Pekerja Khawatir Diperlakukan Sewenang-wenang
Pekerja muda khawatir perusahaan akan sewenang-wenang kepada karyawannya dengan adanya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Ketenangan bekerja terusik dengan adanya aturan ini.
JAKARTA, KOMPAS — Pekerja muda khawatir perusahaan akan sewenang-wenang dengan penetapan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Mereka pun menyiapkan sejumlah strategi bila didepak dari perusahaan.
Pekerja di salah satu lembaga swadaya masyarakat, Dini (26), terkejut ketika manajemen tidak lagi memperpanjang kontraknya per September 2020. Statusnya sebagai pekerja kontrak (perjanjian kerja untuk waktu tertentu/PKWT) berakhir tanpa penjelasan memadai dari manajemen.
Selama bekerja pun, banyak hak dasar belum terpenuhi, misalnya ia tidak mendapatkan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Baca juga: Pekerjaan Layak untuk Konsumsi
Dini terbantu karena ia mengatur keuangan dengan baik selama masih bekerja. Jadi ketika menganggur, kondisi finansialnya tak terlalu tergerus. Dia juga mendapat uang ”terima kasih” sebesar satu kali gaji saat kontraknya diakhiri.
”Kondisi tabungan dan dana daruratku masih aman. Aku juga tidak banyak jajan, tak minta uang juga ke orangtua. Tapi aku tahu, banyak orang di luar sana kondisinya tentu tidak seberuntung aku,” ujarnya ketika dihubungi, Selasa (6/10/2020).
Dini bekerja di lembaga ini sejak 2018. Selama pandemi Covid-19, ada pemotongan uang transportasi dan uang makan karena perusahaan memberlakukan kebijakan bekerja dari rumah. Akan tetapi, kebijakan ini tak dijelaskan secara detail kepada karyawan.
”Kami sebenarnya tak masalah ada pemotongan, tetapi harus dijelaskan secara rinci. Selama ini, kami tidak tahu berapa besaran anggarannya karena tidak pernah mendapat slip gaji,” ujarnya lagi.
Baca juga: Ekstra Paradoks di Tengah Resesi
Berangkat dari pengalaman itu, Dini ke depan akan meneliti betul kontrak antara perusahaan dan karyawan baru. Dini juga akan menanyakan implikasi RUU Cipta Kerja di perusahaan yang akan dilamarnya meskipun ada kemungkinan ia tidak diterima kerja lantaran pertanyaannya itu.
Tak hanya itu, demi menjamin hak kesehatan, ia juga akan menanyakan lebih lanjut dampak pandemi Covid-19 terhadap perusahaan dan apa saja hak-hak karyawan yang dipangkas.
Dini mengatakan, belum semua pemberi kerja mematuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Penetapan RUU Cipta Kerja justru berpotensi membuat pemberi kerja kian sewenang-wenang.
RUU Cipta Kerja disahkan dalam sidang paripurna kemarin. Di kluster ketenagakerjaan, banyak ketentuan lebih longgar daripada UU sebelumnya, misalnya dalam hal pemutusan hubungan kerja (PHK).
Baca juga: Buruh Sidoarjo Turun ke Jalan, Tolak UU Cipta Kerja
Aturan itu dikhawatirkan semakin memudahkan pengusaha untuk melakukan (PHK). Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, misalnya, mengatur keharusan pengusaha memberikan surat peringatan sebanyak tiga kali sebelum mem-PHK pekerja. Aturan ini dihapus dalam RUU Cipta Kerja.
RUU Cipta Kerja pun tidak mengatur batas jangka waktu kontrak bagi pekerja. Pada UU Ketenagakerjaan lama, pekerja hanya boleh dikontrak paling lama tiga tahun dengan aturan paling lama dua tahun dan diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Dalam RUU Cipta Kerja, penyelesaian pekerjaan kontrak ditentukan dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Menurut karyawan kontrak di salah satu perusahaan internasional, Cindy Silviana (32), pekerja muda harus bersiap dengan berbagai kemungkinan di masa depan. Ketidakpastian status pekerjaan bisa diantisipasi dengan mencari pendapatan sampingan.
Ini bisa dengan menjual barang secara daring dan bekerja sampingan tanpa mengganggu pekerjaan utama. Uang yang didapat selama bekerja ada baiknya diinvestasikan. ”Jadi kalau kena PHK, kita masih ada sumber pendapatan lain,” ujar perempuan yang sudah bekerja di lima perusahaan ini.
