Tolak ”Omnibus Law”, Mahasiswa Kendari Menginap di DPRD hingga Razia Pusat Ekonomi
Aksi mahasiswa Kendari menolak Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disahkan DPR terus berlangsung. Mereka melakukan beragam aksi, mulai dari menginap di DPRD Sultra hingga merazia pusat perekonomian.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Aksi mahasiswa Kendari menolak Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disahkan DPR terus berlangsung. Mereka melakukan beragam aksi, dari menginap di DPRD Sultra hingga merazia pusat perekonomian. Aksi akan kembali dilanjutkan hingga tuntutan mereka dikabulkan pemerintah.
Sejumlah aksi penolakan omnibus law UU Cipta Kerja ini berlangsung di Kendari, sejak Selasa (6/10/2020) hingga Rabu (7/10/2020). Mahasiswa dari Aliansi September Berdarah, misalnya, melakukan aksi menduduki kantor DPRD Sultra, dan menyegel kantor perwakilan rakyat tersebut.
Salah seorang koordinator aksi, La Ode Abdul Azis Tomada, menyampaikan, aksi menginap di DPRD Sultra dilakukan sebagai bentuk protes terhadap pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disahkan DPR. Pengesahan aturan tersebut membuat kalangan buruh semakin menderita, lingkungan akan semakin rusak, dan berbagai dampak buruk lainnya.
”Tuntutan kami adalah pemerintah mencabut aturan omnibus law tersebut karena sangat merugikan buruh. Isu ini menjadi perhatian bersama secara nasional, sekaligus bentuk kepedulian kami terhadap buruh dan pekerja,” kata Azis, di Kendari, Rabu (7/10/2020).
Tidak hanya itu, sambung Azis, aturan omnibus law juga akan membuat lingkungan semakin terdesak. Sebab, aturan untuk investasi ditarik ke pusat, tanpa perlu evaluasi di tingkat daerah, dan beragam kemudahan lainnya. Di Sultra, dengan daerah kaya mineral, hal ini akan membuat pembukaan lahan semakin masif, yang berpotensi membuat lingkungan semakin rusak.
Lebih jauh dari itu, Azis menerangkan, aksi mereka juga tetap berfokus pada kasus meninggalnya dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO), Randi-Yusuf, yang hingga kini belum tuntas. Dua mahasiswa tersebut meninggal saat memperjuangkan penolakan RUU KUHP, RUU KPK, dan sejumlah aturan lainnya pada 2019.
Tuntutan kami adalah pemerintah mencabut aturan omnibus law tersebut karena sangat merugikan buruh. Isu ini menjadi perhatian bersama secara nasional, sekaligus bentuk kepedulian kami terhadap buruh dan pekerja. (Abdul Azis)
”Kami berharap agar kasus ini juga selesai. Dan, semoga tidak ada Randi-Yusuf lagi dalam perjuangan penolakan aturan saat ini,” kata Azis.
Melakukan aksi
Rabu siang, puluhan mahasiswa lainnya melakukan aksi di jalan-jalan dan pusat perekonomian di Kota Kendari. Mereka melakukan orasi hingga merazia hotel, swalayan, bank, dan berbagai pusat ekonomi lainnya.
Mahasiswa dari sejumlah universitas ini memasuki perkantoran juga pertokoan dan mengarahkan agar aktivitas dihentikan. Mereka juga mendatangi kantor Bursa Efek Indonesia Sultra, Telkom Sultra, hingga menutup salah satu pengisian bahan bakar di Kendari. Aparat hanya bisa mengatur lalu lintas dan tidak kuasa melarang massa.
Ahmad Zainul, salah satu koordinator aksi, dalam orasinya menyatakan, aksi ini dilakukan sebagai bentuk kepedulian terhadap para pekerja dan buruh, yang terdampak langsung UU Cipta Kerja tersebut. Semua pekerja akan mengalami dampak buruk eksploitasi dari aturan yang tidak berpihak pada mereka.
”DPR tidak lagi berpihak pada rakyat. Aturan ini hanya akan menguntungkan oligarki, pengusaha, dan orang asing. Suara rakyat tidak lagi didengarkan meski penolakan telah dilakukan di seluruh Indonesia,” kata Ahmad.
Aksi penolakan UU Cipta Kerja, ucap Ahmad, akan terus dilangsungkan pada Kamis (8/10/2020). Massa yang lebih besar akan turun ke jalan dan menuntut pemerintah membatalkan aturan tersebut.
Dihubungi terpisah, pelaksana harian Kabid Humas Polda Sultra Komisaris Besar La Ode Proyek menuturkan, pengamanan aksi hari ini dilakukan dengan protokol seperti pengamanan aksi pada umumnya. Aparat tetap bersiaga menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah.
Seturut disahkannya RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang dengan regulasi omnibus law, gelombang penolakan terus berdatangan. Aksi di Kendari, Makassar, Bandung, Banten, Jogjakarta, dan daerah lainnya terus terjadi. Massa menuntut agar aturan ini dibatalkan karena mencederai rasa keadilan.
Banyak pihak berpendapat, sejumlah poin dalam UU Cipta Kerja yang merugikan buruh adalah tidak ada batas kontrak kerja yang membuat buruh dikontrak selamanya alias tidak pernah jadi pekerja tetap. Dalam UU sebelumnya, kontrak dibatasi tiga tahun.
Lalu, penyamarataan upah minimum sektoral jadi upah minimum provinsi yang akan berdampak pada kesejahteraan keluarga pekerja. Sebab, biaya hidup di tiap daerah berbeda. Disorot juga penghapusan cuti, PHK tanpa peringatan berjenjang, dan perizinan tenaga kerja asing yang dipermudah.
Di sisi lain, pesangon juga dikurangi dari 32 kali gaji menjadi 25 kali gaji. Rinciannya, perusahaan membayar 16 kali upah dan negara menanggung 9 kali upah dengan skema JKP.
Menurut pengajar Ilmu Politik Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, UU Cipta Kerja ini mencerminkan kegagalan representasi DPR sebagai perwakilan rakyat. DPR semestinya mempraktikkan cara terbaik dalam mengambil keputusan di negara demokrasi ialah dengan mendengarkan aspirasi publik.
Namun, hal tersebut tidak dilakukan oleh DPR ataupun pemerintah. Kini, publik melihat kepentingan nasional, kepentingan warga, tidak menjadi kepentingan utama dari DPR dan pemerintah.
”Mereka tidak lagi mewakili rakyat, tetapi terjebak dalam kepentingan oligarki ekonomi yang melilit mereka saat pemilu. Hal ini bisa dilihat dari kaitan antara biaya politik yang mahal dan lahirnya elite-elite politik yang tidak bisa dilepaskan dari kelompok oligarki pemilik modal,” kata Ubedilah (Kompas, Rabu 7/10/2020).