Sejumlah lapangan usaha nontambang di Papua mengalami kontraksi yang serius pada triwulan II tahun 2020. Diperlukan kebijakan pemerintah untuk mengaktifkan kembali aktivitas ekonomi lapangan usaha yang terdampak.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Sejumlah lapangan usaha nontambang mengalami kontraksi minus di atas 10 persen di tengah pandemi Covid-19 di Papua. Diperlukan kebijakan pemerintah untuk menggiatkan kembali produktivitas lapangan usaha tersebut dengan protokol kesehatan yang ketat.
Kepala Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Sugianto, saat ditemui di Jayapura, Selasa (8/9/2020), mengatakan, pertumbuhan ekonomi Papua pada triwulan II tahun 2020 mencapai 4,50 persen.
Papua menjadi satu dari dua provinsi di Indonesia yang mencatatkan pertumbuhan positif pada kuartal II-2020 pada saat semua provinsi lain terpukul pandemi Covid-19. Namun, pertumbuhan ini didominasi oleh sektor tambang hingga 27,69 persen. Hal ini tidak berdampak bagi sektor lapangan usaha nontambang.
Adapun sejumlah lapangan usaha yang mengalami kontraksi sangat serius selama triwulan II tahun 2020 meliputi transportasi dan pergudangan minus 49,90 persen; penyediaan akomodasi, makan, dan minum minus 24,43 persen; serta jasa perusahaan minus 13,53 persen.
Ia berpendapat, pemerintah harus segera merealisasikan program yang bisa mendatangkan penghasilan bagi masyarakat. Hal ini, misalnya, pemberian bantuan modal usaha, pembangunan infrastruktur, pemberlakuan jam aktivitas warga yang lebih lama, dan akses transportasi udara yang diperluas.
”Upaya pemerintah untuk menghidupkan kegiatan ekonomi harus bersinergi dengan pelaksanaan protokol kesehatan. Produkvitas kerja masyarakat meningkat, tetapi tidak terpapar Covid-19,” kata Sugianto.
Ia menuturkan, tanpa ada kebijakan untuk menghidupkan kembali sektor lapangan usaha yang kontraksi, dampaknya dapat membuat konsumsi masyarakat turun dan angka kemiskinan di Papua terus meningkat.
Diketahui persentase penduduk miskin di Papua selama enam bulan terakhir mengalami peningkatan sebesar 0,09 basis poin, yaitu dari 26,55 persen pada September 2019 menjadi 26,64 persen pada Maret 2020. Total jumlah penduduk Papua berdasarkan data BPS mencapai 3,4 juta jiwa.
”Tingkat konsumsi masyarakat sangat ditentukan oleh jumlah pendapatan mereka. Pemerintah daerah harus berupaya maksimal agar tidak terjadi krisis ekonomi di Papua,” kata Sugianto.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Papua Syahrir Hasan berharap, pemerintah dapat mengeluarkan regulasi yang memahami kondisi yang dihadapi para pengusaha di bidang akomodasi dan restoran. Hal itu, misalnya, tidak membebankan pajak untuk pelaku usaha hotel dan restoran di tengah pandemi Covid-19.
”Di Jayapura, sekitar 3.000 pekerja yang sudah dirumahkan dan tingkat hunian kamar hotel turun hingga 80 persen. Kami berharap dukungan pemerintah agar sektor usaha hotel dan restoran bisa tetap bertahan di tengah pandemi Covid-19,” ujar Syahrir.
Ricardus Kristiatmoko selaku Direktur Utama Sasuka Online, yang memasarkan produk 200 usaha kecil dan menengah di Papua, mengatakan, diperlukan regulasi yang melindungi pelaku usaha mikro dan juga masyarakat sebagai konsumen. Selain itu, katanya, pemerintah harus memastikan penyediaan infrastruktur yang mendukung kegiatan ekonomi secara daring.
”Seharusnya pemerintah daerah di Papua menyiapkan program bantuan subsidi harga jual produk UMKM. Masyarakat membeli produk tersebut dengan harga yang murah, sedangkan UMKM tetap mendapatkan pemasukan dengan harga yang normal,” kata Ricardus.
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, UMKM, dan Tenaga Kerja Provinsi Papua Laduani Ladamay mengatakan, pihaknya akan menyiapkan bantuan modal usaha sebesar Rp 10 miliar untuk membantu pelaku UKM di seluruh wilayah Papua.
”Selain dari Pemerintah Provinsi Papua, pusat pun akan mengucurkan program Bantuan Presiden Produktif Anggaran sebesar Rp 2,4 juta untuk setiap UMKM. Dari pendataan sementara, terdapat 17.830 pelaku UMKM di Papua,” ujarnya.