Banyak poin negatif
Maulana Pasah (28), karyawan di perusahaan swasta asal Serpong, Tangerang Selatan, Banten, mengaku masih berat menerima keputusan pemerintah. Ia hanya bisa membayangkan, hak-haknya sebagai pekerja kemungkinan akan banyak yang tercerabut.
”Poin negatifnya masih terlalu banyak ketimbang positifnya. Memang (ujungnya) mungkin bisa membuka lapangan kerja, tetapi imbasnya merugikan pekerja juga,” tuturnya saat dihubungi.
Sayangnya, Maulana tidak bisa berbuat banyak. Ia tidak bisa mengikuti rekan-rekannya yang menggelar aksi protes di sejumlah titik pada Selasa ini. Ia hanya bisa melayangkan gugatan-gugatan lewat media sosial kepada penguasa. Meskipun kecil, ia berharap aspirasinya terbaca oleh pengambil keputusan.
”Kebetulan perusahaan saya punya pabrik produksi di Ciawi, Bogor. Di sana pekerjanya pada demo. Saya sudah sempat izin ke HRD (bagian sumber daya manusia), tapi katanya sudah diwakili dari sana,” ujarnya.
Contoh aturan pada RUU Cipta Kerja yang dicemaskan Maulana adalah mengenai pengurangan hak pesangon karyawan jika diberhentikan.
Selain itu, RUU ini juga berpotensi menghambat jalan karyawan kontrak untuk menjadi karyawan tetap. Artinya, sulit bagi seorang karyawan kontrak untuk mengikuti jejak dari Maulana yang kini sudah menjadi karyawan tetap. Sepuluh tahun lalu dirinya masih sebagai pekerja alih daya (outsourcing).
Saat masih berstatus karyawan alih daya, Maulana hanya menjadi petugas kebersihan hotel. Selang beberapa tahun, ia kemudian diangkat sebagai karyawan kontrak di grup perusahaan yang sama.
RUU ini juga berpotensi menghambat jalan karyawan kontrak untuk menjadi karyawan tetap. Artinya, sulit bagi seorang karyawan kontrak untuk mengikuti jejak dari Maulana yang kini sudah menjadi karyawan tetap.
Sejak lima tahun terakhir, dirinya sudah menjadi karyawan tetap pada grup perusahaan yang sama. Ia khawatir, RUU Cipta Kerja ini menutup kesempatan untuk menjadi karyawan tetap. ”Meski proses (menjadi karyawan tetap) berat, setidaknya ada jalan bagi saya untuk bisa jadi karyawan tetap seperti sekarang,” ungkap pria lulusan SMK ini.
Mochtar Bona (23), pencari kerja asal Bengkulu, juga kecewa dengan disahkannya RUU Cipta Kerja. Ia khawatir, perusahaan dapat memperlakukan pekerjanya dengan sewenang-wenang.
Kekhawatiran Bona bukan tanpa alasan. Sebab, pertengahan tahun ini, ia sudah mengalami pengalaman pahit tersebut. Perusahaannya saat itu mem-PHK banyak karyawan kontrak, termasuk dirinya. Perusahaan memakai dalil efisiensi.
”Waktu itu ada pengurangan pekerja. Saya belum ada satu tahun kerja saat itu sehingga kena juga,” katanya.
Bona kini merantau dari Bengkulu ke Jakarta untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Lulusan Sarjana Manajemen Universitas Bengkulu ini tengah berusaha menembus proses seleksi karyawan tetap BUMN atau instansi pemerintahan. Harapannya, dengan bekerja di sana, ia mendapatkan hak yang lebih layak sebagai pekerja.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, RUU Cipta Kerja telah memperburuk wajah hubungan industrial yang banyak diwarnai konflik dan merugikan buruh. Di tengah ketidakpastian pandemi Covid-19, kehadiran RUU ini kian mereduksi perlindungan dan kesejahteraan buruh (Kompas, 6 Oktober 2020).
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto menegaskan, salah satu alasan RUU Cipta Kerja dibuat adalah memprioritaskan program penanganan pandemi Covid-19. Penyusunan itu telah dilakukan melalui kajian. Selain itu, pemerintah juga telah mengidentifikasi hal-hal yang diperlukan dalam membuka investasi dan penciptaan lapangan kerja (Kompas, 6 Oktober 2020).