logo Kompas.id
EkonomiHak dan Perlindungan Buruh...
Iklan

Hak dan Perlindungan Buruh Tercederai

Pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang dinilai semakin mencederai hak dan perlindungan buruh. Pada saat yang sama, regulasi sapu jagat itu memberi karpet merah pada pengusaha.

Oleh
Agnes Theodora
· 7 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/3mL0jkNl2QjNS9OkZWMwUS5CCuo=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F36429fb0-bbfc-40ae-bd5e-0661d9ca3997_jpg.jpg
KOMPAS/HARIS FIRDAUS

Sekelompok massa yang menamakan diri Aliansi Rakyat Bergerak menggelar aksi demonstrasi di Jalan Gejayan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (5/10/2020) malam. Aksi demonstrasi itu digelar untuk memprotes pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU ) Cipta Kerja yang telah disahkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.

JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang pembahasannya dikebut sekitar enam bulan terakhir memuat sejumlah ketentuan yang mereduksi hak dan perlindungan buruh dalam hubungan industrial. RUU yang dibuat demi menarik investasi di tengah pandemi itu dinilai semakin memudahkan pemutusan hubungan kerja, memberi ketidakpastian kerja, dan membebani pemerintah.

Pengesahan RUU Cipta Kerja itu dilakukan di dalam sidang paripurna yang sekaligus mengagendakan penutupan masa sidang pertama 2020-2021. Penutupan masa sidang pertama ini lebih cepat dari yang direncanakan, yakni pada 8 Oktober 2020, dengan pertimbangan ancaman Covid-19 yang semakin masif.

Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar, Senin (5/10/2020), mengatakan, RUU Cipta Kerja memperburuk wajah hubungan industrial yang saat ini sudah banyak diwarnai konflik dan merugikan buruh. Di tengah ketidakpastian pandemi Covid-19, kehadiran RUU Cipta Kerja semakin mereduksi perlindungan dan kesejahteraan buruh.

”Pemerintah dan DPR seolah tidak melihat fakta kondisi sosiologis pekerja saat ini. Banyak pekerja yang sekarang saja sudah dibayar di bawah upah minimum, diberhentikan kerja secara sepihak, dan tidak terjamin perlindungan sosialnya. Tapi, praktik-praktik buruk itu justru sekarang dimasifkan dan dilegalkan lewat undang-undang,” katanya.

Banyak pekerja yang sekarang saja sudah dibayar di bawah upah minimum, diberhentikan kerja secara sepihak, dan tidak terjamin perlindungan sosialnya. Tapi, praktik-praktik buruk itu justru sekarang dimasifkan dan dilegalkan lewat undang-undang.

RUU Cipta Kerja, antara lain, semakin memudahkan pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur keharusan pengusaha memberikan surat peringatan sebanyak tiga kali sebelum mem-PHK pekerja, dihapus dalam RUU Cipta Kerja. Ke depan, pengusaha dapat lebih leluasa memecat karyawan tanpa peringatan.

Syarat dan alasan perusahaan melakukan PHK terhadap pekerja pun lebih mengambang dan sumir dibandingkan UU Ketenagakerjaan. Dalam UU Ketenagakerjaan, alasan perusahaan melakukan PHK beserta syarat dan kompensasinya ditentukan secara detail dalam pasal 161-169. Namun, di RUU Cipta Kerja, pengaturan mendetail terkait PHK itu dihapus.

https://kompas.id/wp-content/uploads/2020/10/20201005-H01-ARS-UU-Cipta-Kerja-rev-mumed_1601920241.gif

Lebih lanjut, Timboel menyoroti sejumlah ketentuan krusial yang justru dilepas oleh DPR ke tangan pemerintah untuk diatur di rancangan peraturan pemerintah (PP). Padahal, pembahasan rancangan PP umumnya dilakukan secara sepihak dan tertutup oleh pemerintah.

