Tingkat suku bunga acuan saat ini yang berada di level 4 persen menjadi level suku bunga acuan terendah sejak 2016.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia mengandalkan kebijakan injeksi likuiditas ketimbang kebijakan suku bunga untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional. Sikap bank sentral ini tecermin dari suku bunga acuan BI yang berada di level terendah sejak 2016.
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) pada 16-17 September 2020 memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan BI sebesar 4 persen. Suku bunga simpanan rupiah bank di BI atau deposit facility juga dipertahankan sebesar 3,25 persen. Sementara suku bunga pinjaman rupiah bank dari BI dipertahankan di level 4,75 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, suku bunga dipertahankan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yang saat ini menjadi prioritas kerja bank sentral. Keputusan mempertahankan suku bunga sejalan dengan dukungan BI agar pemulihan ekonomi Indonesia dapat berjalan baik.
”BI mempertimbangkan berbagai hal dalam menentukan level suku bunga acuan sebesar 4 persen, mulai dari inflasi hingga kondisi sistem keuangan, baik domestik maupun global,” ujarnya saat memaparkan hasil rapat Dewan Gubernur BI secara virtual, Kamis (17/9/2020).
BI mempertimbangkan berbagai hal dalam menentukan level suku bunga acuan sebesar 4 persen, mulai dari inflasi hingga kondisi sistem keuangan, baik domestik maupun global. (Perry Warjiyo)
Tingkat suku bunga menentukan seberapa mahal biaya dana yang bakal ditanggung masyarakat. Suku bunga yang semakin rendah akan membuat suku bunga pinjaman yang ditanggung masyarakat juga semakin rendah. Namun, imbal hasil dari simpanan masyarakat yang disimpan di bank juga semakin kecil.
Terkait posisi suku bunga perbankan, Perry mengatakan, suku bunga deposito dan suku bunga kredit telah turun mengikuti transmisi penurunan suku bunga sejak awal 2020. Namun, dalam kondisi pandemi, lanjutnya, ketersediaan dana lebih menentukan daripada tingkat suku bunga.
”Kredit dominan karena permintaan masyarakat, itu semua dipengaruhi kecepatan realisasi anggaran, kinerja ekspor ke depan,” kata Perry.
Untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional, BI lebih memprioritaskan kebijakan injeksi likuiditas atau pelonggaran kuantitatif ketimbang kebijakan suku bunga. Suntikan likuiditas dilakukan melalui skema yang sudah disepakati dengan pemerintah dalam membiayai anggaran akibat tekanan pandemi Covid-19, salah satunya BI bisa langsung membeli surat berharga negara (SBN) di pasar perdana jika target lelang pemerintah tidak memenuhi.
BI juga bisa membeli SBN pemerintah melalui mekanisme pasar maupun secara langsung dalam rangka membantu pembiayaan pemulihan ekonomi tersebut.
Bank sentral juga akan memperpanjang periode ketentuan insentif pelonggaran giro wajib minimum (GWM) rupiah sebesar 50 basis poin bagi bank yang menyalurkan kredit UMKM dan ekspor impor serta kredit non-UMKM sektor-sektor prioritas, dari yang semula berakhir 31 Desember 2020 menjadi 30 Juni 2021.
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, menilai alasan BI mempertahankan suku bunga untuk menjaga stabilitas nilai tukar sudah tepat. Ia memproyeksi pergerakan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek masih menunjukkan gejolak atau volatilitas.
Nilai tukar rupiah secara rata-rata meningkat pada bulan September, terindikasi dari gejolak bulanan yang meningkat menjadi 11,0 persen, dari bulan Agustus yang berkisar 10,7 persen.
”Komitmen untuk mengedepankan kebijakan injeksi likuiditas dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi juga menjadi faktor pendorong BI tidak menurunkan suku bunga acuan meski ruang penurunan suku bunga masih ada,” ujarnya.
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Andry Asmoro memprediksi, pada akhir 2020, suku bunga masih bisa turun sebesar 25 basis poin menjadi 3,75 persen. ”Kami melihat bahwa masih ada ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin pada triwulan IV-2020,” katanya.
Dari sisi eksternal, bank sentral AS, The Fed, telah mengisyaratkan mempertahankan suku bunga kebijakan 0,25 persen, setidaknya hingga tahun 2023, untuk mendorong pemulihan ekonomi AS. Sementara dari sisi internal, inflasi telah berada di bawah kisaran target BI pada tahun ini, yakni 2-4 persen.
Inflasi diperkirakan mencapai 1,95 persen pada akhir tahun. Hal ini dipengaruhi masih melemahnya permintaan akibat pandemi Covid-19.