harga dan melindungi petambak garam.
“Selama garam tidak dimasukkan sebagai komoditas bahan pohok dan barang penting, maka penetapan HPP sulit dilakukan. Sebaliknya, harga garam akan mengacu mekanisme pasar yang dikuasai pabrikan sehingga nasib petambak garam lokal selalu terombang-ambing,” katanya.