”DPR melepas tanggung jawab konstitusionalnya ke pemerintah begitu saja. Artinya, PP bisa diutak-atik tanpa pengawasan. Pengusaha tinggal melobi pemerintah, DPR dan publik tidak bisa mengintervensi,” kata Timboel.

DPR melepas tanggung jawab konstitusionalnya ke pemerintah begitu saja. Artinya, PP bisa diutak-atik tanpa pengawasan.

Terombang-ambing

Sejumlah ketentuan itu membuat buruh semakin terombang-ambing tanpa kepastian kerja menjadi pekerja tetap. Sebagai contoh, Pasal 59 dan Pasal 65 mengenai ketentuan pekerja kontrak (perjanjian kerja untuk waktu tertentu) dan pekerja alih daya (outsourcing), yang pengaturannya diserahkan ke PP.

RUU Cipta Kerja tidak mengatur batas jangka waktu kontrak bagi pekerja. Pada UU Ketenagakerjaan yang lama, pekerja hanya boleh dikontrak paling lama 3 tahun dengan aturan paling lama 2 tahun dan diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun. Dalam RUU Cipta Kerja, penyelesaian pekerjaan kontrak ditentukan dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Ketentuan lebih lanjut mengenai jangka waktu dan batas waktu kontrak serta jenis dan sifat pekerjaan yang bisa dikontrak diatur dengan PP. Pengaturan yang tidak tegas itu juga ditemukan di Pasal 66 mengenai syarat, perlindungan, dan upah untuk pekerja alihdaya.

Timboel mengatakan, ketentuan itu membuat buruh terancam tidak diangkat menjadi pekerja tetap. Buruh kontrak dan alih daya yang selama ini sudah dalam posisi rentan karena upah yang minim, tanpa ikatan, dan tanpa jaminan perlindungan sosial akan semakin terancam. ”Daya tawar buruh semakin rendah, penegakan dan perlindungan hukum untuk buruh juga rendah,” katanya.

Baca juga : Tolak Pengesahan RUU Cipta Kerja, Serikat Buruh di Lampung Esok Unjuk Rasa

https://cdn-assetd.kompas.id/4Dc4yJU7X3dITE6Wk-x4jsUgloI=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F9a9794d7-08bb-44e4-92ae-a93c6445069a_jpg.jpg
Kompas/Wawan H Prabowo

Para menteri Kabinet Indonesia Maju bersiap untuk foto bersama pimpinan DPR di akhir Rapat Paripurna DPR Masa Persidangan I Tahun Sidang 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Rapat paripurna hari itu secara resmi mengesahkan omnibus law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang. RUU Cipta Kerja yang diusulkan pemerintah dan mulai dibahas DPR bersama pemerintah pada April 2020 tersebut mendapat banyak penolakan dari masyarakat sipil selama dalam pembahasan. Pembahasan RUU Cipta Kerja, yang terdiri dari 15 bab dan 174 pasal, telah dilakukan 64 kali pertemuan, 2 kali rapat kerja, dan 56 kali rapat panitia kerja.

Perlindungan buruh yang tercederai ini secara jangka panjang akan kontraproduktif dengan cita-cita pemulihan ekonomi. ”Ini hanya solusi jalan pintas yang di kemudian hari akan menjadi persoalan baru yang lebih besar, mengganggu produktivitas dan membuat investor enggan datang,” katanya.

Sebagai bentuk protes atas pengesahan RUU Cipta Kerja, 32 federasi dan konfederasi serikat buruh tetap akan mengadakan unjuk rasa dan mogok kerja nasional serempak kepada 6-8 Oktober 2020. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal mengestimasi, ada 2 juta orang butuh yang akan ikut berunjuk rasa.

