Penerimaan pajak sudah bermasalah sejak sebelum pandemi Covid-19. Pandemi berpotensi menekan rasio pajak lebih dalam seiring merosotnya penerimaan pajak di tengah lesunya perekonomian.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rasio perpajakan cenderung turun selama 2015-2019. Reformasi dinilai perlu guna meningkatkan basis pajak dan kepatuhan pajak serta mencegah penurunan rasio yang semakin tajam di tengah pandemi Covid-19.
Data Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, dikutip Rabu (9/9/2020), rasio pajak atau perbandingan antara penerimaan pajak dan produk domestik bruto terus turun dari 10,76 persen pada tahun 2015 menjadi 9,76 persen tahun 2019. Rasio bahkan dua kali menyentuh satu digit pada 2019 dan 2017 yang 9,89 persen.
Menanggapi hal tersebut, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, mengatakan, penerimaan pajak sudah bermasalah sejak sebelum pandemi Covid-19. Masalah semakin pelik ketika Covid-19 datang yang berpotensi menurunkan rasio pajak lebih lanjut.
”Selama kepemimpinan Presiden Jokowi sudah dua kali rasio perpajakan menyentuh satu digit. Artinya, kinerja perpajakan sangat buruk,” kata Nailul.
Penurunan rasio perpajakan sejalan dengan anjloknya realisasi penerimaan pajak. Dua sektor pendulang pajak tumbuh minus pada 2019, yakni industri manufaktur tumbuh negatif 4,5 persen dan perdagangan tumbuh melambat 1,7 persen. Kontribusi kedua sektor itu mencapai 80 persen dari total penerimaan.
Menurut Nailul, evaluasi terhadap belanja perpajakan (tax expenditure) mendesak dilakukan. Jangan sampai pemberian insentif justru semakin menggerus penerimaan pajak. Pasalnya, alokasi belanja perpajakan terus meningkat, tetapi tidak berdampak ke peningkatan penerimaan. Pada 2019, estimasi belanja perpajakan Rp 257,2 triliun.
”Realisasi belanja perpajakan meningkat dari tahun ke tahun, tetapi belum bisa mendorong penerimaan secara signifikan,” ujar Nailul.
Secara terpisah, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, penerimaan perpajakan berisiko turun tajam akibat Covid-19. Potensi penerimaan pajak yang meleset dari target (shortfall) berpotensi meningkat sehingga rasio pajak akan kembali turun pada 2020.
BKF memproyeksikan rasio perpajakan pada 2020 sebesar 8,57 persen atau terendah lebih dari satu dekade terakhir. Penurunan rasio perpajakan terus berlanjut paling tidak sampai tahun 2021. Proyeksi rasio perpajakan pada 2021 sebesar 8,39 persen.
”Rasio perpajakan Indonesia salah satu yang terendah di dunia sehingga reformasi harus tetap dilakukan,” kata Febrio.
Reformasi
Indonesia sebenarnya sudah memulai reformasi perpajakan sejak 1983. Reformasi itu terbagi menjadi lima babak. Saat ini, Indonesia masuk babak terakhir, yaitu Reformasi Perpajakan Jilid III periode 2017-2024. Reformasi Perpajakan Jilid III ini digadang-gadang sebagai reformasi terbesar dalam sejarah merespons perkembangan teknologi digital dan dinamika ekonomi global.
Menurut Febrio, reformasi perpajakan tidak bisa berlangsung singkat dalam satu sampai dua tahun. Mayoritas negara di dunia membutuhkan waktu paling cepat lima tahun untuk mereformasi sistem perpajakan dengan meningkatkan basis pajak dan kepatuhan pajak. Pemerintah akan mereformasi pajak secara bertahap mulai 2021.
”Reformasi harus dimulai sekarang kendati di tengah Covid-19. Pil pahit harus ditelan sembari menemukan obat-obat manjur,” kata Febrio.
Ekonom Bank Dunia Bidang Makroekonomi, Perdagangan, dan Investasi Jaffar Al-Rikabi menuturkan, pemerintah dapat mereformasi pajak penghasilan orang pribadi. Pungutan PPh orang pribadi di Indonesia relatif rendah, yakni hanya 35 persen, sementara rata-rata negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mencapai 41,2 persen.
Selain meningkatkan PPh orang pribadi, potensi penerimaan bisa diperoleh dari pengenaan pajak lingkungan (green tax) atas konsumsi bahan bakar minyak dan plastik sekali pakai, pajak kesehatan atau (health tax) terhadap konsumsi rokok, serta pajak digital atas konsumsi produk digital dari luar negeri.
”Meningkatkan penerimaan sangat penting untuk melindungi penduduk, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menjaga stabilitas,” kata Jaffar.