Presiden Jokowi: Korporasi Petani dan Nelayan Belum Optimal
Korporasi petani dan nelayan bisa meningkatkan taraf hidup mereka karena dengan berkelompok, usaha mereka bisa mencapai skala keekonomian. Namun, Presiden Jokowi menilai, upaya membangun korporasi itu belum optimal.
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Upaya mendorong petani dan nelayan berkelompok dan membentuk korporasi sendiri dinilai Presiden Joko Widodo belum optimal. Proyek percontohan korporasi diharapkan bisa dibentuk agar dapat direplikasi di banyak komunitas.
Korporasi petani dan nelayan dinilai mampu meningkatkan taraf hidup mereka. Sebab, dengan berkelompok, petani dan nelayan bisa mencapai skala keekonomian. Akses ke perbankan dan teknologi lebih mudah dan efisiensi tercapai. Melalui koperasi yang dibentuk bersama, petani dan nelayan juga memiliki nilai tawar lebih kuat terhadap tekanan pasar.
Hal ini juga akan bermakna pada transformasi ekonomi. Apalagi, kata Presiden Jokowi, pertanian adalah sektor yang tetap tumbuh positif saat perlambatan ekonomi nasional terjadi akibat Covid-19. Pada kuartal kedua 2020, sektor pertanian masih tumbuh positif 16,24 persen, padahal pertumbuhan ekonomi nasional minus 5,32 persen.
”Pertumbuhan positif di sektor pertanian ini perlu dijaga momentumnya sehingga memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan petani dan nelayan,” kata Presiden Jokowi saat memimpin rapat terbatas tentang Korporasi Petani dan Nelayan dalam Mewujudkan Transformasi Ekonomi dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (6/10/2020).
Dalam rapat terbatas yang diselenggarakan secara virtual ini, hadir Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Perikanan dan Kelautan Edhy Prabowo, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki, serta Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Presiden Jokowi juga meminta para menteri terkait membangun satu atau dua proyek percontohan korporasi petani/nelayan yang sukses. Dengan demikian, kelompok petani dan nelayan lain bisa meniru.
Untuk itu, badan usaha milik negara, perusahaan swasta besar, atau badan usaha milik daerah perlu berkontribusi baik dalam penyerapan produk maupun dalam pendampingan petani/nelayan sampai model bisnis terbangun dan berjalan. Selain itu, ekosistem bisnis secara terpadu harus diperkuat melalui penyiapan regulasi yang mendukung.
Keinginan mendorong korporasi petani sudah muncul sejak 2017, salah satunya setelah Presiden Jokowi mengunjungi Badan Usaha Milik Rakyat Pangan di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Rapat terbatas juga diselenggarakan setelahnya. Namun, sampai rapat terbatas pada Desember 2019 dan rapat terbatas Selasa (6/10/2020), upaya ini belum juga optimal.
Seusai rapat terbatas, Edhy Prabowo menyebutkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang membangun model bisnis baik pada nelayan budidaya maupun nelayan tangkap. Model korporasi nelayan tambak udang dilakukan di Aceh Timur, Lampung Selatan, Cianjur (Jabar), Sukamara (Kalimantan Tengah), dan Buol (Gorontalo).
”Ini hanya butuh proses pembelajaran dan yang paling penting ialah proses pendampingan,” kata Edhy.
Pembiayaan dinilai bisa diakses. Sebab, sudah tersedia kredit usaha rakyat (KUR) dengan bunga 6 persen. Penyerapan KUR sektor kelautan dan perikanan saja pada 2019 baru Rp 2,6 miliar. Selain itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mempunyai program kredit mikro melalui LPMUKP (Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan) dengan bunga 3 persen.
Di sektor perikanan tangkap, Edhy menyebutkan KKP akan menaikkan kelas kapal-kapal nelayan yang umumnya kecil. Saat ini, 300.000 nelayan hanya memiliki kapal bermesin di bawah 2 gros ton. Adapun 300.000 nelayan lainnya hanya punya kapal tak bermesin. Pendataan dan validasi masih dilakukan, tetapi tak dijelaskan mekanisme menaikkan kelas nelayan dengan kapal-kapal kecil ini.
Adapun model korporasi petani, menurut Teten, direncanakan di petani sawit di Pelalawan (Riau) dan petani beras di Demak (Jawa Tengah). Kedua kelompok tersebut didorong membentuk koperasi. Koperasi petani sawit membangun pengolahanminyak kelapa sawit mentah (CPO), sedangkan koperasi petani beras didorong untuk memiliki pabrik pengolahan beras modern.
Koperasi Serba Usaha Citra Kinarya untuk petani di Demak, misalnya, saat ini telah mencakup lahan petani seluas 100 hektar. Produk sudah mulai masuk pasar ekspor ataupun retail modern di dalam negeri.
Diharapkan lahan petani yang tergabung dalam koperasi bisa mencapai 800 hektar. Koperasi juga didorong membentuk perseroan terbatas yang mendirikan pabrik beras modern dengan nilai investasi Rp 40 miliar. Adapun Rp 12 miliarnya berasal dari koperasi petani.
”Koperasi nanti membeli gabah petani secara tunai lalu diolah pabrik pengolahan mereka, baru ke market. Jadi, yang berhadapan dengan market ialah koperasi, bukan petani perorangan,” kata Teten.
Pembiayaan KUR akan digunakan untuk pengembangan padi petani penggarap. Adapun koperasi akan diperkuat pembiayaan melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB).
Selain itu, semua program yang ada di kementerian/lembaga, seperti bibit, pupuk, alat, dan mesin pertanian, serta lahan yang didistribusikan melalui program reforma agraria perlu dikonsolidasi. Bila ada model bisnisnya, diyakini masyarakat akan lebih sejahtera.
Budaya
Sebagai bagian dari transformasi ekonomi, Presiden menginginkan ada budaya korporasi yang diadopsi pemerintah. Dengan cara seperti ini, pemerintah harus bisa membimbing petani dan nelayan untuk berkelompok dan memiliki skala ekonomi atas produk-produknya, memiliki nilai tawar, serta bisa mengakses teknologi dan pembiayaan.
Setelah mampu menyiapkan produk berkualitas, ekosistem petani dan nelayan ini disambungkan dengan perusahaan berbasis teknologi yang memasarkan produk-produk tersebut. Karena itu, dalam rapat terbatas, Presiden juga menekankan supaya proses bisnis didampingi, dari produksi sampai penanganan setelah panen. Pengolahan hasil panen, mulai pengemasan, pembuatan jenama, sampai strategi pemasaran, harus didampingi pula.
Program satu produk perdesa dan reforma agraria diharapkan bisa mendorong model korporasi petani, seperti FELDA di Malaysia ataupun koperasi peternak sapi di Spanyol. ”Presiden juga meminta Kemenko Perekonomian agar mengonsolidasikan semua kementerian/lembaga yang memiliki program terkait ini,” kata Airlangga.