Proses konsolidasi seyogyanya tak boleh mundur. Justru saat inilah momentum yang tepat mendorong konsolidasi bank, agar saat ekonomi pulih kembali, struktur perbankan nasional sudah lebih kuat dan efisien.
Oleh
M Fajar Marta
·4 menit baca
Proses konsolidasi bank yang tengah didorong Otoritas Jasa Keuangan atau OJK sepertinya bakal terganjal oleh memburuknya kondisi ekonomi dan keuangan akibat pandemi Covid-19. Bentuk konsolidasi, seperti akuisisi atau merger, akan sulit dilaksanakan di tengah anjloknya investasi dan turunnya kinerja perbankan.
Saat menerbitkan Peraturan OJK Nomor 12 Tahun 2020 tentang Konsolidasi Bank Umum tanggal 17 Maret 2020, OJK atau siapa pun sudah pasti tak akan menyangka Covid-19 akan menjadi pandemi dengan penyebaran yang begitu luas dan masif sehingga meluluhlantakkan perekonomian dunia termasuk Indonesia.
Selama menyusun dan kemudian menerbitkan beleid tersebut, tentu saja OJK memproyeksikan kondisi ekonomi dan perbankan pada 2020 serta tahun-tahun berikutnya akan baik-baik saja alias tak ada krisis sehingga konsolidasi bank bisa didorong dengan lebih intensif.
OJK mendorong konsolidasi bank karena struktur industri perbankan di Tanah Air kurang efisien, agak rapuh, dan sangat timpang. Kurang efisien karena jumlah bank umum di Indonesia terlalu banyak mencapai 110 bank. Dari jumlah itu, sebanyak 64 bank atau 58 persen masih memiliki modal inti di bawah Rp 3 triliun, yang dianggap batas minimum modal bank agar bisa bertahan dan bersaing secara sehat. Jumlah bank kecil yang terlalu banyak tentu akan membuat struktur industri perbankan menjadi rapuh.
Struktur perbankan Indonesia juga sangat timpang sebab tujuh bank terbesar menguasai 56 persen aset perbankan yang mencapai Rp 8.670 triliun per Juni 2020.
Untuk itulah, OJK memacu konsolidasi dengan mendorong peningkatan modal inti sekaligus merampingkan struktur perbankan di Indonesia.
Dalam POJK 12/2020, OJK menetapkan modal inti minimum bank sebesar Rp 3 triliun, yang pemenuhannya dilakukan dengan tahapan Rp 1 triliun paling lambat 31 Desember 2020, Rp 2 triliun pada akhir 2021, dan Rp 3 triliun pada 31 Desember 2022.
Berdasarkan data OJK per Juni 2020, ada 10 bank umum konvensional dan 4 bank umum syariah yang modalnya masih di bawah Rp 1 triliun. Berdasarkan beleid POJK 12/2020, 14 bank tersebut wajib meningkatkan modalnya minimal mencapai Rp 1 triliun paling lambat akhir tahun ini.
Untuk memenuhi kewajiban tersebut, pemilik bank bisa menginjeksi tambahan modal. Jika tak mampu, pemilik bisa menjual banknya kepada investor yang lebih mampu atau menggabungkan banknya dengan bank lain dengan cara merger.
Sulit
Namun, dalam kondisi krisis saat ini, proses konsolidasi tentu menjadi sulit. Di tengah ekonomi yang lesu, pemilik bank akan kesulitan menyediakan dana segar untuk meginjeksi modal. Apalagi, selama pandemi ini, laba bank umumnya anjlok akibat minimnya penyaluran kredit seiring lemahnya sektor riil dan daya beli masyarakat. Per Juni 2020, laba bersih perbankan nasional sebesar Rp 62,6 triliun, anjlok 20 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Kalaupun dijual, siapa yang mau membeli bank dalam kondisi saat ini. Investor yang memiliki kekuatan finansial pun akan berpikir ulang untuk melakukan ekspansi dalam kondisi yang penuh ketidakpastian. Tak ada yang bisa memastikan kapan pandemi ini akan berakhir, kapan ekonomi akan pulih kembali. Fokus semua pihak kini hanyalah bertahan dan berpikir bagaimana tetap selamat hingga pandemi berakhir.
Lagipula, tak mudah menilai sehat tidaknya sebuah bank saat ini. Stimulus dan berbagai pelonggaran yang dinikmati perbankan selama pandemi seolah menutup risiko-risiko yang ada.
Kendati demikian, proses konsolidasi seyogianya tak boleh mundur. Justru saat inilah momentum yang tepat mendorong konsolidasi bank agar saat ekonomi pulih kembali, struktur perbankan nasional sudah lebih kuat dan efisien sehingga bisa berkontribusi lebih besar dalam memacu pertumbuhan ekonomi.
Terlebih tantangan perbankan ke depan semakin berat seiring tuntutan inovasi produk dan layanan berbasis teknologi digital yang kian tinggi. Konsolidasi bank juga mendorong perbankan nasional tidak hanya tangguh di lingkup domestik, tetapi juga kompetitif di lingkup regional dan global, termasuk menghadapi integrasi sektor keuangan Association of Southeast Asian Nations yang memungkinkan Bank dengan kualifikasi tertentu (Qualified Association of Southeast Asian Nations Banks-QAB) bebas beroperasi di kawasan Association of Southeast Asian Nations, sehingga akan meningkatkan persaingan antara perbankan nasional dan bank dari kawasan Association of Southeast Asian Nations.
Bila injeksi modal dan akuisisi dirasa sulit dilakukan serta merger juga dianggap berisiko tinggi, pilihan logis konsolidasi bank saat ini adalah membentuk kelompok usaha bank (KUB) seperti juga telah diatur dalam POJK 12/2020.
KUB terdiri dari bank induk dan beberapa bank anak. KUB merupakan bentuk konsolidasi yang relatif mudah dilakukan ketimbang peleburan atau merger. Bank-bank kecil bisa saling bersinergi membentuk KUB sehingga modal konsolidasinya bisa mencapai minimum Rp 1 triliun. Bank-bank kecil juga bisa berkolaborasi dengan bank menengah besar membentuk KUB dan menjadi bank anak.
Meski demikian, konsolidasi dengan bentuk KUB niscaya juga tak akan terwujud jika prosesnya hanya diserahkan ke mekanisme pasar. Perlu campur tangan tangan yang lebih intensif dari OJK dalam mendorong dan memfasilitasi konsolidasi. Ibarat perjodohan, OJK berperan sebagai makcomblang, yang mendekatkan, tapi tidak memaksakan.