Konsumsi masyarakat masih terbatas karena merasa belum aman dari Covid-19. Investasi dan tabungan menjadi pilihan.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha/karina isna irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat masih enggan melakukan aktivitas konsumsi. Pandemi Covid-19 mengakibatkan kemampuan ekonomi mereka masih tidak menentu. Untungnya, sebagian masyarakat mengalihkan dana simpanan mereka dari perbankan ke instrumen investasi ritel negara sehingga uang bisa diputar untuk proyek strategis pendorong ekonomi.
Staf Ahli Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bidang Makroekonomi dan Perbankan Ryan Kiryanto, Minggu (4/10/2020), mengatakan, peningkatan nasabah deposito (deposan) dengan nilai simpanan di atas Rp 5 miliar sebenarnya stagnan. Bahkan, apabila ditinjau lebih lanjut, deposan di atas Rp 5 miliar menyusut tipis secara absolut ataupun persentase karena turunnya porsi deposan di bawah Rp 100 juta.
”Sebenarnya pemilik dana di atas Rp 5 miliar juga turut menarik dana mereka. Namun, karena nilai rupiahnya besar, terkesan secara keseluruhan angkanya tidak turun,” ujarnya.
Menurut Ryan, hal itu terjadi secara temporer di saat pandemi saja, saat sebagian pemilik dana di bawah Rp 100 juta menarik dananya untuk berbagai keperluan. Sementara pemilik dana di atas Rp 5 miliar juga menarik dana, tetapi nilainya terkesan tidak turun karena nilai rupiahnya besar.
OJK mencatat, simpanan dana pihak ketiga (DPK) mengalami tren kenaikan selama pandemi Covid-19. Pada Juli 2020, DPK tumbuh 8,83 persen dari sebelumnya, Juni 2020, sebesar 7,95 persen. DPK sempat tumbuh mencapai 9,54 persen pada Maret 2020. DPK di atas Rp 5 miliar dan di atas Rp 100 juta tumbuh paling tinggi hampir dua digit.
DPK perbankan, lanjut Ryan, tumbuh di tengah penurunan bunga karena banyak nasabah yang tak menarik dana untuk berbagai aktivitas ekonomi, baik yang bersifat produktif maupun konsumtif. Pandemi Covid-19 disertai pembatasan sosial berskala besar membuat masyarakat berpenghasilan tetap dan mapan terbatas melakukan konsumsi.
”Masyarakat yang masih membatasi konsumsi juga terlihat dari deflasi yang terjadi selama tiga bulan berturut-turut pada Juli-September 2020,” katanya.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada September 2020, Indonesia mengalami deflasi 0,05 persen. Sementara deflasi pada Juli dan Agustus masing-masing sebesar 0,1 persen dan 0,05 persen.
Ryan juga mengungkapkan hal positif yang terjadi pada periode pandemi. Pemilik dana di bawah Rp 100 juta mengonversi dananya ke instrumen non-perbankan, seperti obligasi ritel Indonesia atau sukuk ritel. Hasil instrumen investasi yang diterbitkan pemerintah ini tentu saja bisa diputar untuk membiayai proyek-proyek strategis pendorong ekonomi.
”Ini menggembirakan dan harapannya berlanjut sehingga kedalaman pasar keuangan domestik makin kuat dan terdistribusi,” ujarnya.
Pemilik dana di bawah Rp 100 juta mengonversi dananya ke instrumen non-perbankan, seperti obligasi ritel Indonesia atau sukuk ritel. Hasil instrumen investasi yang diterbitkan pemerintah ini tentu saja bisa diputar untuk membiayai proyek-proyek strategis pendorong ekonomi.
Ciptakan rasa aman
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai, masyarakat secara umum menunda konsumsi sehingga simpanan meningkat. Ini terutama terjadi pada masyarakat berpenghasilan menengah atas, terutama yang memiliki tabungan di atas Rp 100 juta karena umumnya pendapatan mereka tidak berkurang signifikan.
”Saat ini, golongan masyarakat menengah atas memilih menahan diri untuk berbelanja, terutama karena kasus Covid-19 masih tinggi dan ketidakpastian global,” ujarnya.
Di sisi lain, lanjut Piter, simpanan nasabah korporasi dalam bentuk giro juga meningkat karena aktivitas ekonomi yang masih terhambat sehingga simpanan perbankan masih akan tumbuh kencang sepanjang konsumsi masyarakat dan perekonomian belum pulih.
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, berpendapat, saat ini masyarakat memang cenderung mengalihkan konsumsi ke tabungan dan investasi. Selama tidak ada kepercayaan, mereka tetap menahan belanja.
Mereka mengurangi porsi belanja untuk mengantisipasi ketidakpastian dan khawatir terpapar Covid-19.”Tren ini harus diwaspadai karena porsi masyarakat kelas menengah atas mencapai 60 persen dari total konsumsi rumah tangga,” ujarnya.
Menurut Enny, kampanye pemerintah untuk mendorong belanja masyarakat akan percuma selama rasa aman dan percaya tidak tercipta. Masyarakat butuh jaminan kesehatan untuk kembali berbelanja. Ironisnya, kurva kasus infeksi Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda penurunan.
Oleh karena itu, ekspektasi masyarakat harus dikelola dengan baik. Keberhasilan pemerintah menangani penyebaran virus akan menentukan sikap masyarakat. ”Pemerintah di hampir semua negara fokus pada penanganan Covid-19. Di Indonesia, pemerintah terkesan sibuk mereformasi regulasi yang berpotensi menciptakan ketidakstabilan domestik,” ujarnya.
Pemerintah di hampir semua negara fokus pada penanganan Covid-19. Di Indonesia, pemerintah terkesan sibuk mereformasi regulasi yang berpotensi menciptakan ketidakstabilan domestik.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengakui upaya meningkatkan konsumsi rumah tangga bukan perkara mudah. Bantuan sosial yang disalurkan pemerintah hanya untuk menjaga daya beli 40 persen penduduk terbawah. Konsumsi kelas atas dan menengah dipengaruhi progres penanganan Covid-19.
Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan konsumsi rumah tangga sampai akhir tahun masih negatif, yaitu berkisar antara minus 1 persen dan minus 2,1 persen. Kondisi ini menyebabkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2020 terjerembap dalam zona negatif, yakni berkisar minus 0,6 hingga minus 1,7 persen.