Selain meningkatkan valuasi, merger secara bisnis dinilai berpeluang meningkatkan profitabilitas perusahaan. Namun, peleburan akan membentuk monopoli yang dikhawatirkan merugikan konsumen pengguna.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha / M Paschalia Judith
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 dinilai menjadi waktu yang tepat bagi dua perusahaan layanan transportasi berbasis teknologi di Indonesia, yakni Gojek dan Grab, untuk merger. Selain meningkatkan valuasi, merger secara bisnis berpeluang meningkatkan profitabilitas atau kemampuan perusahaan mencetak laba.
Wacana terkait penggabungan kedua perusahaan decacorn itu santer dikabarkan oleh media The Financial Times yang berbasis di Inggris. Namun, saat Kompas meminta keterangan, Rabu (16/9/2020), pihak manajemen Gojek dan Komisaris Gojek Pandu Sjahrir masih enggan menanggapinya. Juru bicara Grab Indonesia juga tidak berkomentar.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menilai, jika aksi korporasi tersebut benar-benar terwujud, langkah itu menjadi jalan bagi perusahaan untuk meraup untung.
”Jika merger dilakukan, secara likuiditas, tentunya akan lebih baik bagi kedua perusahaan. Prospek di mata investor juga akan semakin menarik karena valuasi semakin besar,” ujar Bhima.
Saat ini, valuasi Grab ditaksir menyentuh 14 miliar dollar AS (Rp 207 triliun). Adapun nilai dari valuasi Gojek diperkirakan 10 miliar dollar AS (Rp 148 triliun). Nilai valuasi yang melampaui 10 miliar dollar AS membuat label decacorn disematkan pada kedua entitas ini.
Menurut Bhima, kesamaan investor utama, yakni Mitsubsihi UFJ Financial Group, juga memperkuat peluang merger. Perusahaan asal Jepang itu menyuntikkan modal untuk Grab pada Februari alu, sementara untuk Gojek sebulan kemudian.
Upaya merger Gojek dan Grab, lanjut Bhima, akan berdampak positif bagi bisnis kedua perusahaan yang memiliki keunggulan masing-masing di pasar Tanah Air. Gojek dinilai lebih unggul dan inovatif untuk layanan-layanan lain di luar jasa transportasi. Sementara Grab lebih ekspansif dalam layanan transportasi dibandingkan Gojek jika melihat dari jumlah akun pengemudi.
”Tapi, yang perlu jadi perhatian adalah terkait persaingan usaha karena pasar Indonesia akan didominasi satu perusahaan ride-hailing yang sangat besar. Di negara lain, merger seperti ini biasanya sulit prosesnya karena kehadiran kompetitor diperlukan untuk membuat tingkat persaingan lebih sehat,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Modal Ventura Indonesia (Amvesindo) Jefri R Sirait menilai, Grab dan Gojek akan mempertimbangkan aksi korporasi dari sisi regulasi. Di satu sisi, merger dapat berdampak positif bagi konsumen dan pemegang saham kedua perusahaan.
”Jika kedua perusahaan ini nantinya dapat berbagi layanan, nilai perusahaan akan meningkat. Tapi, tentunya semua rancangan butuh momentum yang tepat untuk eksekusi,” ujarnya.
Akan tetapi, apabila Gojek dan Grab Indonesia melebur menjadi satu perusahaan, konsumen dan inovator serupa akan terkena imbasnya. Menurut dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Fithra Faisal, merger akan membentuk monopoli. Selama ini, konsumen diuntungkan karena memiliki pilihan layanan.
”Di tingkat Asia Tenggara, keduanya terhitung sebagai pemain lokal. Pemain di luar kawasan ini pun berpotensi kalah saing dengan mereka karena tidak memiliki aspek lokalitas. Hal ini menjadi tantangan bagi pemain (lokal) baru yang ingin turut berkompetisi yang mesti menghadirkan inovasi teranyar dan diminati oleh pasar,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (16/9/2020).
Di sisi lain, era ekonomi digital menuntut kolaborasi. Menurut Fithra, peleburan Grab dan Gojek akan mendongkrak skala ekonomi perusahaan sehingga lebih efisien, termasuk dalam penentuan harga. Ada potensi bahwa efisiensi pengelolaan itu dialirkan untuk memberikan harga yang kian terjangkau bagi konsumen.
Kedua sisi peleburan itu, menurut dia, akan sangat bergantung pada keputusan internal perusahaan. Dalam hal ini, konsumen memiliki suara yang dipertimbangkan sebagai rekomendasi pasar.
Terkait dengan peleburan perusahaan, komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Guntur S Saragih, mengatakan, belum ada pemberitahuan penilaian dari kedua belah pihak. Pemberitahuan penilaian mesti dilakukan dalam jangka waktu 30 hari setelah perusahaan peleburan terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dia melanjutkan, hasil dari penilaian dapat berupa menerima dan menolak peleburan. ”Menerima pun bisa tanpa syarat ataupun bersyarat. Tentunya yang menjadi concern kami ada konsentrasi pasar,” ujarnya.