Pesangon

Ketentuan lain yang menjadi sorotan adalah berkurangnya pesangon untuk buruh di RUU Cipta Kerja. Dari sebelumnya maksimal 32 kali upah berkurang menjadi 25 kali upah. Perusahaan membayarkan 19 kali upah pekerja, sementara negara menanggung 9 kali upah lewat skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Iklan

Dalam Pasal 42 Ayat (2) RUU itu disebutkan, modal awal untuk program JPK ditetapkan paling sedikit Rp 6 triliun yang akan dianggarkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pesangon akan diatur dalam PP. Sementara, Pasal 46E mengatur, sumber pendanaan JKP berasal dari modal awal pemerintah, rekomposisi iuran program jaminan sosial, dan dana operasional BP Jamsostek.

Dalam Pasal 42 Ayat (2) RUU itu disebutkan, modal awal untuk program JPK ditetapkan paling sedikit Rp 6 triliun yang akan dianggarkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Timboel mengatakan, sumber dana operasional BP Jamsostek berasal dari iuran peserta dan hasil investasi. Maka, jika JKP didanai lewat dana operasional, sama saja buruh berkontribusi untuk membayar pesangonnya sendiri.

”Hasil investasi yang seharusnya dikembalikan ke buruh diambil untuk dana operasional. Sementara, dana operasional itu untuk membiayai JKP. Artinya, sama saja secara tidak langsung ini dari buruh untuk buruh, ini tentu tidak adil,” katanya.

Baca juga : RUU Cipta Kerja Bukan Solusi

Sementara, BP Jamsostek belum mengetahui secara detail rencana skema program JKP itu. Saat ditanyakan, Deputi Direktur Hubungan Masyarakat dan Antarlembaga BP Jamsostek Irvansyah Utoh Banja mengatakan, pihaknya masih perlu membahas dengan pemerintah terkait simulasi perhitungan besaran iuran dan manfaat, termasuk sumber pendanaan untuk program tersebut.

https://cdn-assetd.kompas.id/JrujQQExpv113nAR6UeSiccLU3I=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F27abe0c6-cddc-441c-8510-b26683523e31_jpg.jpg
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Buruh melepas baju dalam unjuk rasa di kawasan industri EJIP (East Jakarta Industrial Park), Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (5/10/2020). Pengunjuk rasa yang berencana menuju ke Gedung MPR/DPR/DPD tersebut diblokade polisi sejak pukul 08.00 hingga 18.00 dan hanya bisa berorasi di kawasan industri. Mereka menolak pengesahan RUU Cipta Kerja dan mengancam akan mogok kerja pada 6-8 Oktober 2020.

Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan menilai, regulasi pesangon itu akan membebani keuangan negara dalam jangka menengah dan panjang. Regulasi pesangon baru itu juga berpotensi membuat pengusaha semakin berani mengambil kebijakan PHK.

Padahal, pengusaha telah diberikan berbagai fasilitas insentif dan keringanan pajak usaha. ”Harus diakui, banyak perusahaan yang kondisi keuangannya sudah buruk sebelum pandemi. Jangan sampai situasi pandemi dijadikan alasan melakukan PHK besar-besaran,” katanya.

Ekonom senior yang juga Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Raden Pardede mengakui, ketentuan pesangon sebanyak 25 kali upah merugikan pekerja karena lebih rendah dari sebelumnya.

Namun, pembayaran pesangon di Indonesia tetap termasuk paling tinggi dibandingkan negara lain. ”Kami mencari titik tengahnya. Beban dunia usaha di Indonesia masih besar dibandingkan negara lain,” katanya.

Menurut Raden, pemerintah tidak bermaksud menjadi ekstrem kiri atau ekstrem kanan. Titik tengah antara pengusaha dan pekerja diupayakan agar sama-sama menguntungkan. Sebagai contoh, kendati pesangon berkurang, pekerja diberikan fleksibilitas berupa penguatan jaminan sosial. Mereka akan mendapat asuransi dari BPJS Ketenagakerjaan.

Baca juga : Pikir Ulang RUU Cipta Kerja

https://cdn-assetd.kompas.id/rcp70wM12yK8rXeNbwgmYKdHkgM=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F8cd4dd94-5daf-4e09-9414-a143936c0bee_jpg.jpg
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Buruh dan aparat keamanan shalat Maghrib berjamaah seusai berunjuk rasa di kawasan industri EJIP (East Jakarta Industrial Park), Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (5/10/2020). Pengunjuk rasa yang berencana menuju ke Gedung MPR/DPR/DPD tersebut diblokade polisi sejak pukul 08.00 hingga 18.00 dan hanya bisa berorasi di kawasan industri. Pengunjuk rasa menolak pengesahan RUU Cipta Kerja dan mengancam akan mogok kerja pada 6-8 Oktober 2020.

Ketua Panitia Kerja RUU Cipta Kerja yang juga Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas membantah RUU itu merugikan pekerja. Substansi RUU itu diklaim meningkatkan perlindungan kepada pekerja. Salah satu aturan yang melindungi pekerja ialah adanya JKP yang dikelola melalui mekanisme BPJS Ketenagakerjaan yang sepenuhnya ditanggung APBN.

”Persyaratan pemutusan hubungan kerja tetap mengikuti UU Ketenagakerjaan. RUU Cipta Kerja juga tidak menghilangkan hak cuti haid, cuti hamil, yang diatur di UU Ketenagakerjaan. Kemudahan berusaha yang diatur di dalam UU ini dijamin untuk semua pelaku usaha, mulai dari UMKM, koperasi, dan usaha besar,” katanya.

Titik keseimbangan

Setelah pengesahan RUU, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menulis surat terbuka yang ditujukan kepada serikat buruh. Ia mengatakan, pemerintah berupaya mencari titik keseimbangan antara melindungi orang yang telah bekerja dan memberi kesempatan pada orang yang masih menganggur. Menurut dia, hasil pembahasan RUU Cipta Kerja sudah banyak mengakomodasi aspirasi buruh.

”Saya paham ada yang kecewa dan belum puas, saya menerima dan mengerti. Tapi, terkait rencana mogok nasional, saya minta agar dipikirkan lagi dengan tenang karena situasi tidak memungkinkan untuk turun ke jalan dan berkumpul,” katanya.

Sementara itu, kalangan pengusaha menyambut baik pengesahan RUU Cipta Kerja. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, RUU Cipta Kerja diharapkan dapat mendorong perekonomian dan investasi melalui penciptaan dan perluasan lapangan kerja.

RUU itu mampu menjawab permasalahan yang selama ini jadi kendala masuknya investasi, yakni tumpang tindih aturan dan perizinan. RUU Cipta Kerja pun dinilanya penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui program pemulihan dan transformasi ekonomi.

”Dinamika ekonomi global saat ini di tengah pandemi memerlukan respons cepat dan tepat. Tanpa reformasi struktural, pertumbuhan ekonomi akan tetap melambat,” kata Shinta.

Ia memproyeksikan, RUU ini akan mendorong peningkatan investasi 6,6 sampai 7 persen untuk membangun usaha baru dan mengembangkan usaha yang sudah ada. Itu akan mendorong peningkatan konsumsi rumah tangga di kisaran 5,4-5,6 persen.

”Jika tidak ada RUU Cipta Kerja, daya saing pencari kerja kita relatif rendah dibandingkan negara lain. Lapangan kerja akan pindah ke negara lain yang lebih kompetitif dan penduduk kita yang tidak bekerja akan semakin tinggi,” ujarnya. (REK/KRN/MTK/DAN/FRD/FAI)

https://cdn-assetd.kompas.id/AH1otvF3YtbVgnR7U0A8PzYHRm8=/1024x3491/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2F20200925-H09-NSW-RUU-Cipta-Kerja-mumed_1601049623.jpg
Editor:
Hendriyo Widi
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000